DALAM perjalanan di tengah renai hujan Maumere-Ende akhir pekan lalu, wartawan Pos Kupang, Aris Ninu mampir di Ase. Dua bangunan di sana rupanya menggugah dahaga jurnalistiknya.
Sejenak Aris tertegun memandang Kapela St. Martinus warisan mendiang Pastor Thedorus Visser, SVD (terakhir Pastor Paroki Watuneso) yang berdiri kokoh di Ase. Di samping kapela tergolek gedung sekolah reot. Sekolah Dasar Katolik (SDK) Ase. Usianya lebih dari 50 tahun!
Letak sekolah ini sangat strategis. Persis di tepi jalan trans utama Flores, jalur Maumere-Ende. Hanya sekitar satu setengah kilometer dari gerbang perbatasan antara Kabupaten Ende dan Sikka serta cuma 2 km dari Kantor Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende yang berdiri anggun di ujung lapangan Ae Petu.
Lantai tanah, dinding dari anyaman bambu, meja dan kursi tidak lagi utuh. Begitulah sebagian wajah SDK Ase yang sempat Aris laporkan. Ada empat ruang kelas yang sejatinya tak layak lagi untuk kegiatan belajar-mengajar (KBM). Dinding dari anyaman bambu telah berlubang di sana-sini. Bukan mustahil di luar jam sekolah ruangan kelas itu berubah fungsi sebagai tempat berteduh kambing, anjing, ayam atau itik dari sengatan panas dan hujan.
Yang luar biasa adalah semangat para guru dan murid. Sekolah ini menampung 46 murid kelas I-IV yang berasal dari kampung terdekat seperti Lia Tola, Watas dan sebagian dari Kampung Jembatan Besi. Hari itu Aris sempat bertemu dua orang guru, Yanti dan Lin namanya. "Kami sungguh merana dan dilupakan, tapi kami tetap semangat mengajar anak-anak," kata Yanti.
***
MERANA dan dilupakan! Diksi yang tepat untuk melukiskan nasib SDK Ase. Bila lokasinya di kampung udik terisolir mungkin bisa dimaklumi. Ase ini bukan daerah terpencil! Ase berada di jantung utama trans Flores yang saban hari dilewati ratusan bahkan ribuan kendaraan roda dua dan empat. Banyak orang termasuk para petinggi daerah pasti pernah lewat di sana. Tapi mata mereka mungkin tak melihat wajah Ase yang pengap dan tak layak disebut sekolah dasar. Dasar pembentukan otak dan hati anak bangsa penerus masa depan. Pendidikan sesungguhnya untuk apa dan siapa?
Ase pastilah tidak sendirian. Ada banyak Ase di beranda Flobamora yang nasibnya sama dan sebangun. Sudah berita basi di kampung besar Nusa Tenggara Timur ini anak-anak belajar di bawah tenda atau rindang pepohonan. Sudah lazim melihat gedung sekolah reot dan bocor di kampung dan dusun. Bahkan di ujung hidung ibu kota propinsi dan kabupaten sekalipun, tuan dan puan tidak sulit menemukan fakta miris semacam itu.
Sarana fisik memang hanya satu sisi dari jagat pendidikan nan luas. Pernahkah kita serius periksa ruang kelas. Apa yang terjadi di sana. Benarkah ada proses belajar-mengajar? Pernah tengok cara guru mengajar dan mendidik? Seperti apa mutu pendidik kita? Bagaimana jerit letih roda kehidupan mereka? Gagal Ujian Nasional (UN) guru dicela, sekolah didamprat! Hai orangtua, masyarakat dan pemerintah, di manakah posisi tuan?
Hari-hari ini ketika hasil UN SMA dan SMP di Flobamora menguras air mata, tak ada yang berani maju menunjuk dada sebagai pihak yang paling bertanggung jawab. Kita kembali mendengar lagu lama, kegagalan itu tanggung jawab bersama. Ini pilihan kata kesayangan orang-orang yang suka lari dari tanggung jawab! Kita memang bangsa kambing hitam. Mudah menunjuk kesalahan orang lain. Tak pernah berani mengakui kelemahan atau kegagalan diri sendiri.
Hasil UN tahun 2010 sungguh melambungkan nama Nusa Tenggara Timur. NTT juara nasional. Juara dari belakang! Hasil itu sekadar menggenapi kenyataan tentang minimnya perhatian terhadap pendidikan.
Beta terkenang orang-orang yang dulu bicara sampai mulut berbuih. Ingat mereka yang berteriak di panggung kampanye sampai kerongkongan lecet tentang sekolah gratis. Berapi-api menyatakan diri pemain terdepan dalam memajukan pendidikan Flobamora. Semua itu ternyata sekadar nubuat kebohongan. Hanya jualan omong-kosong pemanis bibir.
Pendidikan Nusa Tenggara Timur hari ini sungguh menguras air mata. Air mata anak-anak kita, guru dan orangtua bahkan telah terkuras habis. Hanya menyisakan ratapan dalam diam.
Para wakil rakyat yang terhormat, luar biasa perasaan tuan dan puan. Kok masih bisa tertawa di ruang berpendingin udara. Duduk tenang di gedung megah bernama Dewan Perwakilan Rakyat!
Beta sendiri bersyukur hasil UN tahun ini menempatkan NTT di posisi terbuntut dari 33 propinsi di tanah air. Beta bersyukur karena itulah wajah polos Flobamora. Memang begitu kok! Mau berkelit apa lagi? Mestinya kita bangkit kalau masih punya rasa malu. Celaka sembilan belas bila rasa malu pun sudah tak ada lagi di beranda Flobamora! Pendidikan, untuk apa dan siapa? (dionbata@gmail.com)
Pos Kupang edisi Senin, 10 Mei 2010 halaman 1