Maestro Kemanusiaan itu 'Putra' Konsili Vatikan II

Paus Yohanes Paulus II
(Mengenang 25 Tahun Lawatan Paus Yohanes Paulus II di Indonesia)

Oleh Rm. Richard Muga Buku, Pr

Koordinator Totus Tuus Community Cristo Re Maumere.


TANGGAL 2 April 2005 waktu Vatikan (3 April waktu Indonesia), Paus Yohanes Paulus II melepaskan napasnya yang terakhir. Menarik bahwa Bapa Suci ini meninggal pada tahun ke-40 penutupan Konsili Vatikan II. Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa sosok ini aktif dalam seluruh pergulatan Konsili Ekumenis yang makan waktu kurang lebih 3 tahun itu.

Ia bahkan mengakui `Putra dari Konsili Vatikan II' sebagai ekspresi betapa mendalamnya ia dipengaruhi Konsili Vatikan II dalam seluruh karya kepemimpinannya sebagai orang ke-264 yang menduduki takhta warisan Santo Petrus. Dan saat ini ketika umat Katolik Indonesia mengenang 25 tahun lawatan Paus yang sudah dikanonisasi (digelar santo) pada tanggal 27 April 2014 itu dan 50 tahun Konsili Vatikan II, baiklah kita menyelisik kiprah Bapa Suci yang boleh digelari Putra dari Konsili Vatikan II ini.

Ketika pada tanggal 28 Januari 1959, Paus Yohanes XXIII mengumunkan akan diadakan sebuah konsili ekumenis, Karol Wojtyla baru saja beberapa bulan menerima tahbisan sebagai uskup pembantu di keuskupan Krakovia. Dalam usia yang relatif masih muda, 38 tahun, Woijtyla yang kala itu dosen etika sosial katolik pada Universitas Katolik Lublin (KUL: Katolicki Uniwersytet Lubelski), menjadi uskup termuda dalam sejarah Gereja Polandia. Doktor teologi jebolan Universitas Angelicum Roma ini sebelumnya ditarik dari tugas rutin pastor pelajar dan mahasiswa di paroki Santo Florianus untuk memperkuat staf pengajar Universitas Lublin.

Tesis habilitasinya mengenai karya monumental Max Scheler: Der Formalismus in der Ethik und die Materiale Werethik. Neuer Versuch der Grundlegung eines Ethischen Personalismus (Formalisme dalam Etika dan Etika Nilai Material. Percobaan baru Pendasaran Personalisme Etis) yang pada hematnya tidak dapat diandalkan sebagai dasar teoritis untuk membangun etika Kristen.

Tesis berjudul An Assessment of the Possibility of Building a Cristian Ethic on the Principles of the System of Max Scheler (Penilain terhadap Kemungkinan Membangun Sebuah Etika Kristen Atas Dasar-Dasar Sistem Etika Max Scheler) itu diaprovisasi (=diterima) oleh para dosen serentak `membaptisnya' menjadi dosen etika di KUL pada tahun 1955 sampai pada penunjukkan dirinya sebagai Uskup Agung Krakovia di tengah sesion perhelatan Konsili Vatikan II.
Pada tanggal 24 Desember 1959, Wojtyla mendapat tugas khusus dari Komisi Persiapan Konsili Vatikan II untuk merancang materi seputar krisis humanisme (=krisis kemanusiaan) yang tengah dihadapi dunia pada saat itu. Tentu bukan tanpa alasan persoalan ini dilimpahkan kepada seorang dosen muda di wilayah berbasis komunisme. Pemikir dengan `nada dasar' pembelaan manusia sebagai persona ini justru sangat memberi penekanan pada martabat manusia sebagai persona.

Manusia adalah makhluk yang unik, hidup di dunia ini dengan nutrisi spiritual, suatu misteri baik bagi dirinya sendiri maupun untuk yang lain, suatu ciptaan yang martabatnya tersingkap dari kedalaman hidupnya sebagai citra Allah. Krisis humanisme mendesak Gereja untuk tidak hanya bagi hidup dan untuk dirinya sendiri. Kehadiran Gereja di dalam dunia mesti memainkan peran humanisasi dalam kemasan nilai-nilai kekristenan agar dapat mengimbangi segala janji humanisasi yang mengandalkan sarana-sarana duniawi yang justru menciptakan dehumanisasi dan degradasi dalam banyak aspek kehidupan manusia. Inilah salah satu simpul perjuangan Uskup Wojtyla selama kehadirannya dalam ruangan konsili.

Seperti diketahui Konsili Vatikan II dibuka secara resmi pada tanggal 11 Oktober 1962. Dalam kurun waktu kurang lebih 3 tahun hingga penutupannya tanggal 7 Desember 1965, Uskup Wojtyla melakukan beberapa intervensi (=masukan/pertimbangan dalam suatu session sidang). Pada tanggal 7 November 1962 ia berbicara dalam suatu intervensi tentang `Pembaharuan Liturgi Gereja' dan menyusul tanggal  21 November 1962  tentang `Wahyu Ilahi'. Pada tanggal 3 Juni 1963 Paus Yohanes XXIII yang membuka pintu konsili meninggal dunia. Gereja yang sedang berupaya membuka diri tidak ingin terlalu lama berada dalam kevakuman (sede vacante).

Tanggal 21 Juni 1963 Paus Paulus VI memegang kendali Gereja sekaligus melanjutkan cita-cita pendahulunya. Pada musim gugur 1963, kembali Uskup Wojtyla berbicara di hadapan konsili yang sedang membahas topik `Umat Allah', sebuah tema yang memberi visi baru yang kaya mengenai Gereja. Selanjutnya tanggal 25 September 1964, ia melakukan sebuah intervensi mengenai `Kebebasan Beragama'.

Intervensi yang terakhir ia berikan ketika para bapa konsili berbicara tentang kiprah `Gereja di tengan dunia kontemporer' pada tanggal 21 Oktober 1964, tema yang cukup mendapat sentuhan filsafat personalistis Wojtyla dan menempatkan Wojtyla sebagai salah seorang anggota tim perumus draft final konstitusi Gaudium et Spes, sebuah dokumen konsili yang membahas bagaimana Gereja yang sedang ber-aggiornamento ini mestinya berada dan berperan di tengah dunia kontemporer.

Dari intervensi-intervensi tersebut, kiranya dua yang berikut ini perlu diberi perhatian. Pertama, intervensinya pada sesion ketiga konsili yang berbicara tentang `ekumenisme' yang bermuara pada dokumen Dignitatis Humanae. Dalam intervensi yang ia bawakan pada tanggal 25 September 1964 ini, Uskup Agung Krakovia amat menekankan penghargaan terhadap kebebasan beragama sebagai dasar dari gerakan ekumene. Kebebasan amat eksistensial bagi setiap manusia. Bukan saja `kebebasan dari' tapi terutama `kebebasan untuk', khususnya kebebasan untuk mencari dan menemukan kebenaran. Kebebasan adalah unsur esensial dalam ziarah menuju kebenaran.

Kebebasan membimbing kita kepada kebenaran. Karena itu kebebasan mesti bertanggung jawab. Seseorang bukan saya bisa berkata `saya bebas', tapi mesti juga berkata `saya bertanggung tawab'. Orang bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan dalam kebebasannya. Semakin bebas, semakin orang harus bertanggung jawab. Itulah kebebasan eksistensial, kebebasan melekat pada martabat manusia.

Dalam koridor demikian setiap orang secara bebas dapat mengekspresikan personalitasnya dan juga bertanggung jawab atasnya. Atas dasar itulah, manusia juga secara bebas berelasi di tengah dunia dan dengan ajaran agama yang diyakini dapat melambungkan dia kepada kebenaran sebagai puncak ekspresi kebebasannya. Judul dokumen konsili vatikan II Dignitatis Humanae yang secara harafiah berarti `kebebasan manusia' jelas menampilkan dimensi filosofis kebebasan setiap orang untuk beragama sebagai yang melekat erat pada martabat personalitas dan otonomitasnya.

Kedua, Gaudium et Spes, sebuah dokumen konsili vatikan II yang berbicara tentang kiprah `Gereja di tengan tata dunia kontemporer'. Perdebatan seputar dokumen ini dimulai pada hari Rabu 22 September 1965. Selasa pada minggu berikutnya, 28 September 1965, Uskup Agung Wojtyla berbicara di hadapan Bapa-Bapa Konsili  mengemukakan apa yang menurut sejumlah pengamat dinilai sebagai pidatonya yang paling terkenal selama konsili berlangsung.

Dia tegaskan bahwa konstitusi pastoral yang baru mesti lebih sebagai sebuah permenungan dari pada suatu tuntutan doktrinal karena keprihatinan dasariahnya adalah pribadi manusia, manusia dilihat sebagai persona yang dimengerti dalam kebersamaan relasi dengan manusia lain dan segala yang mengitarinya. Penegasan persona manusia sebagai dasar meretas relasi Gereja dengan dunia kontemporer ini disampaikan sedemikian semangat dan berapi-api oleh mantan dosen etika Universitas Lublin ini sampai moderator sidang, Kardinal Döpfner dari München menginterupsi dengan mengatakan `waktu bicara sudah selesai'. Wojtyla menyinggung realitas dunia kontemporer saat itu yang masih amat kuat dipengaruhi ateisme modern.

Gereja bagaimana pun mesti juga berdialog dengan ateisme modern sebagai kenyataan yang tak bisa ditampik. Dialog dengan para ateis mesti berpijak pada fundamen yang diakui bersama yakni  martabat manusia sebagai persona. Sebagai persona, setiap manusia memiliki kebebasan di dalam dirinya. Perbedaan antara orang beragama dan orang ateis terletak pada pemaknaan kebebasan itu sendiri. Bagi orang kristen kebebasannya dimaknai dalam keintiman hubungan dengan Allah, sedangkan kaum ateis dalam kebebasannya justru semakin menjauhkan diri dari Allah, mengingkari Allah dan dengan itu mereka justru semakin terpuruk dalam kesunyian yang radikal, kesunyian yang menakutkan. Di titik itulah, dalam dialog dengan kaum ateis, orang-orang beragama menawarkan jalan pemaknaan baru kebebasan bagi mereka.

Gaudium et Spes adalah dokumen yang mendapat banyak sentuhan intelektual Karol Wojtyla. Agar lebih memahami nilai strategis dokumen ini, orang mesti memahami konteks dunia kontemporer masa itu. Gereja yang ingin membuka diri kepada dunia saat itu diharapkan untuk tidak saja turun dengan sejumlah doktrin atau tutuntan iman tapi dengan pemahaman yang brilian tentang manusia sebagai persona yang memiliki nilai-nilai ultim dalam dirinya sendiri.

Gereja tampil dengan konsep humanisme baru, humanisme yang diilhami perjumpaan manusia dengan Kristus yang berinkarnasi bukan untuk mengasingkan manusia dari kemanusiaannya tetapi justru menyingkap tabir kebenaran yang utuh martabat manusia dan nasib akhirnya yang mulia dan bahagia. Dalam relasi dengan Kristus manusia tidak mengalami keterasingan atau rasa hampa makna yang radikal (sebagaiman nasib kaum ateis) tetapi justru mengalami kebersamaan sebagai suatu rahmat untuk saling memberi dan menerima diri. Di sana humanisme baru terbentuk, humanisme yang diwarnai oleh penghargaan terhadap tiap pribadi sebagai persona yang secara bebas mengada bersama dalam kesalingan memperkaya yang harmonis.

Wojtyla memberi suatu `visi dari dalam' yang begitu kuat terasa sehingga ada yang `membaptis' Konsili Vatikan II dengan `Konsili Personalistis'. Refleksinya seputar martabat manusia sebagai persona ia tuangkan juga dalam sebuah buku yang mengulas struktur tindakan manusia berjudul Osoba y czyn atau Pribadi dan Tindakan. Buku buah refleksi filosofis di sela-sela perhelatan konsili tersebut mengupas struktur tindakan manusia sebagai pengungkapan personalitasnya. Manusia mengungkapkan antara lain siapa dirinya melalui tindakannya. Buku ini dibahas dengan dua pendekatan filosofis yang saling memperkaya, filsafat Aristoteles-Thomas Aquino dan `filsafat fenomenologi' sebagaimana dikembangkan oleh Max Scheler. Seorang mantan murudnya, Tadeus Styczen berkomentar bahwa dalam karya ini, Wojtyla mengajak kita beralih dari afirmasi Rene Descartes: cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) kepada cognosco ergo sum (saya mengenal/saya memahami maka saya ada). Pengenalan atau pemahaman yang dimaksud adalah pemahaman yang lahir dari tindakan-tindakan sadar manusia sebab dalam dan melaluinya manusia bukan saja mengenal sesamanya tetapi juga mengungkap siapa dirinya.

Tindakan yang dimaksud bukanlah tindakan yang egosistis tapi yang terjadi dalam relasi dengan sesama yang juga saya hargai sebagai persona. Untuk itu Wojtyla menekankan dimensi sosialitas ini dengan menampilkan tida kta kunci `partisipasi, solidaritas dan transendensi'.

Penekanan terhadap persona manusia ini menjadi warna dasar karya kepausan Karol Wojtyla. Tidak perlu dideretkan lagi di sini apa saja yang pernah ia lakukan sebagai bentuk pembelaannya terhadap persona manusia. Ia adalah maestro di bidang kemanusiaan. Martabat manusia menjadi paradigma setiap bentuk interaksi dan relasi. Manusia sebagai pribadi yang bermartabat tidak pernah boleh -meminjam istilah filsuf Immanuel Kant- digunakan sebagai sarana untuk kepentingan apapun. Inilah paradigma paling kokoh jika kita ingin membangun masyarakat bangsa dan dunia yang semakin manusiawi; suatu tatanan hidup bersama di mana individu-individu yang bergabung di dalamnya tidak hanya puas dalam kungkung subyektivisme, relativisme, komunalisme atau juga totalisme yang merusak kemanusiaan universal.

Akan tetapi kenyataan bersaksi bahwa nilai-nilai kemanusiaan universal atau martabat manusia kadang hanya sebatas retorika yang menopeng maksud dan kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam hal ini patut kita angkat topi sekali lagi kepada Immanuel Kant yang menegaskan `kehendak baik' sebagai yang amat penting dalam pemaknaan moralitas hidup manusia. Hanya sayang bahwa yang tahu tentang maksud baik seseorang ada orang itu sendiri. Kejujuran menjadi ciri kemartabatan dan mutlak penting bagi seseorang menampilkan personalitasnya apa adanya, bebas dan bertanggung jawab.

Dimensi inilah yang antara lain diperjuangkan oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II selama hayatnya masih di kandung badan. Peranan mantan Uskup Agung Krakovia ini selama Konsili Vatikan II mungkin tidak sehebat para Kardinal seperti Kardinal Franz König, Kardinal Frings, Kardinal Döpfner, Kardinal Alfrink, Kardinal Suenens atau juga tidak segigih Kardinal Bea yang sangat besar pengaruhnya dalam meloloskan dokumen Nostra Aetate, dan tentu saja tidak sepengaruh Kardinal Alfredo Ottaviani, kepala Sanctum Officium yang dengan semboyangnya semper idem berupaya untuk mereduksi sejauh mungkin hasil-hasil sidang agar selaras dengan kehendak Curia Romana.

Wojtyla hadir dalam Konsili Ekumenis itu sebagai salah seorang Uskup dari Gereja lokal Polandia, Gereja yang menderita. Dia tahu apa artinya penderitaan dan dia tahu pula bagaimana Gereja semestinya berkiprah dalam realitas penderitaan. Selain aktif dalam hampir semua sesi konsili, Wojtyla adalah pendengar yang setia dan kreatif. Ia amat menyadari betapa bernasnya Konsili Vatikan II. Ia adalah `Putera dari Konsili' yang tahu apa yang harus ia lakukan untuk menjawabi harapan-harapan Konsili. Hal itu ia buktikan dalam 26 tahun lebih masa pontifikatnya yang berakhir pukul 21.37 tanggal 2 April 2005 waktu Vatikan. Dan, hari-hari ini mengenang 25 Tahun Kunjungannya ke Indonesia dan 50 tahun berlangsungnya Konsili Vatikan II ini baiklah dijadikan sebagai momentum untuk mencermati wajah Gereja lokal Indonesia saat ini dalam terang semangat pastoral, gagasan-gagasan dan spiritualitas Santo Yohanes Paulus II dan amanat Konsili Vatikan II.*

Sumber: Pos Kupang 13 Oktober 2014 hal 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes