KISRUH yang melibatkan dua lembaga hukum terkemuka di negeri ini yakni antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Kepolisian RI (Polri) memasuki babak baru.
Polemik yang melelahkan ini pertama kali mencuat pada awal Agustus 2012 ketika penyidik KPK mengusut dugaan korupsi proyek pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri. Kala itu penyidik KPK sempat disandera berjam-jam lamanya saat hendak membawa barang bukti. Polri bersikukuh bahwa mereka sudah lebih dahulu menangani kasus tersebut sehingga tidak patut bagi KPK untuk menanganinya. Sementara mata publik baru terbuka ketika KPK beraksi.
Ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2002 pasal 50 ayat 3 dan 4 menyebutkan Polri harus menghentikan penyidikannya jika kasus sudah ditangani KPK. Namun, Polri tetap pada pendiriannya dengan mengacu pada MoU antarlembaga penegak hukum yakni KPK, Polri dan Kejaksaan Agung. Polri justru menuding KPK melanggar MoU karena tak memberi tahu Polri soal pengeledahan di gedung Korlantas Polri.
Sampai saat ini perseteruan itu tidak menunjukkan tanda-tanda segera berakhir. Bahkan cenderung memanas dan berputar-putar di tempat saja.
Kondisi terbaru, Polri justru menarik 20 personelnya yang ditugaskan sebagai penyidik KPK. Pimpinan Polri beralasan masa tugas 20 penyidik tersebut telah berakhir sehingga mereka harus kembali ke lembaga Polri. Alasan lain adalah karier para penyidik tersebut tidak akan berkembang bila terlalu lama berada di KPK. Sebagian perwira Polri akan dikirim melanjutkan studi atau menempati jabatan baru sesuai pangkat dan kapasitasnya. Pimpinan Polri juga menyatakan sudah menyiapkan penyidik pengganti namun belum direspons pimpinan KPK.
Sikap KPK jelas yakni meminta pimpinan Polri untuk memperpanjang masa tugas ke-20 penyidik tersebut mengingat mereka saat ini sedang menangangi berbagai kasus korupsi. Bila mengganti penyidik di tengah jalan dikhawatirkan menggangu jalannya penyidikan. Ketua KPK Abraham Samad melukiskann penarikan 20 penyidik itu sebagai langkah menyedihkan. Abraham mengapresiasi pernyataan Kapolri Jenderal Timur Pradopo yang akan mengganti penyidik. Namun, kata dia, penggantian itu tidak menyelesaikan masalah seperti membalikkan telapak tangan lantaran penyidik baru harus mulai dari awal lagi.
Entah sampai kapan kisruh ini bakal berakhir. Dibutuhkan pihak ketiga yang berwenang untuk mempertemukan kedua pimpinan institusi tersebut agar tetap fokus pada upaya penegakan hukum di negeri ini.
Pihak ketiga itu bisa DPR, bisa juga Presiden RI. Presiden memiliki kewenangan untuk memberi perintah kepada Polri karena lembaga itu berada di bawahnya. Namun, sampai saat ini belum ada tindakan nyata dari kepala negara. Yang sudah jelas bagi masyarakat jika kisruh dua lembaga penegak hukum itu berlarut-larut maka penanganan kasus korupsi akan terbengkalai. Hal ini niscaya menampar wajah pemerintah sendiri yang sudah berkali-kali menegaskan tidak berkompromi dengan praktik korupsi.*
Sumber: Tribun Manado 20 September 2012 hal 10