NELAYAN Lamalera dikenal sebagai penangkap ikan paus yang tangguh. Meski demikian, tidak semua jenis paus ditangkap. Mereka lebih memilih paus yang dalam bahasa Lamalera disebut Koteklema. Dalam ilmu perikanan, Koteklema sering disebut paus jenis sperm atau Physeter macrocephalus.
Nelayan Lamalera tidak menikam paus jenis Seguni (Killer Whale atau orca) dan Klaru (paus biru atau Balaenoptera musculus) yang juga lalu lalang di perairan Laut Sawu, di depan perkampungan Lamalera. Jenis Klaru justru ditikam oleh nelayan Lamakera di Pulau Solor.
Dari beberapa literatur, Koteklema dikenal sangat kuat. Dia sanggup menyelam hingga lebih 1.000 meter. Ukuran tubuh dewasa mencapai 19 meter (jantan) dan 12 meter (betina). Bobotnya mencapai 30 ton hingga 60 ton. Koteklema juga terkenal dengan ganasnya. Tidak mengherankan, sebagaimana diungkap beberapa nelayan, ketika ditikam Koteklema mengamuk membuat peledang terbalik.
Namun, jika dibandingkan dengan Paus Biru, Koteklema kurang kuat. Paus biru dianggap sebagai binatang terbesar. Beratnya mencapai 130 ton -- hampir sama dengan 30 ekor gajah atau 1.600 manusia. Panjangnya bisa mencapai lebih dari 30 meter.
Meski kadang bermigrasi sama-sama di Laut Sawu, nelayan Lamalera bisa membedakan paus biru dengan Koteklema.
Perbedaan terletak pada model semburannya. Kalau paus biru semburannya lurus ke atas, sedangkan Koteklema tidak. Hal lainnya yang membedakan adalah paus biru memiliki jumbai-jumbai rambut, sedangkan Koteklema tidak.
Kepala Desa Lamalera A, Hendrikus Keraf mengatakan, Paus Biru tidak boleh dibunuh karena menurut cerita orang tua, dia penolong nenek moyang suku Soge Paga dari Kabupaten Sikka ke Lamalera. "Klaru (Paus Biru) pengantar leluhur kami ke Lamalera. Sedangkan jenis Seguni tidak dipilih karena Suku Ebonna di Lamalera tidak memakannya. Orang tua meminta kami untuk tidak menangkap Klaru dan Seguni," kata Keraf.
Nelayan Lamalera juga bisa membedakan mana Koteklema betina dan jantan. Betina yang hamil, apalagi. Namun, itu hanya bisa dilakukan orang tua zaman dulu. Dengan demikian, Koteklema betina maupun betina yang hamil tidak boleh ditangkap.
Menurut Keraf, generasi sekarang sangat sulit membedakan betina dan jantan, serta mana betina yang sedang hamil, karena menikam saat ikan ada di dalam air. Untuk membedakan jantan dan betina, orang tua melihat sirip atas. "Sangat sulit untuk membedakan paus yang jantan dan betina, begitu juga yang hamil atau tidak. Kalau dulu zamannya nenek moyang bisa bedakan. Nelayan selalu dapat betina dengan anaknya yang di dalam. Masalahnya, kita kurang mengenal," aku Keraf.
Satu hal yang masih bisa dikenali nelayan Lamalera generasi sekarang adalah Koteklema betina yang sedang menyusui. Untuk kategori ini, tidak ditikam nelayan. Karena, nelayan paham ikan yang sedang menyusui paling ganas.
Tentang betina yang hamil tertangkap, diketahui pada Jumat (1/5/2009). Beberapa nelayan menjaring ikan belelang, jenis ikan pari. Ternyata, setelah dibelah ada anak pari. Meski dalam kondisi hidup, anak pari tidak dilepas. Karena, diyakini membawa rezeki. "Ini rezeki. Kalau lepas maka perahu tidak tikam lagi. Dari dulu orang tua tidak lepas," ujar Keraf.
Perlakuan terhadap anak ikan, termasuk anak ikan pari, tidak sembarang. Seorang turis yang sempat memegang ekor anak pari langsung ditegur. "Tidak boleh raba di situ (ekor, Red). Dia ini tidak boleh diperlakukan sembarang. Diletakkan sembarang juga tidak boleh. Keramat sekali. Begitu juga anak ikan paus," katanya.
Nah, bagi nelayan Lamalera, pengetahuan tentang jenis ikan paus yang ditangkap dan mana yang tidak ditangkap, sudah berlangsung lama, sama dengan mereka telah melaksanakan konservasi secara alami. Makanya tidak heran jika mereka menolak pelaksanaan konservasi dengan versi pemerintah dan LSM. Bagi masyarakat Lamalera, konservasi yang dilaksanakan pemerintah dianggap sebagai upaya untuk membatasi 'ruang gerak' nelayan.
Lebih dari itu, konservasi dengan pelarangan penangkapan ikan paus sama saja dengan menghentikan mata pencaharian masyarakat Lamalera. Sama dengan melarang masyarakat Lamalera untuk berhubungan dengan nenek moyangnya karena ikan paus diyakini sebagai nenek moyang yang menyerahkan dirinya untuk generasi sekarang.
Tidak mengherankan ketika Agus Dermawan, Direktur Jenderal (Dirjen) Konservasi dan Taman Laut Nasional pada Departemen Kelautan dan Perikanan, membuat pernyataan tentang Konservasi di Zona II Laut Sawu (Lembata, Alor dan Solor), memicu kemarahan masyarakat Lamalera. Kemarahan semakin menjadi tatkala WWF (World Wildlife Fund) lewat orang- orangnya menginformasikan bahwa masyarakat Lamalera akan 'beralih profesi'.
"Kami stop tangkap lalu suruh kerja lain. Kami tanam apa? Kami sekolahkan anak dari ikan paus. Kami menolak konservasi," kata Stefanus Fotu.
"Penolakan konservasi ini merupakan yang pertama di Indonesia," kata Maha Adi, wartawan Majalah Tempo yang kini sedang studi pasca serjana bidang lingkungan, saat berkunjung bersama saya di Lamalera. Maha Adi kini menjadi staf Tim Pengkajian dan Penetapan Kawasan Konservasi Laut (Tim PP KKL) Laut Sawu - Solor - Lembata - Alor (SOLAR).
Karena reaksi penolakan terus muncul, dalam perjalanan Depertemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 'melunak'. Agus Dermawan menyatakan Deklarasi Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu di Word Ocean Conference (WOC) bulan Mei 2009 tidak memasukkan perairan Laut Lambata dan sekitarnya sehingga KKPN Laut Sawu hanya mencakup perairan Selat Sumba dan sekitarnya, serta wilayah perairan Pulau Sabu, Rote, Timor, Batek dan sekitarnya seluas 3,5 juta hektar.
Keputusan ini permanen? Jangan-jangan taktik DKP untuk meredam emosi masyarakat saat menjelang penyelenggaraan Word Ocean Conference (WOC) di Manado. Terbesit ada kekhawatiran Indonesia tidak mau kehilangan muka di hadapan peserta WOC dari luar negeri hanya karena penolakan.
Dugaan ini beralasan, apalagi jauh sebelumnya, KKPN Laut Sawu sudah ditetapkan dan menjadi satu kesatuan, termasuk perairan Solor, Lembata, Alor dan Rote (SOLAR).
Terkait dengan konservasi ini, memang penting untuk memberikan pengertian kepada masyarakat untuk melestarikan paus. Masyarakat perlu diingatkan untuk mewaspadai masa paceklik paus. Jangan sampai budaya memburu paus ini nanti hanya akan tinggal cerita.
Kotaro Kojima, orang Jepang yang mendalami tentang tradisi penagkapan ikan paus, mengatakan, "Memang laut harus konservasi. Tidak boleh sembarang dan seenaknya. Tapi Lamalera itu warisan kebudayaan manusia. Jadi, tradisi ini tidak boleh hilang." (selesai)
Pos Kupang edisi 3 Juni 2009 halaman 1