ilustrasi |
Studi banding, misalnya, memang bukan hal yang buruk. Namun, teori-teori pembangunan menekankan bahwa studi banding hanyalah faktor pelengkap bukan modal utama suatu bangsa membangun dirinya menuju kesejahteraan hidup. Sudah banyak contoh sukses bangsa yang meraih kejayaan karena mereka bermodalkan keutamaan-keutamaan dari dalam dirinya sendiri. Jepang, Korea Selatan dan China bisa disebut di antara kisah sukses tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia? Kita harus jujur mengakui masih jatuh dan jatuh lagi di dalam lubang yang sama. Model pembangunan yang kita terapkan sangat kuat berorientasi ke luar. Kita cenderung memuji-muji formula bangsa A, bangsa B dan C. Kita ambil lalu menerapkan resepnya tanpa filter, tanpa kreasi dan inovasi berbalutkan spirit jatidiri Indonesia.
Kita mudah terbuai untuk menuai hasil instan. Yang terjadi kemudian adalah litani kisah kegagalan. Bahkan menciptakan ketergantungan tak berujung. Ketika kebutuhan sembilan bahan pokok (sembako) rakyat Indonesia hari ini masih terus bergantung dari pasokan impor, itulah bukti kuat betapa rapuhnya model pembangunan yang kita anut selama puluhan tahun.
Bangsa ini dikaruniai tanah nan subur, lautan mahas luas, kekayaan rempah-rempah tak ada duanya di dunia, tetapi beras, singkong, garam, tahu dan tempe pun kita impor. Tanpa sadar kita menempatkan diri kita sebagai bangsa terjajah dalam urusan makan sehari-hari.
Virus orientasi ke luar itu pun merasuki cara berpemerintahan di negeri ini. Kuatnya orientasi tersebut menjelma dalam "hobi" studi banding pimpinan eksekutif dan legislatif, baik di pusat maupun di daerah-daerah.
Di Sulawesi Utara, misalnya, DPRD Provinsi baru saja menganggarkan dana Rp 3,5 miliar untuk perjalanan anggota dewan dalam tiga bulan. Dana tersebut tertata dalam APBD Perubahan (APBDP) 2012. Pada rapat sinkronisasi pembahasan APBDP antara Badan Anggaran DPRD dan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TPAD), Selasa (25/9), disebutkan dana kesekretariatan DPRD naik dari Rp 39,4 miliar menjadi Rp 46, 4 miliar. Jumlah itu bertambah Rp 7 miliar dari Rp 8 miliar yang sebelumnya direncanakan. Dari penambahan Rp 7 miliar itu 50 persen atau setengahnya untuk perjalanan dinas luar kota dan ke luar negeri.
Dana perjalanan yang tidak kecil bukan? Apakah hasilnya sebanding dengan biaya yang dikeluarkan, silahkan rakyat Sulawesi Utara menunggu dengan muram. Kita rajin nian berkeliling sambil menebarkan uang dari pajak rakyat. Mengapa bukan berkeliling di kampung sendiri agar uang jatuh di bumi Nyiur Melambai?*
Sumber: Tribun Manado 27 September 2012 hal 10