Pdt Dr Mery Kolimon |
Demikian Ketua MSH GMIT periode 2015-2019, Pdt.Dr.Mery Kolimon, saat ditemui di ruang Direktur Pasca Sarjana Universitas Kristen Artha Wacana (UKAW) Kupang, Jumat (8/1/2016).
Pada Minggu (10/1/2016) sore berlangsung acara serah terima kepengurusan Majelis Sionde (MS) Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dari pengurus lama kepada pengurus MS GMIT masa bakti 2015-2019 di Gereja Koinonia, Kuanino Kupang.
Mery menyatakan, kepemimpinan MSH GMIT periode ini tidak sekadar kepemimpinan perempuan. Dari sembilan orang yang terpilih, lima orang full time, di mana empat orang perempuan, kecuali sekretaris. Keberadan perempuan dalam pengurus ini adalah tantangan, apakah kepemimpinan perempuan akan lebih baik
Menurut dia, ciri khas kepemimpinan feminis adalah merangkul semua dan karakater partisipatif. Hal ini sejalan dengan kepemimpinan presbitarian sinodal, bahwa keputusan tidak hanya berada pada tangan seorang ketua. Fungsi ketua memoderatori percakapan dan pengambilan keputusan bersama.
"Sebagai pemimpin perempuan dan pemimpin feminis, saya mau itu terjadi dengan membuka ruang bagi partisipasi jemaat. Gereja ini milik semua warga GMIT, karena itu proses pengambilan keputusan tidak sepihak oleh orang tertentu atau kelompok tertentu dan kelompok elit. Tetapi ada proses partisipatif, di mana suara jemaat melalui presbiter atau para wakil yang hadir dalam sidang," ujar Mery.
Menurut Direktur Pasca Sarjana UKAW Kupang ini, kepemimpinan perempuan yang dominan dalam MSH GMIT periode ini harus berhati-hati, sehingga tidak menjadi ketidakadilan yang lain.
"Kalau kita mengeluh selalu laki-laki yang memimpin dan perempuan termarginal, maka jangan sampai itu terjadi dengan banyaknya perempuan dalam memimpin, lalu kawan laki-laki merasa bahwa mereka disisihkan. Kita harus memastikan bahwa kita omong keadilan dan kesetaraan gender, memberikan ruang yang sama bagi perempuan dan laki- laki untuk mengambil bagian dalam kepemimpinan. Juga mengambil bagian dalam pelayanan untuk bersama memberi terbaik bagi gereja dan bangsa," tegas Mery.
Ia mengatakan, setelah serah terima akan buat peta GMIT dan membagi tugas semua klasis dikunjungi, karena MS harus hadir bersama jemaat, terutama dalam kesulitn mereka, MS hadir untuk memperkuat jemaat karena jemaat adalah basis pelayanan.
"Saya membayangkan kami membuat peta GMIT dan membagi tugas diantara kami sembilan supaya seluruh teritori, seluruh basis bisa dikunjungi sehingga tidak ada yang merasa bahwa tidak diperhatikan," katanya.
Namun saat turun ke klasis, tegas Merry, tidak hanya untuk acara seremonial, tapi mengajak jemaat belajar bersama mengenai produk sinodal dan bagaimana memberikan tanggapan terhadap situasi konkret yang terjadi di masyarakat. Misalnya, isu kekeringan, isu perdagangan orang dan gizi buruk.
Atasi Kekeringan
MS GMIT sepakat pada Januari 2016 ini akan mengevaluasi dan mempersiapkan program pelayanan tahun 2016. Hal pertama yang akan dibuat adalah membaca Haluan Kebijaksan Umum Pelayanan (HKUP) periode 2015-2019 yang diputuskan dalam sidang raya sinode di Rote Ndao bulan Oktober tahun lalu.
"Kami tidak melaksanakan yang di luar dari HKUP,meskipun begitu tugas kami menafsirkanya agar bisa menjawab kebutuhan yang konstektual di GMIT sekarang ini. Hal yang mendesak adalah di NTT termasuk jemaat GMIT bergumul dengan ancaman El Nino yang sangat serius," kata Mery.
Pada bulan Januari ini harusnya jagung petani dan tanaman lain di kebun sudah tumbuh besar dan persiapan untuk panen. Masalah kekeringan ini, demikian Mery. menjadi perhatian serius GMIT, dan gereja harus berpikir apa yang harus dibuat.
Menurutnya, ancaman El Nino akan mengakibatkan semakin rentannya masyarakat, termasuk jemaat terhadap praktik tenaga kerja ilegal, perdagangan orang.
"Ini harus menjadi perhatian serius gereja. Kita harus berdoa sungguh-sungguh, tapi saya rasa doa saja tidak cukup. Kita harus mencari hikmat bersama supaya memberikan tanggapan apa yang harus kita lakukan bersama sehingga kalau hujan turun apa yang harus kita buat. Misalnya, menggali kembali kearifan lokal masyarakat untuk kembangkan jenis tanaman pangan yang bisa bertahan dalam perubahan musim seperti sekarang ini," kata Mery.
Ia mengatakan, hikmat kearifan lokal perlu dimanfaatkan oleh gereja untuk ketahanan pangan masyarakat. "Saya lihat isu yang mendesak adalah gereja harus menjadi bagian dalam upaya membangun ketahanan pangan masyarakat dan memastikan bahwa ada dampak kekeringan ini. Kita bahu membahu mencari jalan agar tidak terlalu banyak korban. Kerja sama dengan pemerintah, LSM, media dan semua pihak yang berniat baik untuk kebaikan masyarakat dan kebaikan alam di NTT, di Sumbawa dan Batam (wilayah pelayanan GMIT)," katanya.
MS GMIT juga berpikir harus ada perhatian serius tekait kekeringan tentang bagaimana jemaat dan gereja mengelola air dengan membuat jebakan air di lingkungan jemaat, di klasis dan di lingkungan gedung gereja, serta kebun warga jemaat.
Mengenai bidang ekonomi, Mery mengatakan, peranan gereja dalam bidang ekonomi untuk mengadvokasi ekonomi rakyat. Tujuannya, agar jemaat mampu terlibat dalam globalisasi dan tidak menjadi korban, bagaimana memberdayakan jemaat. Misalnya, jemaat di Alor yang mengembangkan Kopdit Citra Hidup Tribuana.
Menurut dia, berhadapan dengan globalisasi yang sangat menenkankan pada jaringan, maka upaya ekonomi jemaat sangat rentan kalau dilakukan secara individu. Karena itu, gereja harus ada di bagian depan untuk mendampingi jemaat dalam mengembangkan koperasi yang berasal dari oleh dan untuk jemaat
Pada prinsipnya, kata Mery, ekonomi gereja adalah ekonomi kehidupan, ekonomi yang memberdayakan. Prinsip ini harus dipegang gereja saat mengembangkan ekonomi.
Gereja tidak boleh mengambil keuntungan berlebihan dari penderitaan jemaat. "Saya kira itu prinsip yang harus diperjuangkan melalui pelaynan gereja. Gereja melalui pengembangan eknomi harus menjadi berkat bagi NTT, harus menjadi tanda sejahtera, jangan sampai gereja berdiri megah di tengah penderitaan rakyat NTT," tegas Mery.
Mery juga menyatakan, gereja harus mandiri dari aspek dana, daya dan kemandirian teologi. Dan, ketika gereja menggadaikan kemandirannya di bidang dana, maka pada saat yang sama gereja bisa menggadaikan kemandirian bidang teologinya.
Mery menyatakan, prinsip hidup hemat dan sederhana harus ditanamkan kepada jemaat. "Ini juga harus menjadi prinsip hidup para pendeta, dan prinsip penataan pelayanan. Jangan sampai kita menampilkan kehidupan gereja yang mewah di tengah penderitaan masyarakat. Jadilah gereja yang hemat dalam pengelolaan keuangan dari persembahan jemaat," tegas Mery. (ira)
Sumber: Pos Kupang 10 Januari 2016 hal 1