Angkot di Kota Kupang |
Kawasan perkotaan seperti Kampung Bajawa, Kayu Putih, Kelapa Lima, Liliba, Oesapa Selatan, Naioni, Fatukoa, Belo, Naimata, Kolhua dan lainnya yang belum dilayani angkutan umum merupakan kawasan yang cepat berkembang. Akibat ketiadaan atau minimnya angkutan umum, para penumpang terpaksa berganti moda (angkot) hingga beberapa kali. Mereka memilih ojek karena tawaran aksesibilitas dan mobilitas lebih tinggi, meski tarifnya relatif lebih mahal.
Sadar atau tidak, ojek yang semula merupakan angkutan alternatif, kini cenderung berubah menjadi jenis angkutan umum utama atau primadona. Realita ini seharusnya menyadarkan kita bahwa esensi pengelolaan sistem angkutan umum harus diperbaiki sedemikian sehingga tujuan pengelolaannya sebagaimana diamanatkan UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dapat terpenuhi yaitu selamat, aman, nyaman, lancar dan ramah lingkungan.
Sudah saatnya pemerintah memfasilitasi berbagai upaya pengaturan sistem operasi angkutan umum sehingga tiap elemen terkait bersinergi. Sistem pengelolaan angkutan umum saat ini dikenal dengan model kelembagaan swasta murni. Pemerintah hanya mengeluarkan izin operasi dan trayek serta aspek administratif lainnya (retribusi), sedangkan seluruh operasi dipegang swasta.
Bila 10 tahun lalu masalahnya masih sebatas jeleknya kualitas layanan angkutan umum, maka sekarang justru berkembang menuju ambruknya sistem layanan angkutan umum, juga terkait keselamatan pengguna jalan. Pemerintah Kota Kupang memang pernah berupaya mengatur melalui beberapa perangkat hukum operasi namun pola pengaturannya cenderung menyesatkan. Untuk mengakomodir aktivitas angkutan ojek dibangun sejumlah pangkalan ojek. Aneh!!
Sesungguhnya ojek bukan merupakan sarana angkutan umum resmi dan hal tersebut jelas jelas diatur dalam UU 22/2009, tapi kehadirannya malah diakomodir secara berlebihan! Pangkalan ojek pun diletakkan berhimpitan dengan wilayah layanan angkutan umum (pangkalan ojek simpang tiga jalan Timor Raya dan Kelapa Lima, atau pangkalan ojek simpang tiga Oebufu Tofa dan lainnya); bertentangan dengan substansi SK Walikota Kupang sendiri.
Tidak bisa tidak, pemerintah harus mulai melakukan perbaikan sistem pengelolaanya dengan mempertimbangkan pengaruh teknis maupun aspek sosial ekonomi, hukum dan lingkungan secara kontekstual. SK Walikota Kupang tentang Penertiban Angkutan Ojek belum menjawab substansi permasalahannya.
Dalam SK Walikota Kupang menyebutkan ojek tidak boleh melayani jasa angkutan melalui rute yang dilayani angkutan umum, namun tidak diikuti kebijakan ikutannya yaitu mekanisme pengawasan dan pengenaan sanksi atas pelanggarannya. Akibatnya, jumlah tukang ojek dan pangkalan ojek semakin banyak. Hal ini menjadi dasar penolakan masuknya angkot ke kawasan strategis dengan jumlah permintaan perjalanan yang tinggi. Dengan demikian, perlu dipikirkan 'model kompensasi' bagi keduanya secara proporsional untuk meredam potensi konflik kepentingan antar tukang ojek dan operator angkutan umum.
Supaya sesuai dengan fungsinya sebagai angkutan alternatif, maka secara legal "kehadiran" ojek perlu diakui sehingga sistem operasinya bisa dikendalikan yaitu meliputi pengaturan 'wilayah operasional dan penjaminan aspek keselamatan dan kenyamanan penumpang'. Ojek sebaiknya hanya melayani perjalanan penduduk dari rumah, tempat kerja, lokasi aktivitas sosial ekonomi lainnya ke tempat tunggu angkutan umum, dan sebaliknya, atau boleh melayani rute angkutan umum secara berimpitan namun hanya setelah selesai masa atau jam operasi angkutan umum.
Kebijakan pengaturan sistem pergerakan di jalan harus didasari konsep perencanaan, pengaturan yang andal, tidak diskriminatif, tidak "meminta korban", tidak menimbulkan un fair competition, tidak menimbulkan persepsi yang salah (stereotip), tidak menimbulkan salah interpretasi (akibat manipulasi data) dan terlebih tidak menimbulkan kebencian bagi kelompok atau pihak tertentu (demagogi). Untuk itu, opsi strategis yang dapat ditempuh antara lain.
Pertama, pemberian kemudahan pengembangan jenis, jumlah, skala dan lokasi aktivitas sosial ekonomi berbasis compact city di kawasan kawasan padat permikiman dan atau cepat tumbuh dan berkembang yang belum terlayani rute angkutan umum. Hal ini memungkinakn percepatan pertumbuhan aktivitas sosial ekonomi.
Peningkatan tarikan dan bangkitan perjalanan akibat pertumbuhan aktivitas sosial ekonomi tersebut menjadi potensi keuntungan sektor jasa angkutan. Juga bisa mendukung upaya pengaturan aktivitas ojek dan perilaku potong trayek angkot maupun pengaturan jumlah dan rute angkutan umum.
Kedua, pengaturan jumlah atau pangkalan ojek serta rute operasionalnya dimana setiap ojek harus terdaftar, diberi tanda khusus (helm/rompi/plat nomor kendaraan) sehingga mudah dikenali dan dikendalikan kualitas serta wilayah layanannya.
Ketiga, pelibatan peran aktif koordinator pangkalan dan dukungan aparat kepolisian untuk penertiban kualitas dan rute layanan ojek. Keempat, pengaturan jumlah angkot sesuai jumlah permintaan perjalanan. Penentuan jumlah dan rute angkot tidak saja pada jumlah permintaan minimum perjalanan melainkan juga mempertimbangkan kesesuaiannya dengan pola (waktu dan distribusi) perjalanan.
Kelima, penertiban perilaku berisiko sopir angkot, termasuk penertiban perilaku potong trayek yang diikuti penindakan (pengenaan sanksi) agar menimbulkan efek jera. Terlihat bahwa keseluruhan opsi tersebut saling kait mengait dan saling memengaruhi. (vel)
Sumber: Pos Kupang 30 November 2015 halaman 1