Kearifan dari Susur Sungai



ilustrasi
SAYA selalu bersyukur sampai kapan pun karena menghabiskan masa kecil yang indah di bibir dua sungai, Lowo Ria dan Lowo Tulu.

Tentu nama itu senyap bagi sebagian orang termasuk mereka yang mendiami wilayah Kabupaten Ende di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

Dua sungai cilik itu mengapit Kampung Mulawatu, desa Fatamari, Kecamatan Lio Timur, Kabupaten Ende.

Watuneso adalah ibu kota kecamatan Lio Timur sehingga teman sekampungku kerap bangga menyebut diri sebagai anak Wanes--akronim Watuneso.

Lowo Ria merupakan induk sungai yang mempertemukan tirta dari sejumlah anak sungai termasuk Lowo Tulu.



Daerah Aliran Sungai (DAS) ini membentang kira-kira 16 kilometer dari pegunungan Ndura Nenda sampai pantai selatan Pulau Flores.

Airnya menghidupi mereka yang menghuni Kampung Wolonio, Mulawatu, Detuweru, Deturau, Aemalu, Watureajawa, Alo, Ngebondana, Puujita, Watuneso, Kolijana hingga Ase.

Lowo Ria dan Lowo Tulu menjadikan Kampung Mulawatu elok nian berhiaskan kelokan sungai yang mengalir sampai jauh hingga bermuara di Lia Tola, pantai selatan Flores yang ombaknya doyan bergemuruh riuh.

Letak muara Lowo Ria hanya selemparan batu dari Pantai Koka yang tersohor itu.

Hidup dalam lingkungan sungai membuat masa bocahku karib dengan hal yang boleh dan tidak boleh.

Sungai memiliki kearifan tersendiri, kata ayahku.

Ada seperangkat nilai yang mesti dijunjung agar sungai sungguh menjadi tirta amarta (air kehidupan) bukan sumber malapetaka.

Ayahku Thomas Bata (1933-2002) dan Ibuku Theresia Masi (1943-2011) merupakan dua tokoh utama yang sejak dini menanamkan nilai hakiki kepada kami anak-anaknya berenam mengenai seni hidup berdamai dengan sungai.

Sungai rawit sekalipun tak boleh dipandang remeh dan mendapat perlakuan semena-mena.

Musim hujan selalu kami rindukan ketika terik kemarau kelewat lama membakar bumi Nusa Nipa – nama manis Flores.

Tapi serentak pula musim itu meningkatkan sinyal kewaspadaan mengingat sisi ancamannya.

Orangtua kami acapkali mengingatkan bahaya sungai saat musim hujan tiba.

Sekalipun langit tampak cerah, tataplah dulu ke pegunungan Ndura.

Kalau wajah gunung yang empunya sumber mata air itu murung, maka jauhilah sungai.

Jangan bermain di sana apalagi nekat susur sungai seperti siswa-siswi SMP Negeri 1 Turi, Sleman Yogyakarta karena sesewaktu bisa tersapu banjir yang tiba-tiba datang lantaran hujan di hulu.

Musim hujan bukan saat yang tepat bagi anak-anak bersukaria sesukanya di bibir sungai.

Kalau hendak ke sungai, misalnya untuk memancing belut, cuci pakaian atau mandi, mesti ditemani orang dewasa atau orang tua agar anak-anak tidak takabur.

Pesan ayah ibu serta orang tua di kampung kami merujuk pada pengalaman pahit. Lowo Ria sudah menelan korban jiwa tak sedikit di masa lalu.

Leluhur kami cerdas dan bijak. Agar penerusnya selalu mengenang peristiwa kelam itu, mereka abadikan nama korban pada tempat kejadian.

Maka di sepanjang aliran Sungai Lowo Ria ada nama Tiwu Sana, Tiwu Bela, Tiwu Molu Ola, Tiwu Molu Suka dan nama-nama lainnya.

Tiwu Sana artinya kolam tempat Sana dari nama Susana yang meninggal dunia terseret sungai Lowo Ria. Tiwu Bela berarti kolam tempat Bela meninggal dunia.

Demikian pula Tiwu Molu Ola dan seterusnya.

Sampai detik ini selalu tertanam kuat di benak anak-anak Mulawatu dan kampung sekitarnya di daerah Wanes bahwa di tempat itu pernah jatuh korban jiwa sehingga mereka selalu awas, mengingat baik apa yang boleh dan tidak boleh saat berada di sungai.

Sejujurnya ini merupakan pengetahuan dasar agar kami hidup aman di sepanjang aliran sungai.

Bahasa kerennya mitigasi kebencanaan sungai.

Cara klasik tradisional tapi pesannya masuk ke otak dan hati lalu menjadi aksi konkret.

Itulah sebabnya kami yang berasal dari Wanes dan tentu siapapun yang hidup di bibir sungai umumnya lebih waspada terhadap kemungkinan musibah terseret atau tenggelam di sungai.

Kakakku nomor dua, Heri Bata, kini guru SMAK Syuradikara Ende, punya modal mitigasi apik saat mengabdi lebih dari lima tahun sebagai guru di sebuah kecamatan di pinggir Sungai Mahakam, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.

Rupa-rupa Cara

Rupa-rupa cara orangtua di kampung kami mewariskan kearifan tentang sungai.

Mandi pun ada tata kramanya. Cara, waktu dan tempat harus tepat. Tidak boleh serampangan.

Tempat mandi terbaik di sungai adalah kolam, sebuah ceruk air yang tenang.

Bukan jeram! Anak-anak lazimnya tergoda untuk langsung cebur ke dalam kolam. Itu sangat tidak dianjurkan karena bisa kram kaki, tak sanggup berenang lalu tenggelam.

Sudah banyak kejadian demikian.

Orangtua mengajarkan kami, basahkan tubuhmu pelan-pelan mulai dari kaki, paha, pinggang, bagian perut dan selanjutnya hingga kepala.

Artinya ada proses penyesuaian suhu badan dengan air.

Setelah sekujur tubuh aman silakan berenang sepuas hati menikmati bening dan segarnya
kolam sungai.

Mandi siang bolong itu pemali. Orangtua di kampung kami acap menakut-nakuti anak dengan mengatakan kuntilanak suka jalan-jalan di sungai pada siang bolong.

Pesan moralnya adalah mandi di sungai mesti tepat waktu.

Saat terbaik pagi atau sore hari. Mandi tengah hari tak cukup baik bagi kesehatan.

Ratusan anak terkasih di Sleman diminta pembina Pramuka susur sungai
siang bolong, musim hujan pula. Air bah datang, sepuluh anak meninggal dunia.

Tidak adakah kearifan lokal di sana? Saya kok yakin ada, hanya si pembina abai dan remeh memandangnya. Kecerobohan yang mengalirkan air mata lara.

Arung sungai saat musim hujan butuh trik tersendiri. Waktu kecil saya kerap diajak sang ayah bepergian.

Ayahku, guru SD di kampung Wolonio, piawai dan hobi menunggang kuda. Kalau ada urusan di Watuneso, dia akan berkuda sejauh kurang lebih 16 km pergi pulang.

Kala itu belum ada jalan raya beraspal mulus. Kendaraan roda dua pun tergolong barang mewah.

Perjalanan dari Mulawatu ke Watuneso menyusur pinggir sungai Lowo Ria.

Empat sampai lima kali harus menyeberang kali yang sama. Salah satu titik paling menantang saat banjir adalah lokasi bernama Welalako.

Nah, saat melewati tempat itu ayahku akan mengetes dulu seberapa besar kekuatan arus air.

Dia akan perintahkan kuda putihnya masuk lebih dulu ke sungai sendirian.

Kalau si Putih tidak goyah langkah kakinya, itu pertanda arus sungai relatif aman diarungi.

Jika sebaliknya yang ditandai pula oleh ringkik nyaring si Putih, maka harus sabar menanti sampai banjir surut.

Cukup sering kami bermalam di kampung tetangga karena tidak bisa menyeberang ke Mulawatu saat itu juga.

Sungai butuh perlakuan adil. Keseimbangan ekosistemnya mesti terjaga agar dia terus memberi manfaat bagi manusia.

Tetua adat di kampung kami membatasi eksploitasi sumber daya sungai.

Tidak boleh potong pohon di dekat sumber mata air. Bahkan mencari udang, belut, ikan dan kepiting tidak sembarangan waktu.

Harus puasa 3-6 bulan baru boleh mencari lagi di lokasi yang sama.

Tetua kampung mengawal sungguh larangan itu. Yang melanggar dapat sanksi adat.

Mereka menyadari eksploitasi sungai sepanjang waktu akan melahirkan bencana.

Beri sungai waktu untuk pemulihan, menarik napas sejenak sehingga tercipta keseimbangan lagi.

Sungai mengajarkan manusia agar tidak serakah.

Hari-hari ini perlakuan kita terhadap sungai kejam nian. Sungai menampung sampah, limbah industri, kotoran hewan dan manusia. Sungai jadi tempat buangan orok hasil cinta semalam.

Kalau sekarang banjir di mana-mana, jangan salahkan siapa-siapa. Siapa suruh dikau berlaku curang terhadap sungaimu.

Natur alur sungai terawat akan selalu bergemuruh mengalun indah. Gemiriciknya menarik rindu, memendam romansa nostalgia.

Dawai bunyi batunya yang saling berbenturan syahdu di telinga.

Sungai mendambakan cinta kita.  (dion db putra)

Sumber: Tribun Bali
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes