ilustrasi |
SAMPAI kapanpun, Riby Cesia (26), wanita pria (waria) asal Kota Maumere, Kabupaten Sikka, tak akan bisa melupakan kisah tragis yang yang dialaminya. Riby Nyaris mati ditebas parang oleh kakaknya karena melihatnya mengenakan busana perempuan.
"Hari itu saya ketahuan mengenakan pakaian wanita sehingga kakak saya marah. Saya dikejar dengan parang lalu rambut saya digunting. Keluarga memaksa saya kembali jadi laki-aki, tapi saya tidak bisa," tutur Riby, bungsu dari dua bersaudara di Kupang, Minggu (14/2/2016) malam.
Untunglah Riby melarikan diri dan bersembunyi di rumah tetangga. "Kalau malam itu saya tidak sembunyi, pasti saya sudah mati dipotong oleh kakak," ujar Riby, didampingi pasangan prianya, Dodi (21). Riby mengaku tak ambil pusing dengan ancaman keluarganya itu dan dia tetap memilih menjadi waria. "Saya pasrah, mau dipukul, mau dibunuh, saya tetap jadi waria. Saya tidak bisa mencintai perempuan, saya lebih tertarik dengan laki laki. Syukurlah sekarang keluarga dan orangtua sudah menerima saya sebagai waria," kata pemilik Riby Salon, di Kelurahan Madawat, Maumere.
Riby bersyukur karena sudah tiga tahun dia menjalani hidup dengan pria bernama, Dodi. Ia mencintai Riby dan tidak melihat Riby itu sebagai waria. "Saya sayang dan cinta Riby. Dia baik dan kami saling mendukung. Saya tidak peduli Riby itu waria atau bukan waria, karena saya mencintai seseorang bukan melihat jenis kelaminnya," tutur Dodi.
Kekerasan fisik juga dialami waria Olga Sabrina Endang Endong de Kolag, tahun 1990- an di Jakarta. Setiap malam, Olga mengekspresikan diri sebagai waria dan mejeng bersama teman warianya di Cipinang. "Saat dini hari pulang mejeng dengan pakaian dan dandanan perempuan, kakak laki-laki sudah tunggu di depan rumah. Saya dipukul habis- habisan dengan tripleks sampai tripleks terbelah jadi empat. Beberapa wig, BH, sepatu heels high saya dibakar pakai minyak tanah," kenang Olga, Ketua Perkumpulan Waria Kabupaten Sikka (Perwakas), Senin (15/2/2016) malam.
Olga tetap memilih menjadi waria dan keluar dari rumah, kost dan mencari pekerjaan untuk biayai hidupnya. Dari menjadi penjaga bunga di perusahaan Mitra Tani Mandiri Jakarta, bekerja di sejumlah salon dan akhirnya pulang ke Maumere tahun 2000-an untuk membuka Olga Salon hingga saat ini. Olga mengaku, menikmati hidupnya sebagai waria meski tidak memiliki pacar tetap. Seringkali keluarga memintanya untuk menikahi perempuan. "Kalau diminta menikah dengan perempuan, saya bilang bahwa saya sudah bahagia hidup seperti sekarang ini. Saya juga bahagia sudah bisa membahagiakan keluarga dan almarhumah Mama saya," kata Olga, yang memiliki adik bernama Vera Gaya Trie, yang juga seorang waria itu.
Olga mengatakan, waria adalah pilihan hidupnya dan ia akan terus menjalaninya hingga ajal menjemputnya. "Saya sudah bosan dan kebal mendengar caci maki, dipukul, diejek, saya tidak peduli lagi. Kita semua punya sisi baik dan buruk. Mau bilang berdosa, semua orang berdosa, sehingga jangan menuduh waria paling berdosa," kata Olga.
Lain lagi cerita Santi Dewi, yang merantau ke Merauke dan pulang ke Maumere tahun 1996. Dewi mengaku sejak kecil sudah merasa ada yang berbeda dalam dirinya karena dia lebih menyukai pria ketimbang perempuan. Saat umurnya 20-an tahun, Dewi diajari berdandan dan mengenakan busana perempuan oleh Nurul.
Ketika suatu saat Dewi pergi ke pesta mengenakan busana wanita dan berdandan, saudara laki-lakinya datang ke tempat pesta sambil membawa balok. "Di depan tenda pesta saya dipukul pakai balok oleh kakak saya. Semua lihat dan saya malu sekali. Saya lari dari rumah, saya kost dan bekerja sebagai tukang cuci pakaian dengan gaji hanya Rp 35.000 per bulan per pelanggan. Saya cuci pakaian di banyak orang agar bisa mendapat ratusan ribu meski capainya bukan main," tutur Dewi.
Lalu Dewi yang pendidikannya tidak memadai itu bekerja di Sinta Pub membantu Aci Moi di dapur. "Saya belajar memasak dan jadi tukang masak lalu bekerja di beberapa rumah makan. Tapi sekarang tidak kerja lagi," kata Dewi.
Dewi menunggu panggilan memasak dari rumah yang akan mengadakan acara. Namun biayanya tidak besar. "Kalau saya ada peralatan masak yang memadai pasti uang yang saya dapat lebih banyak," kata Dewi, bungsu dari enam bersaudara ini. Ia sudah menjalani kehidupan bersama seorang pria sejak tujuh tahun lalu.
Ridho, seorang gay, mengaku selama bertahun-tahun berupaya menyembunyikan identitasnya pada keluarganya. Namun karena banyak omongan di luar sehingga keluarga besarnya berkumpul dan memanggilnya untuk mengklarifikasikan informasi tersebut.
Saat itu, tutur Ridho, ia mengaku seorang gay dan dia siap menanggung risiko. "Saya bilang jika keluarga mau usir, mau hapus nama marga pada nama saya, saya akan terima. Saat itu mama bilang, apapun keadaan Lu (kamu). Lu tetap beta (saya) pung (punya) anak. Keluarga tidak terima lu, beta akan terima karena beta adalah mama kandungmu," kata Ketua Komunitas Independen Man of Flobamora (Imof) Kupang ini.
Pengakuan Ridho dihargai orangtua dan keluarganya dengan catatan Ridho tidak boleh membuat masalah lain yang bisa menyulitkan dirinya dan keluarga. Ridho mengatakan, untuk menyakinkan orientasi seksualnya itu, ia pernah berpacaran dengan beberapa orang perempuan, namun dia tidak memiliki rasa sayang dan cinta terhadap perempuan. "Saya lebih mencintai laki-laki dan orientasi seks saya seperti itu sudah ada sejak saya duduk di bangku SMP. Akhirnya saya yakin bahwa saya adalah gay," kata Ridho yang sudah lima tahun membina hubungan dengan seorang pria di luar NTT.
Ridho berharap agar masyarakat bisa menerima keberadaan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) dan tidak melakukan diskrimiasi serta tindak kekerasan terhadap LGBT karena LGBT juga manusia yang juga punya hak dan kewajiban yang sama dengan manusia lain.
Tidak Nyaman dengan Laki-laki
Tidak sedikit kaum Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) yang coba membuka diri untuk mencintai lawan jenisnya, namun tak berhasil. Sejumlah lesbian (perempuan yang tertarik secara emosional dan seksual dengan perempuan) dan Gay (laki-laki yang tertarik secara emosional dan seksual dengan laki-laki) mengaku pernah mencoba namun tak berhasil.
Charly (29), lesbian yang berprofesi sebagai dosen di salah satu Perguruan Tinggi di Kupang, NTT, misalnya. Charly mengaku pertama kali punya rasa suka dengan sesama jenis saat kelas 3 SD. "Saya selalu cemburu jika ada teman perempuan saya yang didekati oleh teman laki - laki. Saat itu saya tidak tahu kenapa saya punya perasaan seperti itu," tutur Charly yang sudah lima tahun berhubungan dengan perempuan.
Beranjak remaja, Charly merasa kekuatan perasaannya terhadap sesama jenis. Dia mulai mencari tahu mengaa memiliki perasaan seperti itu. "Dari buku-buku saya akhirnya tahu kalau perasaan saya itu mengindikasikan bahwa saya adalah lesbian, penyuka sesama jenis. Saya bingung dan juga merasa tidak tahu harus bagaimana," ujar Charly.
Dia mulai mengekspresikan rasanya itu dengan sejumlah teman perempuannya saat di bangku SMP dan SMA. Charly mulai berani mengungkapkan rasa sukanya dan berpacaran dengan perempuan. Namun, selama menjalani hubungan sesama jenis, Charly masih berusaha menyakinkan pilihan orientasi seksualnya dengan cara membuka diri dan berpacaran dengan laki-laki. Bahkan, secara bersamaan Charly pernah berpacaran dengan laki-laki dan perempuan, namun tidak berjalan baik.
"Sekitar tiga kali saya pacaran dengan laki-laki. Tapi saya tidak bisa menipu rasa cinta di hati. Saya tidak nyaman dengan laki-laki, sehingga saya minta putus dan berpacaran dengan perempuan hingga saat ini," tutur Charly.
Hingga kini Charly masih menyembunyikan orientasi seksualnya kepada keluarga dan masyarakat karena belum yakin keberadaannya diterima. Charly berpesan agar teman-teman lesbian khususnya dan LGBT umumnya, bisa lebih cerdas saat menjalani kehidupan sebagai LGBT apalagi memilih kekasih. "Jangan mudah tergoda dengan seseorang yang mengaku sayang atau cinta. Karena tidak sedikit orang yang hanya memanfaatkan kaum LGBT untuk kepentingan sesaat dan menarik keuntungan dari hubungan itu," katanya.
Charly mengaku kini merasa jauh lebih nyaman karena sudah tahu dan yakin dirinya lesbian. "Orangtua saya belum mengetahui kondisi saya. Suatu saat nanti saya akan memberitahu mereka," kata Charly. Ia berharap agar ke depan pemerintah bisa menerima dan mengakui keberadaan LGBT. Charly juga berharap ada lembaga yang siap membantu kaum LGBT jika mengalami kekerasan fisik dan psikis.
"Teman lesbian saya banyak mengalami kekerasan karena dipaksa menikah dengan laki- laki. Selama hidupnya, mereka merasa diperkosa oleh suaminya karena mereka tidak mencintai laki-laki. Di manakah kaum lesbian dan LGBT bisa mendapat perlindungan agar tidak mengalami diskriminasi dan kekerasan," kata Charly.
Cerita lain disampaikan Zamantha Karen, wanita pria (waria) kelahiran 16 November 1985. Karen mengaku sudah menyukai permainan dan melakoni peran-peran anak perempuan sejak kecil. "Sejak kecil saya lebih suka bermain boneka ketimbang mobil-mobilan. Saat melewati masa purbertas, saya lebih deg-degan jika melihat anak cowok ketimbang melihat anak perempuan yang cantik. Dan akhirnya saya tahu bawa saya tidak punya ketertarikan terhadap perempuan, tapi dengan laki-laki," tutur Karen.
Karen mulai make up dan mengenakan busana perempuan sejak duduk di SMA tahun 2.000, meski masih sembunyi-sembunyi. Barulah tahun 2007, Karen berani tampil mengikuti ajang Top Model Waria dan menjadi pemenang.
"Saya mendapat juara 1 Top Model Waria dan wartawan mewawancarai saya. Foto saya panjang di media. Mama tahu dan beberapa hari kemudian saya dipanggil dan duduk di depan keluarga. Ada mama, papa dan saudara laki-laki saya," kenang Karen.
Malam itu, sambil menangis Karen jujur mengakui bahwa dia lebih suka menjadi perempuan ketimbang menjadi seorang pria. Hingga kini Karen enggan melakukan terapi hormon esterogen sebagaimana yang dilakukan waria lain.
Bagi Karen, untuk menjadi seorang perempuan tidak perlu memiliki anggota tubuh seperti perempuan. "Tak harus memiliki sepasang payudara atau operasi kelamin untuk menjadi seorang perempuan. Cukup perasaan dan tingkah laku seperti perempuan, bagi saya itu sudah cukup," ujarnya.
Terkait pernikahan sesama jenis, Karen mengatakan, para LGBT di Kupang atau Indonesia, tak perlu bermimpi untuk menikahi pasangannya. Karena pernikahan sesama jenis belum bisa diterima di Indonesia, meskipun ada yang diam-diam melakukannya.
"Saya tidak punya mimpi yang muluk. Saya hanya ingin bisa berguna bagi keluarga dan daerah ini. Dan saya punya harapan, agar hubungan saya dengan seorang pria yang sudah berjalan sekitar tiga tahun ini tetap langgeng meski kami tak bisa menikah," kata Karen.
(novemy leo)
Sumber: Pos Kupang 19 dan 20 Februari 2016 hal 1