Takdir adalah sesuatu yang selalu ingin manusia capai. Semua orang, ketika masih muda, tahu takdir mereka. Pada titik kehidupan itu, segalanya jelas, segalanya mungkin. Mereka tidak takut bermimpi dan mendambakan segala yang mereka inginkan terwujud dalam hidup mereka.
Namun, dengan berlalunya waktu, ada daya misterius yang mulai meyakinkan manusia bahwa mustahil mereka bisa mewujudkan takdirnya. Daya itu adalah kekuatan-kekuatan yang kelihatannya negatif, tetapi sebenarnya menunjukkan cara kepada setiap manusia mewujudkan takdir tersebut.
Daya itu mempersiapkan roh dan kehendak manusia, sebab ada satu kebenaran mahabesar di planet ini. Siapapun dan apapun yang manusia lakukan, kalau mereka sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, itu adalah hasrat yang bersumber dari jiwa jagat raya. Itulah misi manusia di dunia ini.
Begitu petuah lelaki tua bernama Melkisedek kepada anak gembala asal Spanyol, Santiago, yang sedang mencari harta karun dalam novel The Alchemist karya Paulo Coelho. Novelis asal Brasil tersebut menuliskan "petuah Melkisedek" itu untuk siapa saja, termasuk juga kepada setiap manusia yang terlibat dalam dunia sepak bola.
Toh, sepak bola juga tidak bisa dilepaskan dari takdir, yang tidak bisa didikte oleh manusia. Setiap pesepak bola mempunyai mimpi meraih kemenangan. Namun, ingat, tidak ada yang bisa dipastikan dalam sepak bola. Orang boleh menjagokan tim nasional Brasil menjadi favorit juara, tetapi sudah banyak bukti bahwa seringkali justru malanglah nasib mereka jika mereka difavoritkan.
Dengan begitu, sepak bola ibarat menjadi rangkaian olahan permainan manusia yang seakan menggambarkan kehidupan di dunia yang tidak bisa ditebak. Memang akhirnya tetap akan ada takdir baik berbentuk kemenangan atau kekalahan. Akan tetapi, kedua hal tersebut mau tidak mau harus diterima dengan lega karena itulah hasil dari perlawanan, perjuangan, dan olahan manusia itu sendiri.
Indonesia
Berbicara soal takdir sepak bola, pada Minggu (12/10/2014) muncul pernyataan dari pelatih tim nasional Indonesia U-19, Indra Sjafri, sesudah Evan Dimas dan kawan-kawan dinilai gagal total dalam targetnya mencapai semifinal Piala Asia U-19 2014 Myanmar.
"Mereka (pemain timnas U-19) sudah berusaha, tetapi takdir di tangan Tuhan. Soal gol atau tidak, keberuntungan juga berperan di situ," kata Indra sesudah Skuad Garuda Jaya dikalahkan Australia 0-1. "Masyarakat tentu sangat arif menilai pertandingan ini. Memang ini sudah jalan dari Tuhan untuk kita."
Seusai pertandingan, seluruh pemain timnas U-19 tampak murung dan melangkah gontai di atas lapangan sembari tertunduk lesu. Kesedihan tidak bisa disembunyikan dari raut wajah mereka. Bahkan, Evan Dimas dan Muhammad Sahrul Kurniawan menangis tersedu-sedu sebelum akhirnya dihampiri oleh Indra Sjafri.
Indra memeluk mereka, sembari melontarkan semangat. Satu per satu Indra menghampiri anak asuhnya yang tergontai lemas di atas lapangan. "Saya berharap, para pemain jangan disalahkan. Kasihan mereka. Mereka sudah melakukan apa yang terbaik yang mereka punya. Ini bukan aib," kata Indra mengomentari perjuangan timnya.
Kekalahan itu membuat perjuangan Indonesia terhenti di Piala Asia. Ratusan juta masyarakat negeri ini kecewa. Pun halnya seluruh pemain serta ofisial timnas. Akan tetapi, sekali lagi, tidak logis jika pemain dan pelatih disalahkan atas kegagalan tersebut. Toh, ini bukan kali pertama Indonesia menuai kegagalan di kancah sepak bola internasional.
Nama timnas U-19 mencuat ketika mereka berhasil meraih gelar Piala AFF U-19 2013. Itu adalah trofi Asia Tenggara pertama bagi Indonesia semenjak torehan emas di SEA Games 1991. Memang, usia muda tidak bisa saklek dijadikan patokan prestasi. Akan tetapi, di tengah kerinduan panjang akan prestasi, tidak bisa disalahkan pula jika masyarakat Indonesia memupuk harapan tinggi dari perjuangan mereka.
Pertanyaan
Kegagalan timnas U-19 ini seakan kembali melontarkan pernyataan yang sudah muncul sejak puluhan tahun lalu, apa yang salah dengan sepak bola Indonesia? Semenjak emas terakhir di SEA Games 1991, kegagalan demi kegagalan terus terjadi. Belum ada bukti kegagalan itu dijadikan pelajaran berharga bagi para pengurus sepak bola di negeri ini.
Mengapa pertanggungjawaban harus dialamatkan kepada para pengurus PSSI? Jawabannya tentu karena prestasi dalam dunia olahraga apapun, tidak hanya sepak bola, adalah cerminan kinerja dari para pengurus federasinya. Dengan begitu, bisa jadi, salah satu faktor utama kegagalan itu adalah belum adanya sumber daya pengurus yang mampu membina para pesepak bola di negeri ini dengan niat baik dan benar.
Di Indonesia seringkali muncul satire seperti ini: "Masa iya, ada lebih dari 200 juta penduduk yang sebagian besar merupakan penggila bola, negeri ini tidak bisa membentuk timnas yang hebat?" Tidak perlu dulu kita bicara soal prestasi, tetapi sudah adakah proses yang benar untuk membentuk timnas yang memadai? Di sinilah muncul titik krusial krisis prestasi yang harus dipertanyakan kepada pengurus sepak bola Indonesia.
Dengan segala bakat melimpah manusia di nusantara, sudah pasti ada potensi besar bagi negara ini untuk berbicara di level dunia. Namun, ketika muncul secercah harapan, mulailah "penyakit lama" para pengurus sepak bola di negeri ini kumat, penyakit yang kerap membuat prestasi para pemain muda dijadikan komoditas politik untuk pamer kesuksesan atau bisa jadi pula mengeruk keuntungan.
Mau bukti? Tidak usah jauh-jauh melihat ulah mereka bertikai saat memperebutkan kekuasaan atau karut-marutnya kompetisi sepak bola Indonesia. Teranyar, tengoklah kondisi yang terjadi ketika timnas U-19 menuai kesuksesan mengangkat trofi Piala AFF 2013 atau kegemilangan permainan mereka saat mengalahkan Korea Selatan 3-2 di penyisihan Piala Asia U-19 2014.
Atas kesuksesan itu, di tengah euforia masyarakat Indonesia yang rindu akan prestasi sepak bola, PSSI mulai bereaksi. Mulai dari Tur Nusantara jilid I dan II hingga rangkaian turnamen-turnamen internasional dipersiapkan untuk dijadikan ajang uji coba. Namun, jika menilik standar persiapan uji coba level usia muda, melaksanakan pertandingan lebih dari 40 kali juga rasanya berlebihan.
Dan tampaknya cuma di Indonesia pula yang seluruh rangkaian laga uji coba para pemain timnas muda itu disiarkan langsung oleh televisi nasional. Padahal, cara seperti itu bisa kembali memunculkan pertanyaan, bukankah langkah tersebut justru menjadi keuntungan bagi calon lawan Indonesia karena mereka mudah mendapat rekaman video permainan Evan Dimas dan kawan-kawan?
Kompetisi
Kini, apapun apologi yang dikeluarkan PSSI, kembali, kegagalanlah menjadi yang menjadi bukti nyata hasil kinerja mereka. Sekarang, publik pun pantas kembali bertanya, selanjutnya bagaimana nasib Evan Dimas dan kawan-kawan? Dan jawabannya, bagi para penikmat sepak bola Indonesia bisa jadi mengerikan, karena mereka mau tidak mau harus meniti karier di kompetisi Indonesia.
Mengapa mengerikan? Jawabannya simpel saja: hingga saat ini sudah adakah bukti sistem kompetisi di Indonesia bisa menghasilkan pemain-pemain muda berkualitas yang bisa menghasilkan prestasi di level senior? Jika berkaca kepada para penggawa timnas U-19, jelas mereka merupakan kumpulan pemain yang sudah disatukan bersama-sama sejak berada di level U-16.
Lalu, bagaimana jika akhirnya para pemain timnas U-19 saat ini harus berpisah untuk ikut serta dalam kompetisi Indonesia? Bisakah hingga ke level senior mereka tetap menjaga kondisi dan mental bertanding sebagai seorang pemenang yang selalu memainkan sepak bola dengan riang gembira? Pertanyaan itu tentunya hanya bisa dijawab oleh para pengurus sepak bola yang bertugas menyelenggarakan kompetisi di negeri ini.
Toh, pelajaran yang dapat dipetik dari perjuangan timnas U-19 di Myanmar, salah satunya adalah manusia tidak bisa memastikan kemenangannya, justru pada saat mereka berada di puncak prestasinya. Dengan begitu, jelas bukan awal, melainkan hasil akhirlah yang menentukan segalanya dalam sepak bola. Legenda Perancis, Michel Platini pernah berkata, "Dalam sepak bola, siapa yang memberikan segalanya pada awalnya, mereka jarang memperoleh ganjaran setimpal pada akhirnya."
Jika sudah ada contoh negara penggila sepak bola yang telah menciptakan sistem kompetisi baik saja masih kerap menemui kegagalan, bagaimana dengan di negara yang sudah nyeleneh dari awal? Inilah yang terus menjadi pertanyaan membosankan mengenai keabsurdan serta karut-marutnya sistem kompetisi sepak bola Indonesia, yang timnas seniornya terakhir kali berprestasi di ajang internasional pada 23 tahun silam.
Dalam kasus seperti ini, wajar jika ada manusia berbicara mengenai sesuatu yang tidak berasal dari usaha, perhitungan, atau rasionalitasnya. Pun halnya, di tengah dunia modern yang membenci irasionalitas, tidak bisa pula manusia disalahkan jika ada yang beranggapan sepak bola harus mau mengakui kuasa keberuntungan yang melawan rasionalitas itu. Dan bisa jadi kuasa itulah yang dinamakan takdir sepak bola.
Namun, seperti yang dikatakan dalam The Alchemist, pada saat manusia menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya akan bersatu padu untuk membantu meraihnya. Para pemain di dalam timnas U-19 adalah salah satu bukti nyata bahwa Indonesia adalah gudangnya pesepak bola bertalenta. Pertanyaannya, siapakah yang bisa mewujudkan misi untuk menyelesaikan takdir dari anugerah tersebut? Itulah kewajiban dari kumpulan manusia yang menjelma sebagai pengurus sepak bola Indonesia.
Dengan kata lain, jika para pengurus itu punya ide dan melaksanakannya secara habis-habisan demi kebaikan untuk memajukan sepak bola Indonesia, alam semesta bakal bekerja sama membantu mereka memperolehnya. Sebaliknya bila tidak, tinggal tunggu saja, hasil akhir apa yang bakal terjadi terhadap dunia sepak bola di negeri ini.
"Setiap pencarian dimulai dengan keberuntungan bagi si pemula. Dan setiap pencarian diakhiri dengan ujian berat bagi si pemenang." - The Alchemist, Paulo Coelho.
Sumber: Kompas.com