Situasi ini membuat Kepala Desa Oben, Yabes Abzena merasa khawatir karena warga tiga kecamatan, yaitu Amarasi Barat, Nekamese dan Taebenu bakal terisolasi. Kerusakan infratruktur jalan di Kabupaten Kupang tidak hanya di terjadi kawasan Ikan Foti.
Menurut catatan Tagana Provinsi NTT, deker penghubung jalan arah Tablolong, tepatnya di Desa Oetmanunu juga nyaris putus. Di Sikka terjadi abrasi, longsoran terjadi di Manggarai, Ende dan Lembata.
Hujan dengan curah lumayan tinggi pun melahirkan banjir yang menyebabkan tiga warga NTT meninggal dunia dalam bulan Januari ini. Di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), sembilan kepala keluarga (KK) atau 36 orang warga Desa Menu, Kecamatan Nunkolo mengungsi ke rumah tetangga pascabanjir yang menerjang rumah mereka pada Senin (22/1/2018).
Camat Nunkolo, David Kase mengatakan, banjir itu terjadi di RT 07 Dusun 3 Desa Nunkolo. Banjir itu berdampak pada 25 KK atau 98 jiwa dan 52 anak di Desa Menu, namun hanya sembilan KK yang mengungsi ke sejumlah rumah tetangga.
Kita tidak terkejut mendapat warta semacam ini. Wilayah Nusa Tenggara Timur sejak dulu memang langganan bencana pada awal tahun. Cuaca ekstrem belakangan ini menambah frekwensi bencana alam di bumi Flobamora. Paling sering itu tanah longsor, banjir, jalan putus, jembatan ambruk, kapal tenggelam dan sebagainya.
Siaga bencana selalu diserukan kendati yang kerap terjadi dalam praktik adalah bencana dulu baru bergerak untuk membantu. Jatuh korban baru berusaha meringankan penderitaan. Masih minim antisipasi dini guna menekan sekecil mungkin korban bencana baik korban fisik maupun jiwa manusia.
Lalu apa jalan terbaik? Kita harus terus mendorong partisipasi aktif masyarakat melindungi diri dan lingkungannya. Siaga bencana itu bukan cuma domain pemerintah atau birokrasi pemerintahan tetapi yang terutama kesadaran masyarakat sendiri mengantisipasi segala kemungkinan terburuk yang bisa mengancam hidup mereka. Inti dari mitigasi bencana adalah partisipasi aktif masyarakat membentengi diri.
Sudah saatnya masyarakat jauhkan pandangan bahwa pemerintah merupakan harapan satu-satunya yang bisa membantu di kala musibah. Sumber daya pemerintah pun terbatas. Tak mungkin sanggup memenuhi semua kebutuhan apalagi yang sifatnya tidak terduga seperti bencana alam. Komunitas masyarakat terkecil pun bisa melakukan hal-hal positif.
Sebut misalnya bikin peta rawan bencana di wilayahnya, tanam pohon guna mencegah erosi, bangun rumah tahan gempa dan aksi-aksi lainnya yang bisa mengurangi dampak risiko bencana. Artinya siaga saja tidak cukup. Harus ada aksi nyata mencegah jatuhnya korban! *
Sumber: Pos Kupang 25 Januari 2018 hal 4