Dor!

I Love You. Itulah kata terakhir Philip Chlanda kepada sang pacar sebelum ia menembak kepalanya dengan pistol dan tewas seketika. Cemburu buta menyebabkan kisah asmara polisi berusia 29 tahun tersebut berakhir tragis.

Philip, salah seorang polisi di Kota New York, Amerika Serikat itu, seperti disiarkan NYDailyNews, Kamis (19/5/2011), nekat menembak kepalanya di depan sang kekasih karena dia merasa akan ditinggalkan. Philip melihat profil Facebook pacarnya yang mengindikasikan kalau sang kekasih telah melirik pria lain.



Philip rupanya tidak kuat menghadapi kemungkinan putus cinta dengan kekasihnya. Kasus bunuh diri karena cinta dilakukan Philip setelah mereka bertengkar hebat. "Dia punya kesan bahwa sang pacar mungkin bakal meninggalkannya," kata Paul Browne, juru bicara kepolisian setempat. Akhirnya jalan pintas bunuh diri pun menjadi pilihan Pak Polisi.

Jalan pintas yang sama ditempuh rekannya sesama profesi namun beda negara dan bangsa, Brigadir Satu (Briptu) Edwin Leihu (23) di Ruteng, Ibukota Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Indonesia, hari Sabtu 28 Mei 2011. Anggota Brigade Mobil (Brimob) itu bunuh diri setelah bertengkar dengan sang kekasih. Motif pertengkaran Edwin dengan kekasihnya belum terkuak, namun cara bunuh dirinya mirip aksi Philip di New York. Tiga butir peluru menembus kepala Edwin dari pistol yang ditembakkan Edwin sendiri dari bawah dagunya. Ngeri!

Anggota polisi mengakhiri hidup lewat bunuh diri. Bukankah kasus serupa makin banyak terjadi di negeri ini? Dalam tiga tahun terakhir -- menurut data yang dihimpun dari laporan media massa terjadi sedikitnya 16 kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang melanda aparat kepolisian RI. Tahun ini tercatat tiga kasus hingga bulan Mei 2011. Hampir 99 persen aksi bunuh diri oleh polisi menggunakan senjata api. Dalam kasus-kasus yang terjadi di Indonesia, selain polisi menembak diri sendiri karena suatu sebab ada juga polisi tembak sesama rekannya lalu bunuh diri, tembak istri atau kekasih kemudian dor kepala sendiri!

Di Indonesia, tuan dan puan masih sulit menemukan data spesifik yang akurat dan mudah diakses tentang kasus bunuh diri, apalagi kasus bunuh diri aparat kepolisian. Kuat kesan institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belum menempatkan perkara tersebut sebagai agenda penting dalam konteks pembinaan SDM Polri dan penguatan kelembagaan. Rekan polisi mati bunuh diri dipandang sebagai peristiwa kemanusiaan biasa, sama saja dengan kasus bunuh diri yang melanda warga masyarakat sipil lainnya. 

Sebuah penelitian oleh lembaga independen tahun 1994 mengungkap fakta miris di Departemen Kepolisian Kota New York, AS. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (1984-1994), sebanyak 137 petugas kepolisian meninggal saat menjalankan tugas. Tapi dalam periode yang sama terdapat 300 kematian di departemen kepolisian akibat kasus bunuh diri. Publik New York terguncang menatap angka ini. Publik bereaksi lantaran data tersebut tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat secara transparan. Artinya, polisi menutup-nutupi kasus bunuh diri anggotanya.

Kepolisian New York akhirnya melakukan reformasi mulai dari proses rekrutmen anggota, kurikulum pendidikan hingga beban tugas yang fair bagi setiap petugas kepolisian di salah satu kota terbesar Amerika Serikat itu. Keterlibatan psikolog kemudian menjadi kebutuhan mutlak bagi setiap personel. Manakala seorang anggota polisi berperilaku aneh yang berindikasi stress atau putus asa, maka dia segera masuk kelas konseling. Dibebastugaskan sementara waktu. 

Sejak itu terjadi perubahan signifikan, yakni angka bunuh diri menurun drastis. Bahwa ada kasus bunuh diri seperti yang menimpa Philip Chlanda, itu merupakan pengecualian. Toh tidaklah mungkin kasus serupa nihil selamanya.

Pengalaman New York boleh jadi sudah lama menghampiri institusi Polri. Banyak kasus bunuh diri anggota yang ditutup-tutupi atau dikemas ke publik sebagai informasi yang tidak murni lagi. Kecenderungan terkini di mana makin banyak kasus bunuh diri di kepolisian mestinya menjadi momentum bagi Polri melakukan pembenahan lebih sungguh. Apalagi tantangan Polri ke depan tidak bertambah enteng. Modus kejahatan makin kompleks. Siapa pun warga bangsa ini kiranya tidak mau hidup berdampingan dengan polisi yang cepat stres, mudah putus asa dan riang menembak diri sendiri untuk mengakhiri hidup yang indah ini. Sebagai pelindung masyarakat idealnya polisi lebih tangguh secara fisik dan mental.

Banyak suara di tengah masyarakat yang mempersoalkan proses rekruitmen anggota kepolisian yang masih jauh dari prinsip jujur dan adil bagi seluruh anak bangsa. Kuat nian rumor berembus bahwa di masa kini makin langka anak tuan dan puan masuk kepolisian secara murni tanpa duit pelicin. Duit pelicin itu so pasti tanpa bukti kwitansi. Jumlahnya membuat tuan merinding karena sudah bermain di kisaran angka puluhan juta dan terus meningkat dari waktu ke waktu. Demi menjadi anggota Polri -- salah satu lapangan kerja yanw terbuka bagi tamatan SMA -- orang kita berani berutang demi masa depan anaknya. Namanya saja rumor, bisa benar bisa juga tidak. Tapi bila benar, bisa dibayangkan kualitas SDM Polri. Tes psikologi, tes tertulis sejumlah mata pelajaran serta tes fisik mungkin sekadar formalitas karena uang yang lebih menentukan lulus atau tidak.

Dari sisi kuantitas, Indonesia masih butuh 365.000 polisi karena jumlah polisi saat ini sekitar 395.000 orang atau masih jauh dari angka ideal 760.000 orang. Mengacu pada jumlah penduduk Indonesia sekitar 230 juta orang, maka rasio polisi dengan jumlah penduduk saat ini satu berbanding 580 orang. Idealnya seorang polisi melindungi 300 warga.

Dengan demikian Polri sesungguhnya masih memberi kesempatan yang sangat luas bagi putra-putri Indonesia untuk bergabung. Dan, kematian seorang anggota Polri akibat bunuh diri seperti dialami almarhum Edwin di Ruteng merupakan kehilangan tiada tara. Kita berduka cita untuk keluarga besar Polri sekaligus berharap kejadian serupa tidak terulang lagi. Kuncinya kembali ke institusi Polri sendiri. Apakah memandang drama bunuh diri anggotanya sekadar kematian biasa atau justru menggugat Polri melakukan perubahan mendasar.

Omong-omong soal bunuh diri, data Data Badan Kesehatan Dunia, World Health Organization (WHO) berikut bikin bulu tengkuk berdiri. Ternyata setiap tahun hampir satu juta manusia di dunia mati karena bunuh diri. Data WHO menunjukkan angka kematian bunuh diri rata-rata terjadi setiap 40 detik. Selama 50 tahun terakhir angka bunuh diri meningkat 60 persen hingga menjadikan bunuh diri sebagai penyebab kematian ketiga terbesar yang terjadi pada kelompok usia 15-44 tahun. 

Angka di atas belum termasuk percobaan bunuh diri yang 20 kali lebih sering daripada bunuh diri. Itu berarti lebih banyak orang mati karena bunuh diri daripada konflik bersenjata di dunia. Di beberapa negara, seperti Jepang dan China angka bunuh diri bahkan lebih gemuk ketimbang kematian akibat kecelakaan lalulintas. 

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut WHO pada tahun 2005, sedikitnya 50.000 orang Indonesia melakukan tindakan bunuh diri tiap tahun. Itu data 2005. Data terbaru bisa diasumsikan lebih tinggi lagi. Bukankah kita hidup di tengah tata dunia yang makin sinting? Nah, tuan dan puan mari kita berbuat sesuatu. Paling tidak berpikir dan berbuat baik hari ini agar kesintingan dunia sedikit terkikis. Dor! (dionbata@yahoo.com)

Pos Kupang, Senin 30 Mei 2011 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes