NUH Atinang atau Adang Bang adalah kampung adat yang terdiri dari 10 kampung (Kabola, Lawahing, Alila, Adang, O'amate, Aimoli, Bangpalola, Tunggul Batak, Lendola, dan Pitung Bang) di wilayah Kepala Burung Kabupaten Alor.
Kampung ini memiliki banyak tradisi yang masih dipegang oleh oleh masyarakatnya secara turun-temurun. Lebih-lebih mereka yang sudah berusia tua.
Salah seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat di Kampung Lendola, Pdt. Fransis Haan, S.Th yang ditemui Pos Kupang di kediamannya di Desa Lendola, Kamis (12/6/2009), menceritakan, tradisi siklus hidup yang ditinggalkan leluhur mereka diartikan sebagai aturan yang harus dipegang masyarakat mulai dari ibu ketika hamil, melahirkan, balita, kemudian anak tumbuh menjadi remaja, dewasa, dan menjadi orang tua kemudian meninggal dunia.
Pada saat seorang ibu sedang hamil, kata Haan, sejumlah pantangan pasti disampaikan orangtua, antara lain jangan makan telur ayam.
Mereka yakin kalau makan telur ayam, janin bisa mengalami keguguran. Karena, telur ayam yang disimpan lama pasti akan rusak.
Larangan lainnya, tidak boleh makan udang. Pantangan ini dilihat dari kebiasaan udang yang gayanya maju-mundur. Dikhawatirkan saat proses persalinan bayi yang hendak keluar dari rahim bisa masuk lagi, dan seterusnya.
Pantangan lainnya adalah makan pisang ambon. Karena pisang ini ukurannya besar, bayi dalam kandungan bobotnya akan besar pula. Kalau makan pisang ini, proses persalinan akan mengalami kesulitan.
Menurut tradisi di kampung itu, seorang ibu yang sedang hamil dilarang keluar rumah pada malam hari. Kalau terpaksa keluar malam, ibu harus membawa paku, pisau atau gunting di tangan. Tujuannya untuk menangkis roh-roh halus yang akan mengganggu.
Selanjutnya, ungkap Haan, waktu melahirkan -- karena saat itu belum ada bidan atau dokter -- tali pusar bayi dipotong oleh dukun menggunakan bambu tajam. Dalam bahasa daerah setempat disebut wulahang atau pitung ahang. Tali pusar tidak boleh dipotong dengan pisau karena dikhawatirkan pisau karat membahayakan kesehatan ibu.
Hal lainnya ketika melahirkan di kampung itu, saat ari-ari susah keluar, biasanya orang-orang tua menggunakan cara tradisional dengan menggunakan genoak untuk mengeluarkannya. Cara ini mujarab dan berhasil mengatasi kasus-kasus yang terjadi di kampung ini.
Anak yang lahir -- disebut safain -- selanjutnya diberi nama. Nama anak pertama biasanya berdasarkan silsilah keluarga ibu. Nanti anak kedua baru berdasarkan silsilah keluarga bapak.
Haan mengungkapkan, jika sudah diberi nama, anak sering menangis pada jam 5 sore, berarti nama anak itu tidak tepat, harus dicari nama lain dari silsilah keluarga ibu bagi anak pertama.
Anggapan lain, anak yang sering menangis pada setiap jam 5 sore dihubungkan dengan perilaku bapaknya pada saat ibunya hamil. "Misalnya saat anak itu dalam kandungan, bapaknya suka panjat kelapa. Maka masyarakat beranggapan bapak ini membawa jiwa anaknya simpan di tempat tinggi. Dia selalu merasa gamang. Ini harus dilakukan upacara, bapak tersebut diberikan bakul keranjang kemudian naik pohon kelapa. Cara ini menandakan, bapak itu kembali mengambil jiwa anaknya pulang ke rumah," ungkap Haan
Demikian pun kalau sang bapak menggali lubang untuk membangun balai-balai pada saat sang anak masih ada dalam kandungan. Ini diartikan bapak telah menguburkan jiwa anaknya. Jalan keluarnya balai-balai itu harus dirubuhkan.
Siklus semasa remaja yang disebut aforlafat, jelas Haan, anak laki-laki dilatih berkebun, latih membuat busur anak-panah, latih memanah, potong kayu, dan berburu dengan orang tua. Sedangkan anak perempuan, dilatih memasak, menumbuk padi, menganyam dan menenun.
Ketika sang anak menanjak dewasa (sarimid), tandas Haan, perkawinannya tidak sama seperti dewasa ini, berdasarkan suka sama suka. Menurut tradisi di kampung ini, orangtualah yang mengatur jodohnya.
Ini masih terjadi sampai tahun 1940-1950-an. Apabila anak tidak mau, maka dipingit bahkan dipaksa. Perkawinan ini juga dilakukan masih dalam struktur keluarga atau yang lebih kita kenal istri atau suami rumah.
Tata cara perkawinan dengan belis. Laki-laki menyiapkan belis untuk mengganti tempat kosong yang disebut eioh fituh. Biasanya pakai Moko Aimala atau Moko Makassar. Moko juga disiapkan untuk pohon pelepas (asel). Selain itu untuk ojafai (tempat kapur) dan berikutnya disebut ugariang dan epun ata mpul (moko untuk pemerintah dan agama).
Belis yang dibawa laki-laki dibalas oleh pihak perempuan dengan nama moring (moko). Balasan perempuan ini setengah dari belis laki-laki.
Saat pesta perkawinan, jelas Haan, ketika laki-laki membawa babi besar (mailboi), maka perempuan menyiapkan babi yang kecil.
Waktu makan di pesta, pengantin tidak boleh makan makanan adat yang disiapkan di rumah itu. Makanan itu diberikan kepada semua orang di pesta itu. Tetapi makanan bagi pengantin disiapkan khusus oleh orangtua.
Haan mengatakan, untuk siklus orang meninggal atau dalam bahasa daerah min, seluruh keluarga yang datang membawa moko, hewan, dan makanan. Saat pemakaman ada upacara pemakaman, dan dilanjutkan dengan acara lego-lego selama 2-3 hari. (Okto Manehat)
Pos Kupang edisi Sabtu, 20 Juni 2009 halaman 15