PADA akhir Oktober 2008, Kota Kupang dan sekitarnya dilanda krisis minyak tanah. Krisis itu membuat warga gusar, cemas dan panik. Ironisnya, persoalan itu 'awet' sampai sekarang. Adakah yang salah? Adakah yang bermain di air keruh? LSM PIKUL dan Bengkel APPeK bekerja sama dengan Pos Kupang membahas masalah ini dalam Diskusi Terbatas "Krisis Pasokan Minyak Tanah, Terawetkan atau Teratasi, yang berlangsung di Redaksi Pos Kupang, 21 Februari 2008.
NAMANYA Martha Kewuan. Ia tinggal di Noelbaki, Kabupaten Kupang. Saat Diskusi Terbatas tentang "Krisis Pasokan Minyak Tanah, Terawetkan atau Teratasi" di Redaksi Harian Pos Kupang, Jumat (20/2/2009), ia mendapat kesempatan pertama untuk berbicara.
Ia meriwayatkan suka-duka mendapatkan minyak tanah belakangan ini. "Dulu untuk mendapatkan minyak tanah, kami harus tidur di Kampung Solor. Saat itu susah sekali dapat minyak tanah. Sekarang, saat NTT sudah maju, minyak tanah masih juga susah diperoleh."
Begitulah kalimat yang ia ucapkan di hadapan 20-an peserta diskusi tersebut. Diskusi atas kerja sama Bengkel APPeK, LSM Pikul dan Pos Kupang itu, menampilkan beberapa pembicara, yakni Manajer Area Retail Pertamina Kupang, Ruslan W Marbun, Kepala Bidang (Kabid) Energi Terbarukan, Dinas Pertambangan dan Energi NTT, Budi Dharma Utama, Pryo Soetedjo dari program Pasca Sarjana Undana, dan Ory Octavianus dari Lo BPPT Indonesia Timur.
Acaranya sederhana. Dihadiri bupati terpilih Kabupaten Kupang, Ayub Titu Eki, Ph. D, Dr. Marius Jelamu dari Bappeda Propinsi NTT, Urbanus Ola dari FISIP Unwira, Niti Susanto dan Chris N Sulungbudi dari Hiswana Migas, Kanahebi Nathaniel dari Distamben Kabupaten Kupang, A Rasmad dari Distamben Kota Kupang, dan Victor Umbu dari Bappeda Kota Kupang.
Selain itu, Stanis Man dari FE Unwira, Simson Seran dari Rumah Perempuan, Winston Rondo dari CIS Timor, Martha Kewuan dan Henny Padeda dari Jarpuk Ina Fo'a, serta M Sidik dan Hanggowo W dari Pertamina.
"Kami bingung harus omong apa lagi tentang minyak tanah. Sudah lama kami sulit mendapatkannya. Lima liter saja kami harus antre berjam-jam. Buang-buang waktu, buang-buang pekerjaan. Untung-untungan bisa dapat. Kalau tidak, harus antre lagi hari berikutnya," tutur Martha.
Yang membuat warga bingung, lanjut dia, volume distribusi minyak tanah. Di satu pihak Pertamina menyebutkan bahwa jatah minyak tanah yang disalurkan ke pangkalan tak pernah kurang, tapi fakta di lapangan menunjukkan lain. Minyak tanah di pangkalan demikian terbatas.
Kondisi ini kerap membuat warga kesal. Sudah antre berlama- lama hanya dijatahkan satu dua liter. Ada juga yang tidak kebagian. Sudah mencari keliling kota, malah tidak mendapatkannya.
Ujung-ujungnya, warga mencari alternatif. Mengambil kayu di hutan untuk kebutuhan rumah tangga. Dan, jika mengambil kayu berarti bisa merusak hutan. Hutan bisa ditebang dan jika itu terjadi, maka persediaan air tanah tentu akan berkurang.
"Jadi kami minta, Pertamina bersama agen, jangan membiarkan keadaan ini berlarut-larut. Salurkan minyak tanah serutin mungkin kepada masyarakat. Bila ada masalah, sampaikan secara transparan, supaya kami juga tahu," ujarnya.
Pernyataan Martha ini pantas dikemukakan. Apalagi saat ini pemerintah Kota Kupang dan Kabupaten Kupang belum mampu mengatasi masalah tersebut.
Pemerintah sepertinya tidak serius menanggapi masalah ini. Padahal di pundak pemerintah, masyarakat menaruh harap agar krisis minyak tanah ini segara berlalu.
Pemerintah Kota (Pemkot) Kupang pernah melakukan operasi minyak tanah. Tapi, hangat-hangat tahi ayam. Padahal di masyarakat, banyak pengecer dadakan memperdagangkan minyak tanah. Minyak tanah dijual dengan harga sesuka hati, harga yang melanggar aturan pemerintah.
Jika pemerintah apatis, masih menganggap persoalan ini sebagai hal sepele, tidak segera mencari jalan keluar, maka warga bisa saja bereaksi. Bukan mustahil akan terjadi benturan di lapangan gara-gara minyak tanah.
Kekhawatiran Martha itu sesungguhnya merupakan kekhawatiran publik daerah ini. Mengapa? Karena minyak tanah yang selama ini menjadi sandaran warga dalam memenuhi kebutuhan keluarga, kini menjadi barang langka.
Adakah yang salah? Adakah pihak tertentu memanfaatkan minyak tanah bersubsidi untuk kebutuhan industri, untuk kebutuhan restoran? Adakah pihak tertentu membeli minyak tanah untuk kepentingan proyek, terutama dalam pengaspalan jalan?
Entahlah. Yang jelas, sampai saat ini, masyarakat masih sulit mendapatkan minyak tanah. Untuk lima liter saja, warga harus antre di pangkalan berjam-jam. Bahkan lebih dari itu, warga terpaksa menitipkan jerigen untuk satu dua hari lamanya.
Manajer Area Retail Pertamina Kupang, Ruslam W Marbun menepis asumsi bahwa minyak tanah langka. Pasalnya, setiap hari Pertamina mendistribusi bahan bakar itu ke semua pangkalan.
Pendistribusiannya sesuai jatah. Volumenya tidak kurang seliter pun. Dengan demikian, persediaan minyak tanah tidak bisa disebut langka, karena stoknya selalu tersedia di Depot Pertamina Tenau-Kupang.
Masalahnya, setiap kali menyalurkan minyak tanah, tak lama berselang minyak habis. Warga sepertinya berburu minyak tanah, berlomba-lomba mendapatkan bahan bakar itu. Fakta ini memperlihatkan ada ketidakberesan di tingkat bawah. Masalahnya justru ada di lapisan ini, hal mana bukan lagi wewenang Pertamina.
"Tanggung jawab kami hanya sampai di pangkalan. Ketika pangkalan terima minyak tanah dari agen, di situlah akhir tanggung jawab kami. Kalau ternyata banyak warga antre dan muncul pengecer dadakan dengan menjual minyak tanah di atas harga eceran tertinggi (HET), itu bukan urusan kami," elak Marbun.
Namun, kata dia, mencermati masalah minyak tanah saat ini, ada beberapa hal yang bisa dikuak. Pertama, mungkin ada pihak tertentu yang membeli minyak tanah bersubsidi untuk kebutuhan industri. Bisa juga untuk restoran. Ada juga yang membeli dalam jumlah banyak untuk dijual kembali dengan harga lebih mahal.
Ada juga untuk memperlancar pengerjaan proyek pembangunan. Aspal mixing plan, misalnya, merupakan salah satu komponen yang mungkin saja menggunakan minyak tanah bersubsidi untuk memperlancar pengaspalan jalan.
Tapi, lanjut Marbun, untuk membutktikan benar tidaknya dugaan tersebut, dibutuhkan informasi dari masyarakat. Masyarakat harus membantu Pertamina mengungkapkan penyimpangan yang terjadi di lapangan.
"Setiap kali minyak tanah didistribusikan, ada buku catatan tentang volume minyak tanah yang didrop maupun yang diterima pangkalan. Buku itu boleh diperiksa masyarakat. Jika ditemukan kejanggalan, laporkan saja kepada kami," ucap Marbun tegas.
Permintaan Marbun itu benar adanya. Tapi mungkinkah terlaksana? Tentu ini butuh kearifan. Hanya kita berharap agar penyaluran minyak tanah itu betul-betul bebas dari pelbagai kepentingan.
Di akhir pembicaraannya, Marbun mengungkapkan satu hal menarik. Minyak tanah bukan bahan bakar yang 'kekal'. Suatu saat pasti akan habis. Karena itu sangat tepat kalau saat ini pemerintah gencar mengampanyekan bahan bakar pengganti. "Ini harus kita tanggapi serius, sehingga perlahan-lahan kita bisa melepas ketergantungan pada minyak tanah," pesannya. (bersambung)