Partisipasi Perempuan dalam Lembaga Politik Formal

Oleh Mien Isu Ratoe Oedjoe

Ketua Jaringan Perempuan dan Politik NTT, Kepala Pusat Penelitian Wanita Undana

WAKTU berjalan begitu cepat. Tanpa terasa kita telah memasuki bulan Maret 2009, bulan yang ditandai dengan aktivitas politik yang mulai meninggi. Di mana-mana orang mempercakapkan topik terkait dengan politik, antara lain mengenai perempuan calon anggota legislatif (Caleg), partai politik (Parpol), pemilihan umum (Pemilu), dsb. 

Pemilu 2009, yang juga disebut pesta demokrasi tanggal 9 April 2009 tinggal beberapa hari lagi. Para Caleg DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota dan DPD perempuan maupun laki-laki sibuk dengan caranya masing-masing menarik simpati konstituen untuk menggalang suara sebanyak-banyaknya pada pemilu legislatif tanggal 9 April. 


Dalam bulan ini, sulit untuk mencari dan bertemu dengan para caleg, termasuk mereka yang sedang menjadi anggota DPR, DPRD provinsi, kabupaten/kota dan Anggota DPD karena sedang turun ke 'bawah' pada Dapil masing-masing. 

Menjadi caleg merupakan suatu keputusan. Untuk itu, yang bersangkutan harus sungguh-sungguh bekerja sesuai tahap-tahap dan jadwal yang ditetapkan KPU. Apalagi dengan adanya keputusan MK bahwa caleg yang akan ditetapkan menjadi calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, mengharuskan para caleg pada nomor urut kecil tidak dapat duduk diam-manis menunggu limpahan suara dari caleg nomor besar yang bekerja all out mengumpulkan suara di lapangan .Semua caleg harus bekerja guna mendulang suara sebanyak-banyaknya. Aituasi seperti ini memicu masyarakat untuk mempercakapkan hal-hal yang dirasakan agak berbeda dibandingkan dengan pemilu sebelumnya. Salah satu yang berbeda adalah jumlah caleg perempuan pada semua level, baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota sangat banyak. Sebagai gambaran berikut ini disajikan rekaman percakapan beberapa orang tentang Caleg Perempuan yang ditemui secara terpisah.

Bapak Sam (bukan nama sebenarnya): Ini perempuan dong kayak ke hebat-hebat sa. Su ditakdirkan dia melahirkan, menyusui, tinggal di dalam rumah ko urus anak-anak, urus rumah tangga, ma dia tesoso mo jadi anggota legislatif. Kalau kitong suami istri sama-sama keluar, anak dong keleleran. Dong kira jadi anggota Dewan ada enak? Tiap hari rapat, turun ke daerah, kalau ada masalah serius harus rapat sampai malam bahkan sampai pagi. Tidak betul lagi perempuan pi pagi dan pulang pagi pagi.

Ibu Yuli (Bukan nama sebenarnya): Boleh-boleh saja perempuan/istri/mama bekerja menjadi anggota dewan, cuma tuntutannya berat karena perlu tenaga, waktu, mental yang kuat. Carilah kegiatan yang tidak menyita waktu terlalu lama, tidak harus berpikir keras, berdebat dengan argument yang kuat apalagi berdebat dengan anggota dewan laki-laki. Jarang perempuan menang kalau berdebat atau berdiskusi, bahkan ditertawakan orang. Kitong yang liat dan dengar perlakuan anggota laki-laki terhadap dong 'kasihan'. Lebe bae buka kios ko bisa lihat anak-anak di rumah, tidak kepala pusing, uang setiap hari biar sedikit tetap masuk.

Bapak Domi (bukan nama sebenarnya): Beta mendukung perempuan masuk dalam aktivitas politik dan duduk sebagai anggota dewan, karena perempuan juga warga negara yang mempunyai hak politik sama dengan laki-laki. Dari segi kemampuan tidak perlu diragukan. Coba lihat di sekolah banyak siswa perempuan yang nilainya bagus-bagus, juga di perguruan tinggi IPK mahasiswi tinggi dan banyak yang lebih tinggi dari laki-laki. Berilah kesempatan kepada perempuan duduk menjadi anggota dewan, untuk berbicara, berpikir dan memutuskan masalah masyarakat, pasti ada nuansa baru. Pegang itu pepatah 'Allah Bisa karena Biasa'. 

Ibu Lena (bukan nama sebenarnya): Beta su malas baca koran, nonton TV tentang perilaku anggota dewan, baik pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Tidak tau apa yang dong urus, padahal gaji pung besar lai. Dong hanya urus hal-hal yang umum dan ujung-ujungnya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Mereka tidak pusing dengan kehidupan masyarakat yang dilanda banjir, gizi buruk, minyak tanah susah, kebakaran, tidak bisa baca tulis, KDRT dan perdagangan perempuan dan anak.Mungkin dengan banyaknya perempuan menjadi anggota dewan, bisa lebih tanggap dan bersuara lebih kuat dan konkret untuk mengatasi masalah-masalah mendasar keluarga dan masyarakat NTT. Orang NTT su miskin, marilah bergandengan tangan laki-laki dan perempuan memecahkan masalah mendasar NTT.
***
DARI rekaman tersebut di atas, ternyata ada kelompok yang mendukung perempuan naik di panggung politik dan masuk menjadi anggota dewan, namun ada wakil kelompok yang sangat tidak mendukung perempuan menjadi anggota legislatif. Nampak jelas keterlibatan dan menaiknya jumlah perempuan menjadi caleg dalam transisi demokrasi di Indonesia telah melahirkan tarik-menarik pendapat antara ideologi politik dominan tradisional dan aspirasi yang menginginkan perubahan dengan prinsip hak dan keadilan. Saya kira wajar bila terdapat pandangan yang pro dan kontra karena masing-masing menggunakan lensa yang berbeda. Bagi kelompok 'kontra' menggunakan pandangan stereotipe gender bahwa dunia politik bukanlah dunia perempuan dan bagi perempuan yang terlibat dalam kegiatan politik praktis harus 'Gagah dan Perkasa', sebagaimana istilah populer 'wonder women syndrome'. Bagi kelompok 'Pro', menggunakan prinsip Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan perbedaan laki-laki dan perempuan hanyalah perbedaan biologi.Terkait dengan perbedaan tersebut berikut ini saya sajikan beberapa pemikiran untuk kita sama-sama mengkajinya. 

SECARA historis pada tahap awal perkembangan manusia laki-laki selalu identik dengan 'publik' di luar rumah, sementara perempuan di dalam rumah, memasak, mengurus anak, membersihkan rumah dan sebagainya . Sebagaimana yang ditulis oleh Ricklander (l993): 'Historically the external world has been the business of men. Women take care of the internal world'. Wilayah perempuan selalu disebut dengan wilayah domestic/privat dan wilayah laki-laki di sebut wilayah publik. 

Pembagian wilayah dan tentunya pembagian peran antara perempuan dan laki-laki diterima secara ikhlas serta mendapat dukungan masyarakat dan kemudian terkukuh menjadi budaya yang harus dijunjung oleh masyarakat. Apabila ada perempuan atau laki-laki yang keluar dari wilayah yang telah dibagi tersebut menjadi 'aneh' bahkan mendapat sangsi sosial dari masyarakat pendukung pembagian wilayah dan peran dimaksud.

Namun seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan, teknologi informasi serta keberhasilan gerakan perempuan untuk merubah kondisi yang menekan, membatasi melanggar hak asasi manusia, dan tidak sesuai dengan kehidupan riel, maka telah terjadi perubahan mendasar. Sejarah mencatat pegiat perempuan bergerak secara terorganisir dan massive tepatnya tanggal 8 Maret 1857 di New York, ribuan buruh perempuan menuntut hak-hak yang adil dan setara dengan laki-laki termasuk hak politik perempuan. 

Perjuangan perempuan pada tataran global berimbas pada tingkat Nasional-Indonesia. Memang diiakui bahwa perempuan Indonesia lebih beruntung dibandingkan perempuan Amerika dan Eropa karena hak-hak politik perempuan Indonesia jauh lebih baik. Perempuan Amerika baru mendapat hak politiknya pada tahun 1920, dibandingkan perempuan Indonesia hak politiknya terbuka secara normatif sejak mengawali gerakan nasional. 

Setiap periode pemerintahan dan pembangunan di Indonesia ada wakil perempuan yang dipercayakan menjadi anggota legislatif sekalipun jumlahnya sangat tidak signifikan dan pola rekrutmenpun menggunakan pola tertutup dengan hidden value yang bias gender. Sebagai contoh perempuan NTT sudah cukup lama terlibat sebagai anggota legislatif mereka antara lain: Ibu Nisnoni Djawa-Amalo (alm) pada tahun 1957 telah terpilih sebagai anggota DPR mewakili Front Nasional Daerah Timor, Ibu Dra. JB Tari- Gah (alm) anggota MPR, Ibu Leonie Victorya Uly - Tanya anggota DPRD Prop, Ibu dr. Nafsiah Mboi-Walinono DSA sebagai anggota DPR RI, Ibu Manafe-Pello (alm) sebagai anggota DPRD Prop, Ibu Carolina Raga ADPRD TK II Belu, Ibu Wehelmina Laka Ferdinandus ADPRD TK II Ende dan masih banyak lagi perempuan anggota DPRD hasil setiap pemilu yang tersebar di bumi Flobamor telah menunjukkan aktivitas politik yang prima.

Betapapun perempuan telah terjun di dunia politik formal tetapi tidak dapat menghilangkan fakta tentang adanya dominasi laki-laki atas perempuan, perempuan dipinggirkan, belum dipercayakan menduduki posisi yang menentukan, terlibat dalam proses pengambilan keputusan apalagi jumlahnya sangat kecil tidak dapat mempengaruhi keputusan politik. 

Realitas politik masih dirasakan adanya diskriminasi politik terhadap perempuan baik yang terkuak maupun yang halus tersembunyi, pada hal cukup banyak anggota legislatif laki-laki yang menunjukkan kemampuan dan perilaku politik yang biasa-biasa saja bahkan ada yang rendah di bandingkan dengan anggota dewan perempuan. 

Belum lagi harapan dan tuntutan dari masyarakat terhadap perempuan anggota dewan berbeda dengan tuntutan bagi laki-laki anggota dewan. Perempuan anggota dewan dianggap sukses dengan indikator ganda yakni rumahnya beres, anak-anak sekolah baik- sehat-tidak nakal, suami terawat dan isteri dapat membagi waktu, bukan weekend mother-wife. Indikator berikut antara lain : mendapat posisi strategis, mampu mengartikulasi masalah dan memecahkannya secara efektif, berani berbicara, pandai. Apa yang dialami perempuan anggota dewan ternyata memicu mereka untuk bekerja lebih profesional, serius, bahkan harus fight (tidak konfrontatif) dan mempertanggung jawabkan kepada masyarakat bahwa banyak perempuan DPR/D telah bersama laki-laki anggota dewan mematri aktivitas politik yang bermakna. Apa lagi kalau jumlah perempuan sebagai anggota legislatif signifikan didukung kualitas yang memadai dipastikan banyak hal yang dapat dikerjakan untuk kesejahteraan masyarakat. Mari kita dengan fair catat apa yang telah diragakan beberapa perempuan anggota legislatif pusat, propinsi dan kabupaten sangat membanggakan, mereka tampil profesional di landasi moral politik yang baik mampu mendobrak mind set politik yang maskulin dan mensubordinasi dirinya. 

Sampai di sini rasanya sudah semakin jelas bahwa dunia politik formal bisa dan telah dimasuki oleh perempuan. Kemudian untuk mendapat simpulan yang lebih utuh, kembali saya mengajak kita sama-sama mengkaji alasan-alasan mengapa perempuan perlu secara signifikan terlibat dalam politik formal.

Perlunya Keterwakilan Perempuan

REALITAS jumlah perempuan pada lembaga legislatif sangat minim. Sebagai gambaran di DPR RI yang merupakan lembaga di mana kebijakan nasional yang akan mempengaruhi kehidupan seluruh bangsa di tentukan hanya 11,27 persen (Hasil pemilu 2004-2009). Di NTT hasil pemilu 1999-2004 menurun secara drastis hanya mencapai 3,0 persen, bahkan ada kabupaten yang tidak ada perempuan anggota DPRD. Hasil pemilu 2004-2009 lalu jumlah perempuan ADPR Provinsi NTT naik mencapai 13,3 persen dan jumlah anggota legislatif perempuan kabupaten/kota 10,4 persen, Dari antara kabupaten/kota yang ada di NTT, Kabupaten Belu memiliki anggota legislatif perempuan terbanyak dengan jumlah 7 orang atau 20 persen, sedangkan kabupaten yang memiliki hanya seorang anggota legislatif perempuan adalah kabupaten Sumba Barat, Kota Kupang dan Manggarai. Capaian kuantitas anggota legislatif perempuan yang rendah bahkan ada kabupaten yang tidak ada perempuan anggota dewan sangat 'mengherankan' karena jumlah penduduk perempuan setengah lebih dibandingkan penduduk laki-laki, mengapa ada kabupaten yang perempuan tidak terwakili duduk sebagai anggota dewan.

Rendahnya jumlah perempuan anggota legislatif diduga merupakan penyebab sedikitnya produk kebijakan yang menjawab kebutuhan dan kepentingan perempuan. Menurut Indriyati dkk (2005) dalam kisaran tahun 2000-2004 beberapa produk kebijakan yang memberikan perlindungan bagi perempuan harus melampaui jalan panjang untuk di sahkan. 
RUU anti KDRT misalnya baru disahkan pada september 2004 setelah melalui 7 tahun proses perjuangan, demikian pula RUU perdagangan Orang dan beberapa produk perundangan lain yang melindungi perempuan harus berjalan panjang, berhadapan dengan tidak adanya keberpihakan dari para pengambil kebijakan terhadap kepentingan perempuan. Di NTT sebut saja, Perda No 14 tahun 2008 tentang Pencegahan Penanggulangan Korban Perdagangan Orang, memerlukan waktu yang panjang dan percakapan yang intens. Contoh lain di Prop NTT, berdasarkan kajian Pusat Penelitian Wanita Undana (2009) terhadap 38 perda yang implementasinya menyangkut relasi gender menunjukkan bahwa sebagian besar perda masih bersifat netral gender (36 buah perda). Dampak dari formulasi yang netral gender adalah tidak terlihatnya perubahan kondisi keadilan dan kesetaraan gender dalam konteks nyata. Dampak ikutannya antara lain Jumlah Perempuan Buta Huruf tetap tinggi, Angka kematian Ibu dan Anak NTT tetap teratas bila disandingkan dengan propinsi lain di Indonesia, gizi buruk, angka KDRT terlapor dan tidak terlapor cukup besar. 

Dengan demikian menjadi relevan perempuan penting terwakili baik kuantitas maupun kualitas sebagai anggota dewan. Pendapat dan pandangan perempuan sangat dibutuhkan dalam proses pengambilan keputusan menyangkut kepentingan warga negara, serta dalam hal perumusan kebijakan. Apalagi menyangkut kepentingan dan kebutuhan spesifik perempuan tidak tepat disuarakan oleh laki-laki karena mereka tidak mengalami fungsi-fungsi kodrati perempuan yang sangat kompleks. Lebih tegas lagi, kepentingan perempuan termasuk anak jangan terus dititipkan kepada laki-laki karena mereka tidak mengalaminya secara kodrati dan tentunya tidak memaham sehingga tidak dapat merumuskan secara baik. 

Berkaitan dengan perlunya perempuan menjadi anggota dewan, saya mendukung pendapat Nurul Arifin (2008) yang di kenal dengan 4 S yaitu: 

1. Symbolism; tiada demokrasi tanpa menyertakan perempuan; Perempuan di ranah publik dapat menjadi role model bagi perempuan lainnya, termasuk di generasi mendatang. 2. Substance; Karena pengalaman hidup antara perempuan dan laki-laki berbeda maka kepentingan dan kebutuhan perempuan akan lebih mudah dipahami dengan baik oleh perempuan itu sendiri. 3. Style; Perempuan bisa memberi efek politik yang lebih 'feminin' pada proses politik maupun kebijakan politik: tidak konfrontatif, penuh kekerasan, lebih konsesual dan kontruktif. 4. Sense; Mengubah image parpol sebagai parpol ramah perempuan; Parpol bisa memanfaatkan keahlian perempuan untuk hal-hal yang terkait dengan kepentingan perempuan.

Berdasarkan pada uraian di atas, mengkomunikasikan kepada kita bahwa perempuan perlu terwakili dan duduk sebagai anggota dewan. Pertanyaan ikutan dapatkah perempuan mengisi kursi DPR, DPD dan DPRD minimal 30 persen atau lebih pada pemilu 2009 nanti ? Secara normatif tidak perlu dikuatirkan, antara lain UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Parpol, UU Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilu sebagai landasan- pijak formal memberikan kesempatan bagi perempuan untuk berkiprah dalam politik praktis dan pada tahap rekrutmen secara umum parpol-parpol telah memenuhi kuota 30 persen didukung pula dengan keputusan MK tentang suara terbanyak. 

Namun secara riel, tergantung pada konstituen, caleg itu sendiri dan tentunya kredibilitas parpol dan aktivitas mesin penggerak parpol pengusung perempuan caleg. Memang ada kelompok yang pesimis bahwa caleg perempuan akan memenuhi kuota 30 persen karena pengalaman pemilu 2004-2009 ternyata jumlah aleg perempuan minim. Beberapa kajian terungkap bahwa rendahnya keterwakilan perempuan pada Pemilu 2004 lalu selain disebabkan karena kata 'dapat' yang menunjukan tiadanya keharusan bagi partai politik dan tidak ada sanksi bagi parpol yang melanggar, jika tidak mencalonkan perempuan sebanyak 30 persen, juga disebabkan oleh sistem Pemilu 2004 yang menggunakan proporsional terbuka terbatas di mana seorang caleg harus mendapat suara sebesar atau lebih besar dari bilangan pembagi pemilih (BPP) yang telah ditetapkan di daerah masing-masing. Padahal pengalaman Pemilu 2004 memperlihatkan caleg sulit mencapai BPP. 

Sistem itu justru menguntungkan caleg yang berada pada nomor urut atas karena jika tidak mencapai BPP, maka caleg akan dipilih melalui mekanisme nomor urut. Dalam pemilu 2004, parpol menempatkan banyak perempuan dalam daftar calon, bahkan ada yang sampai lebih dari 30 persen. Akan tetapi caleg perempuan tersebut ditempatkan pada nomor urutan bawah yang tidak potensial jadi. Akibatnya, banyak kasus caleg perempuan yang mendapat suara lebih besar daripada caleg pada nomor urut di atasnya (baca laki-laki) harus memberikan suaranya kepada caleg di nomor urut atas itu sampai memenuhi bilangan pembagi pemilih (BPP). 

Sebaliknya kelompok yang optimis mengatakan dengan perlajanan waktu 5 tahun setelah pemilu 2004 lalu sudah banyak hambatan dan halangan yang telah dikaji dan dicari jalan keluarnya, dan telah terjadi perubahan berbagai kebijakan yang lebih adil. Minimal ada kenaikan jumlah dan kualitas perempuan caleg yang akan menjadi aleg.

Dengan demikian, mulai saat ini pegiat perempuan dan perempuan pegiat marilah sesuai dengan TUPOKSI masing-masing mempersiapkan perempuan caleg, masyarakat laki dan perempuan agar mengambil sikap dan posisi yang jelas untuk memilih secara cerdas. Pilihan anda secara cerdas dengan prinsip keadilan dan kesetaraan perempuan dan laki-laki tanggal 9 April 2009 mendatang memiliki dampak yang luar biasa terhadap kesejahteraan masyarakat NTT. **

Diturunkan secara serial pada SKH Pos Kupang edisi 5, 6 dan 7 Maret 2009 halaman 7
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes