Perempuan dan Permasalahannya

Oleh dr. Yovita Anike Mitak, MPH

Kepala Biro Pemberdayaan Perempuan Setda NTT

PERJUANGAN perempuan muncul dari adanya kesadaran perempuan akan ketertinggalannya dari kaum laki-laki dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan terus digaungkan dan dilaksanakan di dunia internasional maupun nasional. 

Namun, kemajuan perempuan masih terkendala oleh berbagai faktor seperti budaya, penafsiran ajaran agama, adanya kebijakan yang menghambat kemajuan perempuan dan belum optimalnya pemberdayaan kaum perempuan.


Dalam aspek sosial budaya, kondisi masyarakat yang majemuk baik ditinjau dari sudut adat istiadat, etnik, agama dan sosial ekonomi secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi upaya terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. 

Nilai budaya yang masih bersifat patriarki mempengaruhi banyak aspek dalam upaya untuk menigkatkan posisi dan kondisi perempuan dalam pembangunan. 

Salah satu contohnya dalam bidang pendidikan, masih banyaknya praktek yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan, jika sebuah keluarga harus memilih siapa yang akan bersekolah dengan keterbatasan sumber pembiayaan. 
Perempuan menikah lebih mudah dari laki-laki juga merupakan cerminan bahwa perempuan masih dinomorduakan.

Posisi perempuan sebagai subordinari dan termarginalkan saat ini masih sangat tampak dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam dunia pendidikan, data Susenas 2003 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (11,56 persen berbanding 5,43 persen). 

Penduduk perempuan yang buta huruf sekitar 12,28 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta huruf sekitar 5,84 persen. Rata-rata lamanya sekolah perempuan adalah 6,5 tahun, sedangkan pada laki-laki adalah 7,6 tahun.

Dalam dunia kesehatan, angka harapan hidup perempuan memang lebih tinggi. Akan tetapi pada sisi lain, angka kematian ibu hamil dan melahirkan (AKI) masih tinggi yaitu 307 per 100.000 kelahiran hidup. Sementara itu, prevelensi anemia pada ibu hamil masih lebih dari 50 persen. 

Dalam dunia ekonomi, berdasarkan Susenas 2003, tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) perempuan masih relatif rendah yaitu 44,81 persen dibandingkan dengan laki-laki (76,12 persen).

Dalam dunia politik, meskipun UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu mengamanatkan keterwakilan 30 persen perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, namun hasil pemilu 2004 masih menunjukkan rendahnya keterwakilan perempuan di lembaga legislatif, yaitu keterwakilan perempuan di DPR hanya 11,6 persen dan di DPD hanya 19,8 persen. DPR RI asal NTT berjumlah 13 kursi terdiri dari 11 orang (84,62 persen) dan perempuan 2 orang (15,3 persen). DPRD Propinsi NTT 55 orang terdiri dari laki-laki 50 orang (90,91 persen) dan perempuan 5 orang (9,09 persen). DPRD Kabupaten/kota se- Propinsi NTT berjumlah 552 orang terdiri dari laki-laki 430 orang (89,5 persen) dan perempuan 50 orang (10,5 persen). 

Untuk tahun 2004 semua kabupaten/kota memiliki keterwakilan perempuan. DPD Pusat asal NTT berjumlah 4 orang, semuanya laki-laki.

Rendahnya keterlibatan perempuan dalam jabatan publik juga dapat dilihat dari rendahnya persentase perempuan PNS yang menjabat eselon I, II dan III. Eselon I laki-laki 1 orang, perempuan 0. Eselon II, laki-laki 43 orang, perempuan 6 orang (13,9 persen). Eselon III, laki-laki 192 orang, perempuan 35 orang (18,2 persen).

Berbagai keadaan yang mempengaruhi kualitas hidup perempuan juga masih banyak terjadi saat ini. Tindak kekerasan terhadap perempuan masih tinggi. Tahun 2006 terdapat 289 kasus, tahun 2007 sebanyak 206 kasus dan tahun 2008 terdapat 363 kasus. Diskriminasi terhadap perempuan masih terjadi, seperti yang ada dalam perbedaan upah para pekerja dengan tingkat pendidikan yang sama dan pembedaan pemberian jaminan sosial atau tunjangan. 

Masalah lain yang dihadapi adalah maraknya perdagangan perempuan dan anak serta masalah eksploitasi termasuk pornografi dan pornoaksi.

Masalah perlindungan anak antara lain dapat dilihat dari masih tingginya angka kekerasan terhadap anak. Tahun 2006 terdapat 178 kasus kekerasan, tahun 2007 sebanyak 89 kasus dan tahun 2008 terdapat 98 kasus. Masih banyaknya pekerja anak, berdasarkan Sakernas 2003, persentase anak yang bekerja sekitar 5,6 persen dari jumlah anak umur 10 - 14 tahun, dan sebagian terbesar dari mereka bekerja lebih dari 35 jam/minggu (73,1 persen) dan bekerja di sektor pertanian (72,0 persen).
Permasalahan mendasar dalam pembangunan perempuan yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa kondisi dan posisi perempuan masih mengalami keterpurukan dalam berbagai aspek kehidupan, baik dalam aspek pendidikan, kesehatan, ekonomi, politik dan sosial budaya.

Secara umum kaum perempuan akan terus memperjuangkan keterlibatannya dalam berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Inilah visioner kaum perempuan utnuk mencapai negara yang adil dan makmur melalui percepatan terwujudnya kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan.

Melalui kesetaraan dan keadilan laki-laki dan perempuan, pembangunan yang sedang kita laksanakan dapat berhasil, karena kaum perempuan yang jumlahnya kurang lebih sama dengan kaum laki-laki, akan memberikan kontribusinya guna akselerasi percapaian tujuan pembangunan daerah dan nasional. Kaum perempuan tidak lagi dinilai sebagai penghambat atau beban tapi harus merupakan potensi yang dapat bermitra sejajar dengan kaum laki-laki.

Pemahaman kesetaraan berarti tidak equivalent/sama dengan. Tapi harus dimaknai dengan memberikan kesempatan, memberikan peluang yang sama, ukurannya tetap mengacu pada kompetensi, sehingga bila nilai kompetensinya lebih tinggi pada perempuan, maka diberikanlah kesempatan itu kepada kaum perempuan, tidak lagi mengacu pada nilai-nilai budaya yang menghambat kemajuan perempuan.

Jika pemahaman seperti ini sudah merupakan bagian dari pembangun, maka akan hapuslah diskriminasi utamanya terhadap perempuan.

Dalam meningkatkan partisipasinya di berbagai bidang pembangunan, kaum perempuan dituntut untuk melakukan self empowerment, self confidance dan self creation. Walaupun kaum perempuan telah berkiprah pada sektor publik tidak melupakan peran domestiknya, demikian pula peran kaum laki- laki sebagai mitra sejajar kaum perempuan, tidak diragukan lagi berada juga di sektor domestik. (*) 

Pos Kupang edisi 3 Maret 2009 halaman 7
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes