Masyarakat yang Bertanggung Jawab

PEMBANGUNAN tidak selalu menebarkan warta gembira. Pembangunan cukup sering malah mematikan kemandirian masyarakat karena program yang keliru. Demikian pengalaman negara- negara dunia ketiga yang getol membangun dirinya pasca Perang Dunia II dan berakhirnya era kolonialisme.

Banyak program pembangunan yang dijalankan negara berkembang justru melemahkan daya kreasi, inisiatif serta daya tahan masyarakat menghadapi krisis. Indonesia di bawah rezim Orde Baru mengalami hal tersebut. Dan, telah banyak kritik dilontarkan untuk rezim otoriter itu.

Ironisnya, kenyataan tersebut masih lestari hingga sekarang. Reformasi yang sudah berusia satu dasawarsa pun tak sanggup memulihkan sikap mental masyarakat yang terlanjur dimanjakan oleh beragam program pembangunan bergaya top down. Pemerintah memonopoli seluruh urusan pembangunan. Pemerintah adalah pelaku tunggal. Subyek utama. Sedangkan masyarakat dikondisikan sekadar menjadi penonton. Hampir dalam segala perkara yang berkaitan dengan kepentingan umum, masyarakat kita sangat tergantung pada uluran tangan pemerintah.

Pemerintah tanpa sadar ikut menciptakan apa yang dikenal umum sebagai "mental proyek". Swadaya dan kemandirian sirna sehingga keberlanjutan suatu program pembangunan selalu menemui kendala.
Simak apa yang terjadi di sekeliling kita. Sulit menemukan swadaya masyarakat untuk memperbaiki fasilitas umum yang rusak dimakan usia atau karena suatu sebab. Telah terbangun persepsi yang keliru bahwa merehabilitasi fasilitas umum atau fasilitas negara adalah urusan pemerintah . Seolah- olah pemerintah adalah manusia super yang mampu mengatasai segala persoalan masyarakat. Zaman berganti tetapi pandangan yang keliru itu tetap lestari. Pemerintah tetap merasa paling bertanggung jawab, sedangkan masyarakat tidak harus demikian.

Program demi program pembangunan telah memanjakan mereka. Bantuan Langsung Tunai (BLT), misalnya, sungguh bertujuan mulia yakni membantu masyarakat miskin. Tetapi siapa menduga sisi buruknya, BLT itu melenakan masyarakat. Tidak mendidik mereka untuk mandiri dan mau memeras keringat.

Dampak dari kemanjaan itu kini kita rasakan. Dana Bergulir yang merupakan program favorit pemerintah guna mendongkrak ekonomi rakyat selalu berakhir dengan kisah yang mirip. Dana Bergulir itu tersendat. Hampir selalu macet pengembaliannya. Baru saja Kementerian Koperasi dan UKM menghentikan program dana bergulir senilai Rp 428 miliar hingga waktu yang belum ditentukan. Penghentian berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 99/PMK.05/2008 tentang Pedoman Pengelolaan Dana Bergulir pada Kementerian Negara dan Lembaga.

Menteri Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali mengatakan, penghentikan sementara program tersebut karena dana bergulir dimasukkan sebagai belanja modal dan tidak lagi belanja sosial seperti tahun-tahun sebelumnya. Perubahan pos belanja tersebut membawa konsekuensi, dana yang disalurkan ke masyarakat harus kembali lagi ke kas pemerintah. Mengingat pengalaman masa lalu, pemerintah agaknya tidak yakin masyarakat sanggup mengembalikan dana tersebut. Pilihan terbaik menghentikan sementara penyalurannya sambil mencari mekanisme yang tepat agar program tersebut mencapai tujuan.


Menumbuhkan mental masyarakat yang bertanggung jawab. Demikianlah salah satu tugas besar bangsa ini agar tetap eksis menghadapi persaingan. Masyarakat perlu diingatkan agar tidak selalu menunggu uluran tangan pemerintah. Tidak selalu menunggu bantuan. Berani memakai dana negara untuk modal usaha, maka Anda pun harus sanggup mengembalikannya. Inilah kiranya pesan yang kita tangkap dari pernyataan Walikota Kupang, Drs. Daniel Adoe soal macetnya pengembalian dana Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat (PEM) di Kota Kupang. Menurut walikota, masalah itu bakal ditangani Kejaksaan Negeri Kupang. Dana PEM Kota Kupang yang diluncurkan tahun 2002-2006 mencapai Rp 25 miliar dimana Rp 17,3 miliar belum dikembalikan sampai saat ini.

Walikota sudah berkonsultasi dengan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) NTT. Dalam waktu dekat akan dibuat nota kesepahaman (MoU) antara Pemkot Kupang dengan kejaksaan untuk menyelesaikan tunggakan dana PEM tersebut. Penyelesaian dengan cara ini, demikian Adoe, tidak bermaksud menyusahkan masyarakat atau kelompok masyarakat penerima dana PEM, melainkan untuk menyadarkan masyarakat akan mau mengangsur dana yang dipinjam (Pos Kupang, 2/8/2008).

Sudah sepantasnya pemerintah mengambil langkah seperti itu. Tentu tidak akan menyenangkan semua orang, tetapi jauh lebih baik ketimbang pemerintah hanya diam berpangku tangan. Masyarakat atau kelompok masyarakat penerima dana PEM diingatkan untuk bertanggung jawab terhadap apa yang telah disetujuinya. Menunggak pengembalian dana itu toh mengorbankan kelompok masyarakat lain yang juga sangat membutuhkan modal usaha.

Kita tidak mengharapkan pendekatan tangan besi dan mengabaikan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam menyelesaikan masalah ini. Satuan kerja perangkat daerah (SKPD) di Kota Kupang yang terkait pun tidak boleh melepas tanggung jawab. SKPD terkait perlu mencari tahu penyebab macetnya pengembalian dana tersebut. Diperlukan sikap proaktif aparat pemerintah untuk berdialog dengan kelompok penerima dana PEM. Semangat pelayanan pemerintah tetap dinomorsatukan. Jangan main ancam atau menekan masyarakat. **

Salam Pos Kupang edisi Senin, 4 Agustus 2008, halaman 14
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes