Ania

KUPANG medio November. Ania menyeka dahinya di bawah guyuran matahari yang mendidih. Lalu lintas di terminal itu ramai sekali. Orang-orang bergegas datang dan pergi. Sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Semua tak peduli!

Perempuan itu merasa sunyi di tengah hiruk pikuk belukar lalu lintas Kupang dengan klakson dan suara musik memekakkan telinga. Sudah dua jam lebih Ania di terminal itu. Dia menunggu seseorang. Janji bertemu sejam lalu tapi orang yang ditunggu tak menampakkan batang hidungnya.

Debu halus beterbangan dihela angin Timor. Debu itu menyatu dengan keringat yang merambat di seluruh pori kulitnya yang langsat. Namun, kaki Ania tak hendak beranjak pulang. "Pulang sekarang atau tetap di sini dulu? Kalau pulang dengan hasil nihil, apa kata suamiku nanti," Ania membatin. "Dia pasti kembali mengomeliku yang telah salah mengambil keputusan."



Ania memilih tetap di terminal itu sambil berharap Erna, temannya yang dinanti akan datang membawa kabar gembira tentang keberadaan Si A, pria yang sangat dibenci Ania saat ini. Ternyata sama seperti hari-hari sebelumnya, bulan-bulan yang lalu, penantian Ania tak berujung. Erna pun tak pernah datang.

Ania dan suaminya Konrad sudah lama berteman dengan Si A. Mereka berasal dari daerah yang sama. Mereka bersahabat sejak SMA. Setelah meraih gelar sarjana, Si A memilih jadi aktivis LSM. Si A pekerja keras dengan karya monumental bagi masyarakat yang dilayani lewat LSM yang dipimpinnya. Integritas pribadinya baik. Sementara Ania dan Konrad memilih jalan kebanyakan anak Flobamora yaitu pegawai negeri di instansi pemerintah daerah.

Beberapa bulan lalu Si A datang ke rumah Ania dengan semangat tinggi, mengungkapkan niatnya maju sebagai salah seorang kandidat bupati dalam pemilu kada di kampung halamannya. Si A memohon kesediaan Ania meminjamkan uang Rp 150 juta sebagai tambahan dana operasional selama pemilu kada. "Bantulah beta dulu. Sebagai sahabat beta tidak mungkin mengkhianati kepercayaan kalian," kata Si A.

Konrad keberatan mengingat tabungan mereka selama bertahun- tahun itu demi pendidikan anak-anak. Sebaliknya Ania tergerak hati mengeluarkan tabungan karena percaya dengan tanggung jawab Si A yang akan mengembalikan pinjaman itu. Apalagi Si A memberi jaminan bahwa dia bakal terpilih dengan dukungan suara signifikan. "Yakinlah, beta sudah berbuat banyak untuk masyarakat lewat LSM," katanya. Juga ada komitmen tak tertulis jika Si A jadi bupati, Ania akan mendapatkan kemudahan akses. Ya, siapa tidak suka bersahabat dengan kepala daerah yang memiliki kuasa dan wewenang menentukan ini dan itu?

Optimisme Si A tidak terbukti di arena pemilu kada. Dia mendapatkan dukungan suara seadanya. Jumlah suara jauh berbeda dibandingkan calon yang menang. Si A patah frustrasi. Dia tak menduga rakyat yang selama ini terasa dekat dengannya justru memilih figur yang lain. Dalamnya laut bisa diduga, dalamnya hati rakyat siapa yang tahu?

Sejak terlempar dari gelanggang pemilu kada, kehidupan Si A berubah total. Dia tidak lagi mengurus LSM. Si A dan keluarga tinggalkan kota tempat mereka tinggal selama ini. Ania kelimpungan. Dia mencari ke mana-mana, tetapi si A seperti ditelan bumi. Kengototan Ania bersua si A guna membicarakan pinjaman malah dibalas cibiran. "Ada anggota keluarganya bilang beta ini perempuan sonde (tidak) tahu diri," kata Ania.

Ania sungguh sakit hati karena dikhianati sahabat yang sangat dia percayai. Suatu ketika tiba-tiba Si A menghubunginya lewat telepon, entah dari kota mana. Menurut Si A, uang Rp 150 juta sudah habis saat pemilu kada. "Kalau beta menang pemilu kada kemarin, apakah lu juga menuntut uang itu kembali? Itulah risiko politik Ania, beta tak mungkin bayar kembali," kata Si A langsung menutup telepon. Dia tidak memberi kesempatan sedikit pun kepada Ania untuk bicara. 

Beberapa rekan menyarankan Ania menempuh jalur hukum. Ania dan suami tak berdaya karena transaksi pinjam-meminjam uang itu tanpa hitam di atas putih alias tanpa kwitansi. "Dasarnya semata kepercayaan sebagai sahabat. Jadi, tidak mungkin kami ambil langkah hukum," ujar Ania muram.

Demikianlah tuan dan puan, kisah nyata seorang Ania. Ania kiranya hanya salah satu contoh tentang kegetiran nasib pasca pemilu kada. Ada saja yang disapu badai ingkar janji seperti Ania dan Konrad. Banyak sisi pemilu kada yang menggetarkan hati. Kisah pemilu kada tak selamanya indah.

Banyak orang terpaksa menjual rumah, mobil atau tanah dengan harga murah untuk menutup ongkos pemilu kada yang tidak sedikit. "Setelah pemilu kada saya jatuh miskin, bung!" kata seorang teman yang kalah di arena pemilu kada beberapa tahun silam. Dia harus mulai dari nol untuk menata kembali kehidupan ekonomi keluarganya.

Pasca pemilu kada di beranda Flobamora hari-hari ini pasti ada saja yang tidur tak nyenyak mengingat kelakuan selama memangku jabatan kepala daerah. Mereka cemas dan gundah akan diungkit 'kelakuannya' di masa lalu oleh pemimpin daerah yang baru. Kalau tidak cerdik dan piawai menghilangkan barang bukti niscaya penjara sudah menanti. (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 22 November 2010 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes