Bayi "Harlequin" Lahir di Ende

Ende, Kompas - Bayi laki-laki yang lahir di Kabupaten Ende, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, terlahir menderita sindrom harlequin baby. Orangtua bayi tersebut terikat perkawinan dengan hubungan kekerabatan yang sangat dekat.

Sindrom harlequin baby, seperti dikutip dari situs National Institutes of Health, AS, ditemukan oleh James W Lance dan Peter D Drummond tahun 1988 ketika mereka meneliti bayi yang sebelah tubuhnya memerah dan berkeringat. Kondisi asimetrik seperti itu kemudian dikenal dengan sebutan ”Harlequin Sign” (Tanda Harlequin).

Sindrom tersebut kadang tampak sebagai kondisi tubuh hangat dan tidak bisa berkeringat di bagian tangan dan kaki di satu sisi tubuh. Hal ini bisa agak berkurang dengan melakukan latihan. Kadang disertai dengan sakit kepala sebagian, hidung berair, jidat berkeringat, serta kontraksi (gerakan) pupil mata yang tak beraturan serta terbaliknya kelopak mata atas.

Penjelasan tentang penyebab fenomena tersebut belum sepenuhnya mendapat persetujuan secara luas.

Penyakit ini pun tergolong langka dan jarang terjadi. Rata-rata kasus itu terjadi satu di antara 300.000 kelahiran hidup.

Bayi laki-laki yang lahir pada hari Selasa (19/1) lalu dari pasangan Bernadus Bedi dan Agnes Nona, warga Desa Uluramba, Kecamatan Ende, Kabupaten Ende, itu hingga Jumat kemarin masih dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Ende.

”Dari keterangan yang bersangkutan dan keluarga, pasangan itu menikah dengan status hubungan sebagai sepupu kandung. Ini sangat dekat sekali. Di Ende, pernikahan dengan sepupu kandung dianggap biasa. Secara adat tampaknya justru dianjurkan,” kata dokter spesialis anak RSUD Ende, Agustini Utari, kemarin di Ende.

Menurut Agustini, perkawinan sedarah atau yang masih memiliki hubungan atau pertalian keluarga (consanguinity) keturunannya sangat berisiko mengalami kelainan genetik.

Anak kelima (bungsu) pasangan Bernadus-Agnes itu mengalami kelainan pada bagian mata, mulut, dan kulit. Posisi kelopak mata bayi tersebut terbalik atau melipat ke arah luar (ectropion). Bentuk bibir bayi tebal atau besar dan terbuka, serta kulitnya mengering dan mengeras, bahkan beberapa bagian mengelupas karena kuatnya kerutan.

Ternyata dalam riwayat keluarga tersebut, dari 5 anak Bernadus, 2 orang mengalami kelainan genetik, yaitu anak sulung (laki-laki) dan yang bungsu. Anak pertamanya, Claudius Fridus Rado, kini berusia 8 tahun.

Saat lahir Claudius buta, kaki lumpuh, dan kondisi kulitnya serupa dengan adik bungsunya yang baru lahir ini. Adapun anak yang nomor 2 hingga nomor 4 semuanya perempuan, kondisi mereka normal.

Kondisi membaik

Menurut Agustini, kondisi bayi tersebut hingga hari ke-4 dirawat makin membaik. Saat dibawa keluarganya ke rumah sakit, bayi itu mengalami sesak napas dan susah minum. Sejak Kamis lalu dia sudah minum air susu ibu (ASI).

Mata bayi juga mendapatkan terapi dari dokter spesialis mata di rumah sakit setempat. Kornea matanya dalam keadaan jernih dan bola mata juga baik meskipun belum diketahui apakah mata bayi tersebut buta atau tidak.

Guna mencegah infeksi bayi juga diberi antibiotik serta diberi infus untuk mencegah kekurangan cairan. Adapun untuk kulit diberi pelembap dan krim tretinoin atau retinoin A.

”Sudah terlihat kemajuan, kerutan pada kulitnya agak berkurang dan kulit pun menjadi lembut. Mata bayi juga diberi salep. Belum dapat dipastikan kapan bayi itu bisa meninggalkan rumah sakit,” kata Agustini.

Saat ini pihak rumah sakit masih mengupayakan agar kondisi bayi itu stabil dulu. Setelah bayi dapat makan dan minum, kesehatannya mulai bagus, baru diperbolehkan pulang.

”Namun, untuk kulitnya tetap diperlukan perawatan jangka panjang sebab kulit yang terkelupas itu rawan terkena infeksi,” tambah Agustini. (SEM)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes