BATAR. Demikian suku Fujon menamai tempat itu. Berada di bukit sekitar 1,5 Km dari perkampungan Lamalera. Untuk mencapai batar dengan berjalan kaki, butuh waktu sekitar dua jam. Waktu tempuh cukup lama karena jalannya mendaki, melintasi beberapa bukit.
Batar diyakini sebagai tempat tinggal nenek moyang suku Fujon, tuan tanah di Desa Lamalera. Dari sinilah ritual adat penangkapan ikan paus dimulai. Tempat itu diberi sesajen, diantaranya membakar tembakau, tuang tuak, menabur beras jagung giling serta memecah telur ayam. Syair adat juga mulai dikumandangkan dari tempat ini, sembari membunyikan gong.
Peserta ritual adat enam orang, dipimpin Agustinus Olak Fujon. Agus adalah generasi ketujuh suku Fujon. Lima lainnya adalah Yeremias Bala, Arnoldus Gesi, Alexander Manu, Gaspar Boli dan Marsianus Dua. Mereka adalah adik dan anak Agus Olak.
Dari lima peserta itu, dua diantaranya memegang tombak, dan dua lainnya menenteng gong. Kepala mereka dimahkotai dedaunan. Setiap mereka memakai singlet dengan bawaannya novi (kain sarung).
Dari batar, tuan tanah berjalan satu-satu menuruni bukit, lalu berhenti di Wato Koteklema. Wato Koteklema adalah batu yang bentuknya menyerupai ikan paus. Warnanya hitam. Panjang batu itu sekitar 10 meter, dengan lebar dua meter dan tinggi sekitar 1,5 meter. Sama seperti di batar, di Wato Koteklema juga dibuat sesajen.
Perjalanan dilanjutkan menuju laut. Setiap kali perjalanan, syaratnya tidak boleh menoleh atau melihat ke belakang. Syair adat pun tetap dirapalkan Agus Olak dan disahut lainnya.
Sebelum sampai di laut, mereka berhenti di empat tempat, dua tempat diantaranya adalah rumah adat suku Fujon di Dusun Lamanu, Desa Lamalera A dan lango kelake, rumah milik suku Bataona di Desa Lamalera B, sekitar 50 meter dari pantai.
Menurut Agustinus Olak, beberapa tempat persinggahan itu merupakan tempat peristirahatan nenek moyang karena hidup mereka selalu berpindah-pindah tempat (nomaden). Di setiap tempat persinggahan, mereka makan sirih pinang sembari menenggak tuak.
Setelah sampai di pantai, empat orang menceburkan diri ke laut, sebagai ritual memanggil ikan. Sementara dua orang pemegang tombak menanti di pantai. Upacara berakhir ketika empat orang itu keluar dari laut dan berkumpul di depan Kapela Santo Petrus dan Paulus yang ada di pantai.
Seremoni adat dengan tujuan memanggil roh ikan paus, yang diselenggarakan Jumat (1/5/2009) dari pagi hingga siang itu, dikenal dengan sebutan iyegerek. Ritual ini dimulai dari gunung karena masyarakat Lamelera meyakini bahwa ikan paus sesungguhnya berasal dari gunung. Paus adalah perwujudan dari nenek moyang yang memberikan diri sebagai makanan.
Sebelumnya, Kamis (30/4/2009), juga dilaksanakan seremoni adat di lango kelake. Tujuannya untuk perdamaian. Kalau ada tutur kata, sikap dan perbuatan yang salah, termasuk perbedaan pendapat soal konservasi, diselesaikan. Permasalahan harus diselesaikan sebelum dimulainya misa arwah dan misa lefa.
Pihak-pihak yang terlibat adalah tuan tanah suku Fujon dan suku Tufan serta lika telo yang meliputi suku Bataona, Blikololong dan Lewotukan. Meski yang hadir suku Fujon dan suku Bataona, ritual adat tetap dilaksanakan, diakhiri dengan minum darah ayam.
Bagi masyarakat Lamalera, perdamaian harus terjadi sebelum dimulai penangkapan ikan paus. Jika tidak, maka akan berpengaruh pada hasil tangkapan di laut. Ada ceritra, beberapa waktu lalu, pernah terjadi perselisihan antara tuan tanah dan lika telo. Akibatnya, selama tiga tahun nelayan tidak menangkap ikan paus. Namun, setelah berdamai, hasil tangakap banyak.
Ini menandakan masyarakat Lamalera meyakini bahwa hubungan antara yang di darat dan di laut merupakan hubungan sebab akibat. Keduanya saling mendukung dan saling menentukan. Oleh karena itu, harmoni harus tercipta sebelum memasuki musim lefa atau olanua.
Prosesi ritual tradisi sebelum musim lefa ini menjadi menarik karena mendapat bentuk baru dengan upaya inkulturasi dari gereja Katolik. Setelah upacara iyegerek, digelar misa arwah di Kapela Santo Petrus dan Paulus di pantai pada Jumat (1/5/2009) sore. Jauh sebelumnya, selama tiga hari berturut-turut (27-29 April 2009) telah dilaksanakan sembayang. Masyarakat menyebutnya dengan Tridum.
Misa lefa dipimpin Rm. Bartolomeus Na Helan, Pr, pastor pembantu, dengan ujud mendoakan para nelayan yang telah meninggal. Selesai upacara ekaristi, Romo Bartol mengarahkan umat menghadap ke laut sambil memegang lilin bernyala di tangan. Bersamaan dengan itu, dibacakan nama-nama nelayan yang meninggal di laut. Perayaan misa arwah ditutup dengan penaburan bunga di laut dan pemasangan lilin. Masyarakat Lamalera percaya, jika orang yang sudah meninggal tidak diperhatikan maka arwahnya akan marah.
Di hari pelaksanaan misa arwah, masyarakat Lamalera tidak melaut. Bunyi-bunyian juga tidak terdengar. Desa Lamalera A dan Lamalera B yang terletak di kaki bukit gopo, bedilolo dan bukit kapasono, itu sunyi.
"Masyarakat menyakini bahwa saat itu arwah nenek moyang datang. Tanda-tanda kedatangan arwah tercium lewat bau terumbu karang," kata Dion Bediona.
Keesokan harinya, Sabtu (2/5/2009) pagi, bertempat di kapela, digelar misa lefa dipimpin Rm. Yacobus Adobala Dawan, Pr, pastor paroki. Misa lefa menandai memulai musim turun ke laut. Upacara berlanjut dengan pemberkatan laut dan peledang (perahu yang digunakan untuk menangkap ikan paus). Pastor memercikkan air pada peledang Praso Sapang. Usai diberkat, Praso Sapang didorong ke laut dan berlayar menangkap ikan paus. Sebelum Praso Sapang melaut, air laut dianggap 'steril'. Satu kejadian di hari misa lefa, sebuah speed boat yang mengangkut turis hendak menepi tapi diusir masyarakat yang dimotori Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf. Speed boat memutar haluan, lalu bergerak menjauh meninggalkan laut Lamalera.
Hal lainnya yang dilarang adalah ikan paus yang muncul pada hari misa arwah dan waktu misa lefa, tidak ditangkap. Bagi masyarakat Lamalera, kemunculan ikan paus pada saat-saat itu pertanda baik.
Selanjutnya, Romo Yakobus memberkati satu per satu peledang yang tertambat di rumah peledang (naje). Ada 37 naje di pantai sepanjang sekitar 150 meter itu. Sembilanbelas naje dibangun di sisi kiri kapela dan sisanya di sisi kanan. Peledang- peledang itu bisa melaut setelah peledang Praso Sapang pulang.
Misa lefa merupakan upacara puncak penangkapan ikan paus. Setelah misa lefa, masyarakat Lamalera selama tiga bulan ke depan (Mei-Oktober) mengawasi Laut Sawu. Apabila melihat semburan paus, maka masyarakat akan berteriak bersahut- sahutan "baleo..., baleo..., baleo..." Peledang pun segera didorong ke laut untuk mengejar ikan paus. (bersambung)
Pos Kupang 1 Juni 2009 halaman 1