* Ziarah bersama Jakob Oetama-Frans Seda (4)
BIARA Pertapaan (Trappist) Lamanabi, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (Flotim). Itulah tujuan ziarah kami hari Sabtu (29/10). Hari itu rombongan terbagi dua. Karena suatu urusan, Jakob Oetama lebih dahulu ke Denpasar bersama Rikard Bagun, Julius Pour dan August Parengkuan dan bermalam di Pulau Dewata itu.
Sedangkan Frans Seda berziarah ke Lamanabi bersama St. Sularto, Petrus Waroruntu dan Wandi S Brata. Belakangan, Petrus Waworuntu memilih berziarah ke kota Reinha Larantuka dengan mobil. Sejak Jumat (28/10) malam, kami sudah diingatkan Manajer Flores Sao Resort (FSR), Heribertus Ajo bahwa perjalanan ke Tanjung Bunga dengan kapal berkapasitas 8-10 orang itu mulai pukul 06.00 Wita. "Jangan lupa besok bangun pagi-pagi ya," katanya malam itu.
Pukul 05.00 kamar kami sudah digedor staf FRS. Mata sebenarnya masih terasa berat karena tidur belum genap tiga jam. Frans Seda? Aih, orang tua itu sudah di Pantai Waiara pukul 06.00. Di sana sudah ada St. Sularto, Wandi S Brata dan Heri Ajo. Kapal pun sudah siap. Tergopoh-gopohlah saya, Philip Gobang dan Heri S Soba (wartawan Pembaruan yang kebetulan sedang cuti di Maumere). Kami berlari-lari kecil menuju pantai. Saya bahkan orang paling akhir berkumpul karena "curi waktu" sekejap untuk minum kopi. Khawatir kepala pening dalam perjalanan ke Lamanabi.
Sekitar pukul 06.45 kami meninggalkan Pantai Waiara. Kapal itu membawa delapan orang--termasuk dua ABK. Kami dikawal speed boat kecil berkapasitas dua penumpang. Pagi yang cerah. Perjalanan terasa nikmat. Sudah terbayang di depan mata Tanjung Bunga-Lamanabi karena perjalanan dengan kapal mesin ganda dengan masing-masing berkekuatan 150 PK itu hanya sekitar dua jam.
Tiga puluh menit kemudian drama itu datang. Satu mesin kapal tiba- tiba mati. "Solar banjir," kata sang kapten asal Lembata, Om Nikolaus Nara. Heri Ajo ambil-alih kemudi. Om Niko mengutak-atik mesin. Sepuluh menit berlalu. Mesin hidup tapi mati lagi. Gantian Heri menghadap mesin, Niko pegang kemudi. Kapal tetap melaju walau perlahan karena satu mesin tetap berfungsi dengan baik.
"Jalan terus saja. Tidak apa-apa," kata Frans Seda sambil bercerita tentang keindahan alam bawah laut Maumere, pantai pasir putih Pulau Besar serta sisi lain Pulau Babi kepada St. Sularto dan Wandi S Brata. Penerima Bintang Mahaputra Adipradana dari pemerintah RI itu terkesan cuek. Seolah tak ada masalah. Philip Gobang berbisik pelan ke telinga saya, "Orang tua ini pintar mengalihkan perhatian, biar kita tidak memikirkan mesin kapal mati. He..he.."
Heri dan Niko tetap bolak-balik mengurusi mesin itu tapi tak kunjung berhasil. "Heri, coba kontak speed boat pengawal kita. Mana mereka? Pengawal tidak boleh jauh-jauh. Panggil mereka biar kita pakai kapal kecil itu saja," kata Frans Seda. Wah?
Heri Ajo mengambil radio (HT) menghubungi dua pengawal. Mereka tidak bisa dikontak. Heri melambaikan tangan sambil memberi tanda agar kembali. Tak ada tanda-tanda mereka mengurangi kecepatan atau mendekati kami. Malah semakin melaju. Dalam sekejap hilang dari pandangan kami. Celaka duabelas!
"Tidak apa-apa. Terus. Jalan terus," kata Frans Seda seraya bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju kemudi. "Niko, kau urus mesin, biar saya yang bawa," katanya sambil tertawa tanpa beban. Wakil Pemimpin Umum Kompas, St. Sularto dan Wandi S Brata terbahak-bahak.
Pak Sularto menyodorkan kamera. "Mas Dion tolong ambil ya," katanya. Momen indah. Mantan Menteri Perhubungan RI berusia 79 tahun jadi kapten kapal. Kami lupa arus laut mulai menguat. Tak sadar hampir satu setengah jam berlayar. Posisi kapal sudah sejajar dengan Pulau Besar dan kurang 1 mil laut di depan Pulau Babi. Akhirnya, Heri Ajo membuat keputusan bijak. "Bapa, kita tidak bisa teruskan perjalanan. Kita turun di teluk Wair Terang saja," katanya. "Tapi kita harus tetap ke Lamanabi," kata Frans Seda.
Syukurlah. Sinyal HP masih ada. Heri menghubungi stafnya di Sao Wisata. Minta mereka menyiapkan dua mobil dan segera meluncur ke Wair Terang. Kami pun menuju ke sana. Kemudi tetap di tangan Frans Seda. Perasaan kami lega. Keputusan Heri Ajo yang memahami dengan baik lintasan Waiara-Tanjung Bunga itu paling tepat -- mengingat setelah Pulau Babi akan sulit mencari daratan terdekat jika terjadi apa-apa dengan mesin kapal yang satunya lagi.
Namun, drama hari Sabtu itu belum berakhir. Kegundahan melanda Gervasius Seda dan kawan-kawannya di ujung Nusa Bunga. Demi menjemput kami yang diperkirakan tiba sekitar pukul 08.00 Wita, keponakan Frans Seda itu lebih dulu meluncur ke Larantuka pada Jumat (28/10) malam dan pagi-pagi sekali menuju Tanjung Bunga. Tapi ia menanti kapal yang tak pernah datang. Menunggu sambil menahan lapar dan dahaga lebih dari 13 jam! Menanti dalam ketidakpastian di pinggir pantai yang sepi, tanpa telepon tanpa Handy Talkie (HT). Muncul sudah perasaan beragam, terbersit niat menghubungi tim SAR di Larantuka. (dion db putra/bersambung). Pos Kupang, Jumat 11 November 2005
Dipublikasikan SKH Pos Kupang secara serial pada tanggal 8-12 November 2005.
BIARA Pertapaan (Trappist) Lamanabi, Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur (Flotim). Itulah tujuan ziarah kami hari Sabtu (29/10). Hari itu rombongan terbagi dua. Karena suatu urusan, Jakob Oetama lebih dahulu ke Denpasar bersama Rikard Bagun, Julius Pour dan August Parengkuan dan bermalam di Pulau Dewata itu.
Sedangkan Frans Seda berziarah ke Lamanabi bersama St. Sularto, Petrus Waroruntu dan Wandi S Brata. Belakangan, Petrus Waworuntu memilih berziarah ke kota Reinha Larantuka dengan mobil. Sejak Jumat (28/10) malam, kami sudah diingatkan Manajer Flores Sao Resort (FSR), Heribertus Ajo bahwa perjalanan ke Tanjung Bunga dengan kapal berkapasitas 8-10 orang itu mulai pukul 06.00 Wita. "Jangan lupa besok bangun pagi-pagi ya," katanya malam itu.
Pukul 05.00 kamar kami sudah digedor staf FRS. Mata sebenarnya masih terasa berat karena tidur belum genap tiga jam. Frans Seda? Aih, orang tua itu sudah di Pantai Waiara pukul 06.00. Di sana sudah ada St. Sularto, Wandi S Brata dan Heri Ajo. Kapal pun sudah siap. Tergopoh-gopohlah saya, Philip Gobang dan Heri S Soba (wartawan Pembaruan yang kebetulan sedang cuti di Maumere). Kami berlari-lari kecil menuju pantai. Saya bahkan orang paling akhir berkumpul karena "curi waktu" sekejap untuk minum kopi. Khawatir kepala pening dalam perjalanan ke Lamanabi.
Sekitar pukul 06.45 kami meninggalkan Pantai Waiara. Kapal itu membawa delapan orang--termasuk dua ABK. Kami dikawal speed boat kecil berkapasitas dua penumpang. Pagi yang cerah. Perjalanan terasa nikmat. Sudah terbayang di depan mata Tanjung Bunga-Lamanabi karena perjalanan dengan kapal mesin ganda dengan masing-masing berkekuatan 150 PK itu hanya sekitar dua jam.
Tiga puluh menit kemudian drama itu datang. Satu mesin kapal tiba- tiba mati. "Solar banjir," kata sang kapten asal Lembata, Om Nikolaus Nara. Heri Ajo ambil-alih kemudi. Om Niko mengutak-atik mesin. Sepuluh menit berlalu. Mesin hidup tapi mati lagi. Gantian Heri menghadap mesin, Niko pegang kemudi. Kapal tetap melaju walau perlahan karena satu mesin tetap berfungsi dengan baik.
"Jalan terus saja. Tidak apa-apa," kata Frans Seda sambil bercerita tentang keindahan alam bawah laut Maumere, pantai pasir putih Pulau Besar serta sisi lain Pulau Babi kepada St. Sularto dan Wandi S Brata. Penerima Bintang Mahaputra Adipradana dari pemerintah RI itu terkesan cuek. Seolah tak ada masalah. Philip Gobang berbisik pelan ke telinga saya, "Orang tua ini pintar mengalihkan perhatian, biar kita tidak memikirkan mesin kapal mati. He..he.."
Heri dan Niko tetap bolak-balik mengurusi mesin itu tapi tak kunjung berhasil. "Heri, coba kontak speed boat pengawal kita. Mana mereka? Pengawal tidak boleh jauh-jauh. Panggil mereka biar kita pakai kapal kecil itu saja," kata Frans Seda. Wah?
Heri Ajo mengambil radio (HT) menghubungi dua pengawal. Mereka tidak bisa dikontak. Heri melambaikan tangan sambil memberi tanda agar kembali. Tak ada tanda-tanda mereka mengurangi kecepatan atau mendekati kami. Malah semakin melaju. Dalam sekejap hilang dari pandangan kami. Celaka duabelas!
"Tidak apa-apa. Terus. Jalan terus," kata Frans Seda seraya bangkit dari tempat duduknya. Dia menuju kemudi. "Niko, kau urus mesin, biar saya yang bawa," katanya sambil tertawa tanpa beban. Wakil Pemimpin Umum Kompas, St. Sularto dan Wandi S Brata terbahak-bahak.
Pak Sularto menyodorkan kamera. "Mas Dion tolong ambil ya," katanya. Momen indah. Mantan Menteri Perhubungan RI berusia 79 tahun jadi kapten kapal. Kami lupa arus laut mulai menguat. Tak sadar hampir satu setengah jam berlayar. Posisi kapal sudah sejajar dengan Pulau Besar dan kurang 1 mil laut di depan Pulau Babi. Akhirnya, Heri Ajo membuat keputusan bijak. "Bapa, kita tidak bisa teruskan perjalanan. Kita turun di teluk Wair Terang saja," katanya. "Tapi kita harus tetap ke Lamanabi," kata Frans Seda.
Syukurlah. Sinyal HP masih ada. Heri menghubungi stafnya di Sao Wisata. Minta mereka menyiapkan dua mobil dan segera meluncur ke Wair Terang. Kami pun menuju ke sana. Kemudi tetap di tangan Frans Seda. Perasaan kami lega. Keputusan Heri Ajo yang memahami dengan baik lintasan Waiara-Tanjung Bunga itu paling tepat -- mengingat setelah Pulau Babi akan sulit mencari daratan terdekat jika terjadi apa-apa dengan mesin kapal yang satunya lagi.
Namun, drama hari Sabtu itu belum berakhir. Kegundahan melanda Gervasius Seda dan kawan-kawannya di ujung Nusa Bunga. Demi menjemput kami yang diperkirakan tiba sekitar pukul 08.00 Wita, keponakan Frans Seda itu lebih dulu meluncur ke Larantuka pada Jumat (28/10) malam dan pagi-pagi sekali menuju Tanjung Bunga. Tapi ia menanti kapal yang tak pernah datang. Menunggu sambil menahan lapar dan dahaga lebih dari 13 jam! Menanti dalam ketidakpastian di pinggir pantai yang sepi, tanpa telepon tanpa Handy Talkie (HT). Muncul sudah perasaan beragam, terbersit niat menghubungi tim SAR di Larantuka. (dion db putra/bersambung). Pos Kupang, Jumat 11 November 2005
Dipublikasikan SKH Pos Kupang secara serial pada tanggal 8-12 November 2005.