UDO Sae atau Udo Hae. Nama ini tidak asing lagi di telinga masyarakat Ngada. Yaitu tempat menyimpan jagung, ketika para petani selesai memanen. Maklum, sebagian besar masyarakat Ngada berprofesi sebagai petani ladang.
Menurut tradisi orang Ngada, rajin tidaknya seorang petani dalam sebuah kampung dilihat dari besar kecilnya Udo Sae. Sebab, tempat berupa pancangan tiang dari bambu ini dibuat tepat di depan rumah. Beberapa bambu bulat dipancang di dalam tanah. Masing-masing tiang berjarak antara setengah meter hingga satu meter.
Setelah bambu ini pancang, bagian tengahnya dilubangkan dan dipalang dengan belahan bambu kecil yang dinamakan lat. Biasanya dibuat beberapa tingkat supaya kuat. Besar kecilnya Udo Sae tergantung hasil panen dan luas kebun masing-masing petani atau banyaknya kebun si petani.
Jagung yang sudah tua dibuka kulitnya beberapa lembar dan diikat (peti) satu dengan yang lainnya. Supaya seimbang satu ikatan dibuat tiga-tiga batang. Saat jagung dipanen (rewa sae) biasanya tuan kebun mulai mengundang tetangga atau kerabat dekatnya untuk sama-sama mengikat (peti sae).
Udo Sae biasanya dibuat secara gotong royong. Tradisi nenek moyang ini memang masih kita dapatkan saat ini di sebagian besar masyarakat Ngada, terutama di desa-desa, karena penghasilan utama petani di Ngada adalah jagung (sae). Orang akan segera mengambil kesimpulan bahwa musim ini lapar atau kenyang, hanya dengan melihat banyak atau besar tidaknya udo yang dibuat masing-masing petani. Jagung disimpan di udo juga lebih tahan lama, meskipun cuaca panas atau terkena hujan pada musim hujan, apalagi kalau udo dibuat dengan sedikit ritual yang baik oleh pemiliknya. Ritual biasanya menggunakan sedikit darah ayam yang dioleskan di tiang-tiang bambu. Jika dibuat ritual demikian, jagung disimpan di udo tersebut tidak akan rusak.
Tiga tahun lalu (2006), ketika cuti dan pulang kampung, saya mendapatkan masyarakat di desa saya, Ube Dolo Molo, Kecamatan Bajawa, sudah sangat sedikit membuat udo sae. Tidak tahu apa alasannya. Tapi, kalau dirunut lebih jauh, masyarakat sudah semakin maju. Jagung yang dipanen biasanya langsung diluruh (pula) untuk dikeringkan dan dijual semuanya, untuk membeli beras atau kebutuhan rumah tangga lainnya.
Kalaupun tidak dijual, jagung yang sudah diluruh dan dikeringkan ini biasanya dimasukkan ke dalam karung atau drum yang disimpan di rumah.
Ya, zaman memang semakin maju, individualisme mulai nampak, orang cenderung bekerja sendiri-sendiri. Apalagi, pekerjaan untuk mengikat jagung juga butuh banyak orang dan harus mengeluarkan biaya banyak untuk orang-orang yang mengerjakannya. Saat ini masyarakat yang mulai terkontaminasi dengan kemajuan di perkotaan tidak mau lagi bekerja yang rumit-rumit.
Mungkin juga karena bambu semakin susah didapatkan di sana. Kalaupun ada, harus dibeli dan harga satu batang bambu sudah mencapai Rp 15 - 20 ribu/batang.
Untuk membuat udo, dibutuhkan minimal lima atau enam batang. Belum lagi harus mencari bambu dan kebun-kebun bambu di Ngada biasanya di gunung. Bayangkan saja, kalau harus ke gunung, menebang dan memikul bambu-bambu tersebut ke kampung dengan jalan yang berliku-liku dan mendaki. Mungkin ini salah satu alasan, mengapa petani di kampung saya lebih suka menyimpan jagung di karung-karung setelah diluruh daripada harus menyimpan di udo.
Dulu, ketika jagung masih disimpan di udo, banyak hal yang didapatkan. Selain jagung bisa disimpan lama dan hanya akan diambil atau diturunkan ketika musim lapar atau musim panen berikutnya, rasa jagung juga terasa lebih manis dan empuk dibandingkan dengan jagung yang diluruh, dikeringkan dan disimpan di dalam karung atau drum.
Menyimpan jagung di udo juga bisa meningkatkan rasa persaudaraan dan kegotongroyongan di antara warga kampung. Susah atau kesulitan satu orang menjadi susah bersama di kampung tersebut. (Apolonia Mathilde Dhiu)
Pos Kupang edisi Sabtu, 6 Juni 2009 halaman 10