Om Guru Menabur Cinta di Tanah Gersang

Yohanes Lalang (foto Julianus Akoit)
HARI masih pagi. Tepat pukul 10.12 wita, saya sudah berdiri di depan pintu gerbang warna coklat tua. Tampak rumah besar bercat hijau muda berdiri megah di depan. Sebuah toko kelontong berada di samping kanan rumah induk tersebut. Pintunya terbuka.

Seorang wanita paruh baya, mempersilahkan masuk. Dari dalam rumah, seorang pria berkacamata minus bergegas menyambut seraya menjabat erat tangan saya.

"Maaf adik, cuma segini pondok saya," tukasnya merendah. Pria ini adalah Yohanes Lalang (52). Tapi lebih populer disapa dengan sebutan 'Om Guru' oleh para petani dan peternak di Kampung Oetete, Kelurahan Tarus, Kecamatan Kupang Tengah, Kabupaten Kupang.

Saya mengajaknya berbincang-bincang di sebuah bangku kayu, di halaman rumah yang dikepung hijauan anakan mangga, sukun, nangka, jeruk dan sebagainya. Angin kemarau yang kering berhembus kencang, menimpali obrolan dan gelak tawa kami berdua.

"Sebetulnya basic saya bukan guru. Mungkin karena sering diminta memberikan materi pelatihan kepada para petani, peternak, mahasiswa dan anak sekolah, maka saya dipanggil dengan sebutan 'Om Guru'," tukasnya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

Ia tidak mempersoalkan sebutan itu. Yang penting ilmu tentang cara beternak unggas dan bercocok tanam, membuat pupuk bokasi, dan sebagainya bisa diserap dengan baik. Ia mengaku, hidupnya selalu diisi dengan fragmen-fragmen lepas yang paradoksal. Belum habis satu peran, ia harus melakoni peran lainnya. Herannya ia melakoni itu dengan pasrah, apa adanya. Tanpa bertanya banyak kepada Tuhan, meski sesungguhnya ia sendiri terkaget-kaget.

Salah satu bukti, papar suami dari Ny. Bibliana Boleng ini, ia cuma kuliah sampai semester V Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak, Fakultas Peternakan, Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang. Dia berhenti kuliah karena ketiadaan uang.

Orang tuanya hanya petani tradisional yang miskin di Lembata. Mereka menghentikan kiriman biaya kuliah. Padahal uang kuliah cuma Rp 45.000 per semester pada tahun 1986. Ya, kemiskinan telah menghentikan mimpinya meraih gelar sarjana peternakan.

"Tapi herannya, anggota DPR RI, staf ahli Menteri Pertanian RI, bupati, dosen, mahasiswa, kelompok tani, mahasiswa, siswa SMA, murid PAUD sudah sampai ke pondok saya hanya untuk sekadar bertanya tentang ilmu bercocok tanam, beternak, membuat pupuk bokasi dan sebagainya," kata ayah dari dua putra ini seraya menunjuk nama-nama pejabat besar yang tercantum dalam buku tamunya.

Dari buku tamu yang kusam itu, terpampang nama Prof. Dr. FX Wagiman dari Pusat Studi Pengelolaan Sumber Daya Hayati, UGM Yogyakarta, Abdul Halim dari Kabid Kelembagaan Kementan RI, Ir. Farry Francis, anggota DPR RI dan sebagainya. Ada juga rombongan mahasiswa dari Fakultas Pertanian dan Fakultas Peternakan Undana, Universitas Muhammadyah Kupang, Universitas PGRI Kupang, dan Poktan dari beberapa kabupaten/kota se-NTT.

Para tamu itu berdatangan dan bertanya kepadanya tentang keberhasilannya mengembangkan jeruk Kedang, salah satu varietas unggulan yang nyaris punah. Juga bagaimana cara mengembangkan anakan mangga arum manis yang kini telah menembus pasar luar negeri, terutama  Timor Leste. Dan masih banyak lagi.

"Itu semua terjadi sejak saya mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (Agricultural Training Centers and Rural Selfhelp) Abdi Laboratus. Sebuah lembaga swadaya yang mengembangakan pendidikan dan latihan bagi para petani dan peternak dalam berbagai aspek," paparnya.

Modal Nol Rupiah

Abdi Laboratus mempunyai makna khusus. Abdi berarti hamba, orang bawahan. Orang yang bekerja untuk orang kecil di tengah masyarakat. Labora berarti bekerja keras. Dan kata 'Tus' berarti Tuhan. Jadi LSM yang didirikannya itu mempunyai visi bekerja keras untuk orang kecil seperti petani dan peternak, bekerja untuk melayani sesama dan Tuhan.


"Saya membangun LSM Abdi Laboratus dengan modal nol rupiah. Caranya, saya menjadi gelandangan dan pengemis (gepeng) di dalam Kota Kupang. Saya mencari sisa makanan di bak-bak sampah, kalau-kalau ada biji mangga yang dibuang orang setelah makan mangga. Biji mangga itu saya kumpulkan, saya semaikan jadi anakan mangga. Lalu saya jual. Uangnya saya pakai untuk bangun LSM," kata John Lalong seraya mengenang masa pahitnya dulu di tahun 1996.

Sekarang usahanya sudah berkembang. Ada anakan dan stek mangga, jeruk, sukun, dan lain sebagainya. Ia juga beternak ayam dan ada budidaya ikan lele. Ia juga membuat pupuk bokasi untuk dijual dan dibagi-bagikan kepada para petani. Hampir setiap bulan mengikuti undangan seminar dan memberikan diklat bagi para peternak dan petani.

"Mungkin sekarang orang menilai saya berhasil. Padahal dulu saya sempat putus asa karena kuliah terputus lantaran tidak punya uang. Lalu merantau ke Jakarta menjadi tukang parkir di Pasar Pagi Mangga Dua serta Satpam di sebuah pabrik di Tangerang," katanya dengan mata menerawang, mengenang pahit getirnya melakoni fragmen hidupnya.

Ditanya apa rahasianya bisa bertahan dalam gelombang kehidupan yang keras, John Lalong mengatakan bekerja dengan hati yang penuh cinta. "Dan buktinya, di tanah yang gersang penuh bebatuan ini, tumbuh subur aneka tanaman pertanian. Saya menaburinya dengan cinta, memupuknya dengan keringat dan kerja keras. Dan kini saya mulai memanen hasilnya," pungkasnya. (julianus akoit)

Sumber: Pos Kupang 28 Juni 2015 halaman 4
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes