Tradisi Wulla Poddu di Sumba Barat

Babi Hutan
Pemburu Sumba Makin Sulit Dapat Babi Hutan

WAIKABUBAK, PK -  Populasi babi hutan di kawasan hutan  Wanokaka,  hutan Wone di Kecamatan Loli dan hutan Weeluri  di Kecamatan Mamboro kian berkurang. Hal itu makin menyulitkan pemburu di Sumba Barat mendapatkan babi hutan pada  masa berburu di bulan keramat atau wulla poddu seperti  sekarang.

Kenyataan tersebut diakui Bili Laga Lete,  ketua kelompok pemburu babi hutan  di Kampung  Wola Baku, Kelurahan Weekarou, Kecamatan Loli, Sumba Barat saat ditemui  Jumat (23/10/2015) lalu. Bili sudah puluhan kali  bersama kelompoknya turun berburu babi hutan pada wulla poddu,  namun dalam dua tiga tahun terakhir ini hasil buruan tidak banyak lagi. Tahun-tahun sebelumnya, ungkap Bili Laga, hasil buruan mereka  biasanya lebih dari tiga ekor sekali berburu. Sekarang  ini tidak sebanyak itu lagi.

Kelompok pemburu babi hutan  pada masa wulla poddu, kata Bili Laga,  selalu optimistis karena sudah mendapat restu nenek moyang. "Memang babi hutan jarang ditemukan, tapi pada masa wulla poddu  seperti sekarang, ada saja babi hutan muncul. Tetapi kadang juga tidak dapat babi hutan sama sekali," ujarnya.

Bili Laga mencontohkan, dua pekan lalu timnya  sekitar 40 orang berangkat ke Wanokaka untuk berburu babi hutan. "Kami menyiapkan bekal berburu selama dua hari.  Tim ini bergabung dengan tim di Wanokaka sama-sama berburu babi hutan. Rata-rata sekali turun berburu  80-100 orang dengan anjing sekitar 20-30 ekor," ujarnya.

Sehari sebelum berburu, timnya sudah mengutus seorang warga menghubungi tuan tanah di kawasan hutan Wanokaka. Tuan tanah juga menggelar ritual adat agar memudahkan kelompoknya datang berburu. "Saya sudah menggelar  ritual adat dengan memotong satu ekor ayam. Setelah memotong ayam, saya melihat hati ayam berwarna putih, pertanda baik untuk turun berburu. Tetapi jika hati ayam berwarna merah pertanda bahaya, kami tidak akan turun berburu," kata Bili Laga.

Bila pemburu mendapat babi hutan, demikian Bili Laga, babi hutan tersebut dipikul bergantian mulai dari huta Wanokaka sampai Kampung Wola Baku, terus ke  Kampung Terona dan terakhir ke Kampung Tarung. Jaraknya sekitar 4 kilometer.

Sepanjang jalan kelompok tersebut melantunkan lagu wulla poddu yang mengisahkan perburuan dan mohon berkat agar hasil panen berlimpah musim mendatang.  Di Kampung Tarung, mereka  diterima dengan ritual adat oleh Rato Rumata Kampung Tarung, Lado Regi Tera. Rato akan bertanya, "nemi gedo walimu (dari mana)?"  "Kelola kedu page ra wawi (dari berburu babi)". "Ana pegesa kedu, ana kelola wawi...mai...tomage taru nguma jaga, sadi woma nyoba, ana pagesa kedu, ana kalola wawi, gege uma padou pene (sudah pulang berburu, di mana rumah tujuanmu)?". "Karena kami turunan suku ana wara, kami menjawab uma ana wara".

Setelah tanya jawab selesai,  rato memberi satu lembar kain sarung kepada ketua  kelompok  berburu. Babi hutan dimasak untuk makan bersama. Namun, sebelum itu rato akan memeriksa hati babi melihat bagaimana  kehidupan masyarakat marapu, apakah panen berlimpah atau tidak selama satu tahun ke depan.

Ada sejumlah pantangan dalam tradisi berburu pada masa wulla poddu selama bulan Oktober dan November. Selama berburu, tidak boleh makan dan minum dan tidak boleh mengeluarkan kata-kata kotor. Ada waktu tertentu untuk makan bersama paskah berburu. Makanpun tidak boleh duluan harus bersama-sama.

Selain itu, warga dilarang mengadakan pesta,  memukul gong, membangun rumah, tidak boleh menangis bila ada anggota keluarga meninggal dunia dan menguburkan secara diam-diam dan lainnya.

Menurut Rato Rumata Kampung Tambera, Desa Dokaka, Kecamatan Loli, Kabupaten Sumba Barat, Yewa Lede Kodi, di Lamboya, Wulla Poddu dilaksanakan di  Kampung Sodan dan Kadengar, di Wanokaka berpusat di Kampung Kadoku dan Tanah Righu di Kampung Ombarade.  (pet)

25 Kampung Adat

SETIAP  tahun Pemerintah Kabupaten Sumba Barat mengalokasikan  dana  Rp 10 juta untuk acara ritual adat  di setiap kampung adat. Demikian Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, Kabupaten Sumbar, Drs. SC Poro, di kantornya, Kamis (8/10/2015).

Dia menjelaskan, untuk menjaga kelestarian kampung adat  khususnya dan budaya Sumba unumnya, Pemerintah Kabupaten Sumba Barat bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi NTT dan Pemerintah Provinsi Bali  melestarikan cagar budaya Sumba. Pemerintah mengangkat penjaga situs kampung adat yang bertugas menjaga dan memelihara kelestarian budaya serta melaporkan kepada Dinas Pariwisata tentang kegiatan  kampung situs. Honor penjaga situs  ditanggung  pemerintah daerah dan provinsi. Menurutnya, anggaran yang disiapkan pemerintah hanya bersifat stimulan.

Pada tahun 2014, kata Poro, Pemkab Sumba Barat  telah menetapkan 25 kampung adat di enam kecamatan sebagai situs budaya. Dua puluh di antaranya ada penjaga situs.  Penjaga situs rumah adat Kampung  Tarung di tengah Kota Waikabubak  dibiayai pemerintah Provinsi Bali, sedangkan selebihnya pemda Sumba Barat.


Berikut 25 kampung situs budaya Sumba yakni kampung Bondo Boghila dan Dikita di Kecamatan Tanah Righu, kampung  Gela Koko, Praijaga, Weetebara, Rate Wana dan  Tanah Rara di Kecamatan Loli, kampung Bali Ledo, Jaga Ngara, Bodo Maroto, Gollu, Praijing, Prairame, Gollu Wunuta dan Kanakata di Kecamatan Kota Waikabubak, kampung Waigali, Ubu Bewi, Kadoku dan Praiholi di Kecamatan Wanokaka,  Kadengara, Sodana, Litti, Malissu, Watukarere dan  Waru Wota di  Kecamatan Lamboya. (pet)



News Analysis
Pater Mikael Keraf, CSSr
Direktur Yayasan Donders SBD

Perlu Revitalisasi

SECARA  harafiah Wulla Poddu berarti bulan keramat, bulan pemali, bulan suci, bulan pahit atau bulan sakral. Sebagai tradisi, Wulla Poddu berlaku untuk beberapa wilayah di Sumba Barat seperti Loli, Lamboya, Lamboya Barat, Tanah Righu, dan Weeluri berlangsung dari bulan Oktober sampai November.

Secara subtansial, Wulla Poddu adalah perayaan pembebasan dari segala dosa pribadi, keluarga dan dosa  komunitas.  Ritual  Wulla Poddu dimulai dengan penyampaian para rato kepada seluruh warga  khususnya warga marapu bahwa Wulla Poddu sudah dimulai. Itu berarti seluruh wilayah masuk dalam suasana hening dan sakral.

Ada beberapa larangan yang harus dipatuhi semua orang seperti tidak boleh ada pesta, menabuh gong dan tambur, tidak boleh ada upacara kawin mawin, dan tidak boleh berhubungan seks dengan istri bagi para rato.

Ritual Wulla Poddu diperkuat dengan upacara inisiasi seorang laki-laki yang memasuki usia  dewasa. Mereka akan disunat oleh rato pada awal Wulla Poddu dan diutus  keluar dari kampung, tinggal selama sebulan di padang atau hutan  untuk berburu.

Hasil buruan dibawa pulang ke kampung adat untuk disampaikan kepada para rato. Ketangkasan berburu menunjukkan kematangan seorang laki-laki yang teruji dan siap memasuki usia  perkawinan. Masa berburu berakhir pada malam puncak Wulla Poddu.
Puncak Wulla Poddu ditandai dengan tiga malam penyucian berturut-turut. Malam pertama adalah malam penyucian bagi para rato. Para rato akan membawa tujuh pinang kering sebagai sarana utama memprediksi kesucian seseorang.

Apabila ada pinang yang berkurang, dapat dipastikan masih ada dosa yang belum diungkapkan. Demikian  pada malam kedua dan ketiga. Pembebasan malam kedua ditunjukan kepada istri para rato. Sedangkan pembebasan malam ketiga ditunjukan kepada anak-anak para rato dan seluruh warga marapu yang datang.

Ritual pembebasn akan dimahkotai dengan tarian di masing-masing pelataran sebagai tanda kemenangan karena telah disucikan. Pada malam terakhir Wulla Poddu pun, para rato akan menyucikan benda-benda keramat milik suku atau kabisu dengan menggunakan santan kelapa. Acara puncak Wulla Poddu akan diakhiri dengan mengantar 'kawuku' (tali bersimpul 6 atau 8).

Menurut hemat saya, ada beberapa catatan kritis yang perlu menjadi perhatian  pengambil kebijakan di daerah ini. Perlu diwaspadai beberapa tindakan yang bisa merosotkan nilai-nilai dalam Wulla Poddu sepeti penetrasi kekerasan yang menyertai ritual perburuhan dari komunitas anak muda.  Gejala pencurian hewan piaraan adalah indikasi penetrasi kekerasan yang berlawanan dengan roh murni Wulla Poddu.

Sebaliknya diusulkan penetrasi damai, misalnya kembali kepada partisipasi warga desa yang memberikan persembahan kepada kelompok berburu sebagai kesepakatan sosial.

Kedua,  cara pandang melenceng dari komunitas turisme dan masyarakat non marapu yang cenderung memberi stigma kafir pada ritual Wulla Poddu bahkan turut mendekralisasi Wulla Poddu dengan pelecehan seks pada malam puncak Wulla Poddu.

Bagi saya Wulla Poddu merupakan salah satu  instrumen hakiki yang mengekspresikan jati diri orang Sumba. Oleh karena itu perlu diperkuat, direvitalisasi dengan tetap ada sikap kritis dalam konteks komunikasinya dengan kebudayaan lain. (pet)

Sumber: Pos Kupang Minggu 1  November 2015 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes