ilustrasi |
Banyak contoh bisa kita temui setiap hari. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dalam satu dasawarsa terakhir mendorong banyak negara menerapkan apa yang disebut sistem e-government. Indonesia pun tak mau ketinggalan mengembangkan sistem itu.
Di level pemerintahan daerah hal tersebut diimplementasikan dalam Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA) yang bertujuan memenuhi kebutuhan informasi secara cepat, tepat, lengkap, akurat dan terpadu guna menunjang proses administrasi pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Efisiensi waktu dan biaya bisa tergenapi melalui sistem ini.
Dengan sistem e-government surat-menyurat yang berisi laporan data bulanan dari suatu instansi, misalnya, tidak perlu lagi menggunakan kertas, amplop dan butuh petugas khusus untuk mengantarkan ke alamat yang dituju. Cukup dikirim lewat fasilitas surat elektronik (surel) atau email. Praktiknya tidak semudah itu karena regulasi birokrasi kita yang tumpang tindih bahkan saling bertentangan.
Sebagai misal. Ketika Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi meminta data bulanan tentang penyakit dari kabupaten dan kota, mestinya staf Dinkes kabupaten dan kota bisa mengirim via email. Namun, hal itu jelas merugikan staf Dinkes kabupaten dan kota lantaran mereka akan kehilangan kesempatan mendapatkan uang jalan melalui fasilitas SPPD. Sesuai regulasi yang berlaku SPPD merupakan hak pegawai negeri sipil (PNS) bila menjalankan tugas dinas di luar kantor.
Maksud penerapan e-government untuk efisiensi waktu dan biaya tidak terlaksana. PNS mana di negeri ini yang rela mengorbankan hak perjalanan dinas mereka? Kalau ada PNS seperti itu bisa dianggap kurang waras. Yang terjadi adalah PNS berlomba-lomba mendapatkan kesempatan tugas ke luar daerah guna mendapatkan SPPD. Dalam sejumlah kasus bahkan ada PNS yang sengaja membuat SPPD fiktif.
Sitem yang berlaku dalam pemerintahan Indonesia belum memberi ruang yang memadai untuk mencegah pemborosan anggaran rutin. Justru yang terjadi setiap instansi pemerintah berusaha dengan segala cara agar mendapatkan alokasi belanja rutin yang semakin besar dari waktu ke waktu. Tidak penting bagi mereka apakah biaya yang dianggarkan sesuai kebutuhan prioritas atau tidak.
Itulah sebabnya kita tidak terkejut ketika mengetahui dalam APBD Kabupaten Minahasa tahun 2013 ada item pembiyaan hingga Rp 2,1 miliar untuk rumah dinas bupati dan wakil bupati yang baru. Dari total dana Rp 2,1 miliar itu ada belanja pengadaan tempat tidur sebesar Rp 650 juta, sofa Rp 475 dan biaya gorden Rp 450 juta atau setara harga mobil toyota grand fortuner. Dari sisi aturan tidak salah karena dana itu sudah dialokasikan dalam APBD. Yang dibutuhkan rakyat Minahasa adalah kepekaan kepala daerah bagaimana menyikapinya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mau bersikap hidup sederhana. *
Sumber: Tribun Manado edisi 7 Maret 2013 hal 10