Di antara tiga calon presiden yang maju bertarung dalam Pemilu Presiden 2009, Susilo Bambang Yudhoyono adalah contoh kegigihan anak desa tanpa modal nama besar keluarga meraih mimpinya.
Muhammad Jusuf Kalla menyandang nama besar ayahnya, Hadji Kalla, saudagar sukses. Megawati Soekarnoputri menyandang nama besar ayahnya, Soekarno, Presiden RI pertama.
Nasib baik selalu menyertai Yudhoyono, setidaknya sampai Pemilu Presiden 2004 putaran kedua. Berangkat meninggalkan Desa Tremas, Pacitan, Jawa Timur, setelah kedua orangtuanya bercerai, Yudhoyono menapaki jalan hidupnya dan menyusun mimpinya.
Baca juga
- JENDERAL AKADEMIS DI PANGGUNG POLITIK
- YUDHOYONO: Berjuang Menjadi Pahlawan
- SANG GURU MENUJU TITIAN BARU
- SBY INGIN BANGSA MAKIN RASIONAL
- Paduan Kehatian-hatian dan Kecermatan yang Menonjol
- BOEDIONO TERPANGGIL MENERTIBKAN DUNIA
- BOEDIONO: INI BAGIAN AKHIR DARI MASA SAYA
- MENAKAR CAKUPAN PEMILIH SBY-BOEDIONO
Nyaris sendiri, anak tunggal ini menyongsong mimpinya keluar dari Pacitan yang gersang dan terpencil. Seperti ayahnya, Soekotjo, seorang tentara, Yudhoyono bercita-cita menjadi tentara. Karena terlambat mendaftar, Yudhoyono ”terasing” nyaris dua tahun sebelum masuk Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Akabri).
Lulus dari Sekolah Menengah Atas 1 Pacitan tahun 1968, Yudhoyono pergi ke Surabaya, Jawa Timur. Di Surabaya, Yudhoyono diterima sebagai mahasiswa Teknik Mesin Institut Teknologi 10 Nopember Surabaya (ITS). Tak sampai setahun di ITS, Yudhoyono ke Malang, Jawa Timur, masuk pendidikan guru sekolah lanjutan pertama.
Sambil menempuh pendidikan guru, Yudhoyono menyiapkan diri masuk Akabri. Cita-cita masa kecilnya menjadi tentara terus memanggil. Dari Malang, cita-cita menjadi tentara itu dirintis dan dibukakan pintunya di Bandung, Jawa Barat. Setelah dinyatakan lulus ujian akhir penerimaan di Bandung, Yudhoyono menuju Megelang, Jawa Tengah.
Berawal dari Magelang
Dari Magelang yang sejuk dan tenang, jalan hidup Yudhoyono ditata. Dengan latar belakang keluarga yang biasa-biasa saja, Yudhoyono justru memiliki motivasi ganda di antara temannya yang punya ”nama keluarga”. Yudhoyono masuk Akabri satu angkatan dengan Prabowo Subianto, Agus Wirahadikusumah, Ryamizard Ryacudu, dan Yudi M Yusuf.
Pada akhir tahun pendidikannya di Akabri, Yudhoyono, yang dijuluki Jerapah karena postur tubuhnya, mendapat dua anugerah. Pertama, predikat lulusan terbaik Akabri 1973 dengan mendapat lencana Adhi Makayasa. Presiden Soeharto yang menyematkan lencana itu di dada Yudhoyono. Kedua, Kristiani Herawati yang tersemat erat di dadanya sampai kini.
Saat pertemuan pertama di Magelang, Kristiani adalah putri Gubernur Akabri Mayjen Sarwo Edhie Wibowo. Sebagai Komandan Divisi Korps Taruna, Yudhoyono melapor kepada Gubernur Akabri. Saat laporan diberikan, Kristiani tengah berlibur di Magelang.
Tersematnya dua lencana di dada, yaitu Adhi Makayasa dan Kristiani, dikabarkan kepada orangtuanya yang telah berpisah. Soekotjo, Komandan Komando Rayon Militer Pacitan berpangkat Pembantu Letnan Satu (Peltu), terperangah.
Strata sosial yang jauh berbeda antara Yudhoyono dan Kristiani membuat Soekotjo menilai anaknya salah bergaul. Namun, Yudhoyono yang telah melabuhkan hatinya kepada Kristiani mampu meyakinkan ayahnya. Hubungan Yudhoyono dengan Kristiani tak terkendala karena ”lampu hijau” juga telah diberikan Ny Sarwo Edhie, penentu utama.
Kendala satu-satunya untuk meresmikan hubungan Yudhoyono dan Kristiani adalah jarak. Yudhoyono bersiap-siap dan berangkat ke Amerika Serikat untuk pendidikan Airborne dan Ranger. Sementara Kristiani ikut Sarwo Edhie yang ditugaskan sebagai Duta Besar RI di Korea Selatan. Yudhoyono dan Kristiani kemudian dinikahkan pada 30 Juli 1976.
Dua putri Sarwo Edhie juga dinikahkan bersama-sama. Pesta pernikahan tiga putri Sarwo Edhie yang bersuamikan tentara ini dilakukan di Hotel Indonesia. Pernikahan ini menjadi labuhan bagi Yudhoyono yang merindukan keluarga.
Dengan pernikahan ini, Yudhoyono tergabung dan terhitung dalam keluarga Sarwo Edhie yang terkenal nama dan perannya. Keluarga baru didapatkan Yudhoyono setelah keluarganya terpecah kerena perceraian orangtuanya semasa remaja.
Kembali ke Bandung
Diawali dengan lencana Adhi Makayasa dan Kristiani Herawati di dada, Yudhoyono mendapati kecemerlangan karier militernya tapak demi tapak. Bandung, Jawa Barat, menjadi kota yang paling lama disinggahi dalam karier militernya. Lebih dari separuh karier militer Yudhoyono sepanjang 25 tahun ditapaki di Bandung.
Selama 11 tahun pertama di Bandung, pangkat Yudhoyono merangkak naik dari letnan dua infanteri menuju mayor infanteri. Diselingi dua tahun bertugas sebagai Komandan Batalyon Infanteri 744, Dili, Timor Timur, dan menjadi Paban Madya Latihan Staf Operasi Kodam IX/Udayana, Denpasar, Bali, Yudhoyono kembali ke Bandung. Tiga tahun (1989-1992), Yudhoyono menjadi dosen di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat.
Setelah itu, Yudhoyono yang berpangkat letnan kolonel (1992) berkiprah di Jakarta atau masuk dalam ”Ring Pusat”. Gejolak politik dan keamanan menjelang tumbangnya Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto menjadi masalah hariannya. Masa enam tahun penuh gejolak menempa dan mempersiapkan Yudhoyono untuk karier politiknya.
Di Yogyakarta, misalnya. Menjadi Komandan Korem 073 Kodam IV/DIP Yogyakarta (1995) membuat Yudhoyono dekat dengan aktivis mahasiswa yang saat itu lantang menentang pemerintahan Soeharto. Kedekatan Yudhoyono dengan aktivis mahasiswa ini berperan pada Pemilu 2004 dan Pilpres 2004.
Saat terjadi penyerbuan Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro, Jakarta (1996), Yudhoyono menjadi Kepala Staf Kodam Jaya. Tak lama setelah serbuan brutal itu, Yudhoyono ”diungsikan” ke Palembang menjadi Panglima Kodam II/Sriwijaya. Setahun kemudian, Yudhoyono kembali ke Jakarta menjadi Asisten Sosial Politik ABRI dan kemudian menjadi Kepala Staf Sosial Politik ABRI.
Karier militer Yudhoyono berakhir sesaat setelah ABRI direformasi dan diubah menjadi TNI. Saat itu Yudhoyono menjadi Kepala Staf Teritorial TNI (1999). Presiden Abdurrahman Wahid meminta Yudhoyono menjadi Menteri Pertambangan dan Energi Kabinet Persatuan Nasional.
Ketika tawaran itu datang, Yudhoyono menghadapi dilema. Yudhoyono tidak ingin mengecewakan Presiden, tetapi ingin juga menyempurnakan karier militernya dengan bintang empat di pundaknya. Setelah membuat pertimbangan dan berkomunikasi dengan istrinya, tawaran Presiden diterima.
Yudhoyono ke SBY
Lepas dari karier militer, Yudhoyono mulai menatapi karier politiknya. Di bawah pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri, Yudhoyono melihat peluang menjadi wakil presiden dan presiden. Untuk karier politik itu, anak desa yang sudah tinggal di Puri Cikeas Indah, Bogor, Jawa Barat, itu mengubah nama panggilannya menjadi SBY.
Pengalaman kalah dalam pemilihan wakil presiden mendampingi Presiden Megawati dalam Sidang Istimewa MPR (2001) menjadi titik awal karier politik SBY. Setelah mengakui kekalahan dan mendukung Hamzah Haz sebagai wapres, SBY menyusun langkah menuju Istana. Langkah awal yang dibuatnya adalah mendirikan Partai Demokrat.
Bersama Sudi Silalahi yang saat ini menjadi Sekretaris Kabinet, Demokrat dibentuk dan dimatangkan. Sejumlah tokoh nasional diajak, salah satunya Jimly Asshiddiqie meskipun ketika itu menolak. Kedekatan SBY dengan pengusaha Hartati Murdaya Poo juga mulai terjalin erat di sini.
Di Demokrat yang didirikan bersamaan dengan ulang tahun ke-52 SBY, Subur Budhisantoso menjadi ketua umum. Keberadaan SBY yang masih menjabat sebagai pembantu Presiden Megawati diwakili istrinya, Kristiani Herawati, yang menjadi wakil ketua umum.
Menjelang kampanye Pemilu 2004, SBY mundur dari kabinet dengan drama yang membuat penonton televisi memihak kepadanya. Demokrat meraih 7,4 persen suara. Modal suara ini dipakai untuk Pilpres 2004 bersama Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI).
Berpasangan dengan Jusuf Kalla yang keluar dari konvensi capres Partai Golkar, SBY berhasil lolos ke putaran kedua Pilpres 2004. Saat berhadap-hadapan dengan Megawati Soekarnoputri-Hasyim Muzadi, SBY-JK berhasil memenanginya.
Sejarah tercipta di Indonesia. Pilpres langsung pertama dimenangkan capres-cawapres bukan dari partai utama. Rakyat langsung memilih pemimpinnya tanpa perantara dan tanpa huru-hara. Semua berjalan damai bersamaan dengan mekarnya demokrasi di Indonesia.
SBY jilid dua
Setelah dilantik dan diambil sumpahnya sebagai Presiden, SBY tinggal di Istana Kepresidenan, Jakarta. Didampingi istri, dua putra, ibu, dan ibu mertuanya, SBY mencapai puncak kariernya di Istana Merdeka. Doa pagi hari semua anggota keluarga mengawali pergerakannya dari Cikeas ke Istana.
Sukacita muncul di antara para pendukung SBY. Para pendukung sejati mengekspresikannya dengan berbagai cara. Saksi mata pernikahan Yudhoyono-Kristiani, Cho Yong-joon (67), rela mengubah namanya menjadi Djoko Yudhoyono. ”Ini sudah menjadi tekad saat berdoa di pernikahan Yudhoyono-Kristiani di Cijantung,” ujar Djoko.
Djoko adalah contoh dari lahirnya Yudhoyono ideologis di Indonesia. Yudhoyono ideologis itu kini tersebar luas di seluruh Indonesia. Capaian suara Demokrat dalam Pemilu 2009 yang mencapai 20,85 salah satu buktinya.
Diakui atau tidak, jalan hidup dan karier SBY menginspirasi banyak orang. Dari Desa Tremas, Pacitan, yang tandus penuh bebatuan, SBY bisa meraih mimpi tertingginya di Indonesia. Dari keluarga biasa saja dan bercerai pula, SBY bisa menjadi inspirasi keluarga-keluarga di Indonesia.
Berbekal inspirasi itu, SBY mengambil Boediono sebagai calon wapresnya dalam Pilpres 2009. Kepada seluruh rakyat Indonesia yang beragam strata sosialnya, SBY ingin sekali lagi menunjukkan, siapa pun bisa meraih mimpi tertingginya di Indonesia.
Jika mimpi itu terwujud sekali lagi, SBY yang lebih pasti menjamin peralihan generasi kepemimpinan di Indonesia pada tahun 2014. Jika terpilih, karena konstitusi, SBY tidak lagi akan mempertahankan kekuasaannya. Peluang kepemimpinan ke depan terbuka untuk generasi muda dari desa mana saja.
Demokrasi telah terbukti mampu menjadi jembatan dari mimpi seorang anak desa yang kini sudah tinggal di kota dan hidup berkecukupan. Apakah demokrasi yang sama akan membukakan kembali peluangnya? Rakyat Indonesia pemilik hak suara yang akan menentukannya. Bagaimanapun, demokrasi di Indonesia mahal harganya. *
Sumber: Kompas