Pak Tua


MUSIM caleg caleg berguguran hampir mendekati puncaknya. Dan, segera berganti musim baru. Musim semi buat wajah baru atau muka lama naik panggung. Dari Ende dan Lembata tersiar warta, muka baru riang berpesta pora. Nagekeo, Ngada, Manggarai, Flotim, Sumba Timur, Sumba Barat, Alor, Rote Ndao, Kupang, TTS, TTU pun Belu mirip-mirip kendati belum pasti lantaran rekap KPU masih terseok-seok. Pelan mendayu. 

Tuan dan puan kiranya telah melihat setitik cahaya. Pemilu ini cenderung memilih yang muda energik, doyan remaja naik badan, suka perawan minim pengalaman. Demikianlah gambaran sementara hasil gempa politik 2009. Buah segar tsunami pemilu legislatif multipartai yang namanya masih sulit kuingat. Makin hari semakin bening siapa terlempar, siapa terdepak, siapa terbahak. Sebagian wajah lama niscaya mengucapkan sayonara kepada Dewan Terhormat. Yang bertahan tak banyak. Oh Pak Tua, sudahlah...!


Amboi... inilah politik yang memang repot tapi asyik. Potong sapi, potong babi, anjing, kambing, ayam, beras atau bagi uang pulsa saat sosialiasi belum tentu dibayar dengan suara. Pasang baliho tak ditengok, sebar kartu nama cuma mengendap di laci saku dan meja, sibuk mengetuk pintu ke pintu ternyata tertipu. 

Wajah lama tak lolos menguatkan pesan betapa suara rakyat tak bisa lagi ditipu. Pemilu lalu suara diatur partai induk. Ukurannya nomor urut. Nomor kepala atau kaki. Suara terbanyak belum tentu jadi. Kini di tahun 2009, formula suara terbanyak mengobrak-abrik tatatan. Pemalas tunggang-langgang. Oportunis meringis. Yang ingat diri dan kelompok selama lima tahun menampakkan diri secara telanjang. Ketahuan sudah siapa yang merakyat, siapa yang elitis. Siapa tokoh, siapa ditokoh- tokohkan atau menokohkan diri sendiri. Suara rakyat sungguh mujarab bukan?

Kira-kira begitu data (sementara) pesta demokrasi yang sudah bisa kita lihat. Warga sekampung ramai-ramai jadi caleg aneka partai di satu dapil. Mereka sekeluarga- serumpun. Mengail ikan di kolam yang sama; jaringan keluarga, kolega dan sahabat. Tidak masuk akal tapi tak ada yang mau mengalah. Semua egois, semua nekat. Hasilnya gigit jari sendiri. Urut dada yang sesak berdesak memikirkan duit dan energi yang telah terkuras. Sekarang mereka menatap orang lain menggenggam tiket Dewan. Bergumam diam-diam, ah seandainya... seandainya 9 April lalu suara warga sekampung-sekomunitas diarahkan pada salah satu caleg saja, maka lapanglah jalannya ke gedung Dewan. Mau bilang apa, penyesalan selalu datang belakangan. 

Satu tetes kesedihan adalah gempa politik musim ini mencerai-beraikan jalinan keluarga. Famili sikut-sikutan. Kawan berbenturan. Berharap tinggi meraih kursi tanpa timbang data betapa pendukung terbatas jumlah. Tidak mesti ahli statistik atau pakar matematika untuk tahu berapa suara DPT yang bisa direbut dalam satu dapil. Bius kuasa dan jabatan sungguh membutakan hati dan otak. Saudara bersaudara bertarung. Bertarung secara tidak fair dengan hasil sama-sama gagal. 

Gagal karena suara terbagi merata. Biar kecil-kecil asal semua dapat bagian. Harga kursi Pemilu 2009 pun "murah meriah". Di level DPRD Kabupaten/Kota cukup mengoleksi dua ratus lima puluh hingga tiga ratus suara sudah masuk titik aman dan berpeluang besar menyandang sapaan wakil rakyat yang terhormat.

Partai banyak bikin gara-gara. Tak bakal ada lagi mayoritas dalam tubuh Dewan lima tahun ke depan. Paling tinggi satu atau dua partai yang dapat membentuk fraksi sendiri. Yang lain wajib bergabung karena umumnya cuma bermodalkan satu dua kursi. Dunia persilatan lidah dan lobi di legislatif kita bakal lebih seru. Seribu satu jurus bakal beradu. Suara-suara akan semakin riuh. Pilkada berikut akan kena dampaknya. Kita akan menyaksikan pentas politik seribu rasa. Ramai rasanya!

Kita syukuri jika sungguh terjadi semakin banyak wajah segar di parlemen, entah kabupaten, propinsi maupun di Senayan. Setidaknya itu bermakna ada regenerasi- kaderisasi. Yang muda menggantikan Pak Tua. Mengambil posisi mereka yang sudah dua tiga periode menyandang wakil rakyat. 

Bahaya wajah baru cuma satu. Minim pengalaman. Masih polos-perawan. Belum paham lebatnya rimba raya parlemen, masih gelap peta persilatan legislator.  Namun, seiring berjalannya waktu tuan dan puan akan tahu jua. Tak butuh waktu lama bagi wajah baru untuk beradaptasi. Enam bulan cukup. Akan kelihatan idealismenya masih perawan atau jebol amat lekas. Wajah segar bugar tahun ini, tahun depan mulai kelihatan bopengnya. Tahun pertama tuan dan tuan dapat membedakan mana ular, mana merpati. Siapa preman, siapa pemikir, siapa punya otak, siapa asal omong, siapa bermutu, siapa sekadarnya saja. 

Empat hari silam beta terima surat elektronik dari seorang sobat. "Apa kado terindah bagimu sebagai warga Kota Kupang?" tanya si kawan di milis pertemanan kami. Dia buru-buru menjawab sendiri. "Kado terindah adalah listrik makin sering padam, air bersih masih sulit, sampah bung urus sendiri kan? Kemana gerang para wakilmu yang terhormat?

Beta mau jawab apa? Toh kawanku yang kupilih lima tahun lalu masih merapat ke KPU. Melihat-lihat angka, bertanya-tanya selalu: lolos atau tidak? Sekonyong- konyong syair lagu lama terngiang nyaring di kuping kiri, lima tahun sekali baru mereka ingat rakyat! (dionbata@poskupang.co.id)

Pos Kupang edisi Senin, 27 April 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes