* Ziarah bersama Jakob Oetama-Frans Seda (5)
UNTUNG pejemput di Tanjung Bunga hari Sabtu (29/10/2005) siang itu belum sempat menghubungi tim SAR. Jika sudah, bakal terjadi "kehebohan" besar karena informasi kapal yang ditumpangi rombongan Frans Seda dan petinggi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dari Waiara ke Tanjung Bunga "hilang" akan menyebar luas.
Di teluk Wair Terang-- speed boat yang dikemudikan Frans Seda akhirnya tiba dengan selamat di bibir pantai. Di sana sudah menunggu dua mobil pesanan Heri Ajo. Wair Terang merupakan pantai yang indah dengan pohon bakau dan kelapa masih terawat baik. Daerah yang masuk wilayah Kecamatan Waigete itu sudah lama dikenal sebagai lokasi wisata bagi warga Kota Maumere dan sekitarnya.
Turun dari speed boat, Heri Ajo dan Om Niko Nara melompat lebih dulu dari kapal. Dan, Om Niko langsung pasang pundak. Dibantu Philip Gobang dan Heri, Frans Seda pun duduk manis di pundak Om Niko saat meninggalkan kapal. Tiba di darat, orang tua itu masih sempat berkelakar. "Heri, jangan lupa kasih naik gajinya," kata Frans Seda. Heri Ajo, Manajer Sao Wisata menyambut dengan senyuman. Om Niko adalah salah seorang karyawan Sao Wisata yang setia, bekerja sejak awal kehadiran resort wisata tersebut.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 10.00 Wita. Setelah memindahkan barang bawaan dari kapal ke mobil, kami meninggalkan Wair Terang menuju Larantuka. Perjalanan relatif mulus sekalipun beberapa kali mobil berhenti karena Frans Seda membeli buah-buahan. Tidak hanya membeli-- mantan menteri lulusan Katholike Economische Hogeschool, Tilburg-Belanda tahun 1956 itu selalu meluangkan waktu bercakap- cakap dengan penjual buah. Menjelang pukul 12.00 kami masuk Larantuka. Istirahat 30 menit sambil menunggu mobil mengisi bahan bakar kemudian menuju Waiklibang. Jaraknya hanya 28 km tetapi terasa lama lama nian karena jalan bopeng di mana-mana. Ada aspal mulus. Lebih dominan jalanan berdebu, berbatu.
UNTUNG pejemput di Tanjung Bunga hari Sabtu (29/10/2005) siang itu belum sempat menghubungi tim SAR. Jika sudah, bakal terjadi "kehebohan" besar karena informasi kapal yang ditumpangi rombongan Frans Seda dan petinggi Kelompok Kompas Gramedia (KKG) dari Waiara ke Tanjung Bunga "hilang" akan menyebar luas.
Di teluk Wair Terang-- speed boat yang dikemudikan Frans Seda akhirnya tiba dengan selamat di bibir pantai. Di sana sudah menunggu dua mobil pesanan Heri Ajo. Wair Terang merupakan pantai yang indah dengan pohon bakau dan kelapa masih terawat baik. Daerah yang masuk wilayah Kecamatan Waigete itu sudah lama dikenal sebagai lokasi wisata bagi warga Kota Maumere dan sekitarnya.
Turun dari speed boat, Heri Ajo dan Om Niko Nara melompat lebih dulu dari kapal. Dan, Om Niko langsung pasang pundak. Dibantu Philip Gobang dan Heri, Frans Seda pun duduk manis di pundak Om Niko saat meninggalkan kapal. Tiba di darat, orang tua itu masih sempat berkelakar. "Heri, jangan lupa kasih naik gajinya," kata Frans Seda. Heri Ajo, Manajer Sao Wisata menyambut dengan senyuman. Om Niko adalah salah seorang karyawan Sao Wisata yang setia, bekerja sejak awal kehadiran resort wisata tersebut.
Jarum jam hampir menunjukkan pukul 10.00 Wita. Setelah memindahkan barang bawaan dari kapal ke mobil, kami meninggalkan Wair Terang menuju Larantuka. Perjalanan relatif mulus sekalipun beberapa kali mobil berhenti karena Frans Seda membeli buah-buahan. Tidak hanya membeli-- mantan menteri lulusan Katholike Economische Hogeschool, Tilburg-Belanda tahun 1956 itu selalu meluangkan waktu bercakap- cakap dengan penjual buah. Menjelang pukul 12.00 kami masuk Larantuka. Istirahat 30 menit sambil menunggu mobil mengisi bahan bakar kemudian menuju Waiklibang. Jaraknya hanya 28 km tetapi terasa lama lama nian karena jalan bopeng di mana-mana. Ada aspal mulus. Lebih dominan jalanan berdebu, berbatu.
***
TIDAK ada pejemput di Waiklibang. Kemana gerangan? "Hanya dua kemungkinan. Mereka sudah ke Lamanabi atau masih di Tanjung Bunga," kata Heri Ajo. Tadinya Heri bermaksud mengecek dulu ke Tanjung Bunga--tetapi mobil yang ditumpangi Frans Seda, St. Sularto dan Wandi S Brata yang berada di depan kami langsung belok kanan menuju Lamanabi. Mau tak mau kami harus membututi mereka.
Jarak Waiklibang-Lamanabi hanya sekitar 16 atau 17 kilometer. Tapi Lamanabi terasa jauh sekali. Perjalanan tertatih-tatih. Mobil kijang merayap melewati jalan sempit berbatu. Di banyak tempat batu berceceran hingga sopir harus ekstra hati-hati. Untung musim kemarau. Sulit membayangkan jalan ke sana bila musim hujan tiba. Tapi ke Lamanabi memendam pesona tersendiri. Tidak sekadar meliuk- liuk, memutar melewati punggung bukit.
Ada jalan menurun dan tikungan tajam. Juga kali kecil, hutan dan lembah serta padang luas. Rasa penat dan dahaga terobati lantaran pemandangan alam sungguh memanjakan mata. Dari ketinggian bukit kami menikmati laut biru, Pulau Adonara dan ujung Flores berdiri kokoh-kelabu. Tapi di manakah manusia? Kami tidak menemukan pemukiman penduduk sepanjang jalan itu, kecuali dua rumah sekitar 5 km sebelum Lamanabi.
Setelah merayap hampir satu jam tibalah kami di pertapaan itu. Tak disangka, Biara Lamanabi berdiri anggun di kaki bukit. Apik, penuh bunga warna-warni. Waktu hampir pukul 14.00. Suasana begitu hening. Ternyata kamilah tamu pertama siang itu. Jelas sudah penjemput masih di Tanjung Bunga. Mereka baru menyusul kami setengah jam kemudian setelah kami kenyang menikmati makan siang!
Adalah Frater David Bue, OCSO yang menyambut kami di ruang tamu biara. "Tugas saya ya.. menerima tamu. Mau tahu kenapa? Muka saya ini memang jelek, tapi saya penerima tamu terbaik sejak di Rawaseneng. Dulu, pertama kali saya terima tamu 120 orang, bibir saya sampai kejang karena harus tersenyum dengan cara berbeda. Senyum untuk orang tua beda dengan anak-anak, beda juga kalau tamunya wanita," kata frater asal Koting, Maumere tersebut. Frans Seda terbahak-bahak. St. Sularto dan Wandi terpingkal-pingkal. Lupa sudah keletihan selama perjalanan dari Waiara hampir 13 jam.
Berkisahlah pula David tentang pengalamannya sejak usia muda hidup di Biara Pertapaan Rawaseneng, Temanggung-Jawa Tengah, di Belanda dan negara lainnya. Diceritakanya juga tentang Lamanabi (biara pertapa kedua di Indonesia setelah Rawaseneng) yang fondasinya sudah ada sejak 1996 dan Frans Seda sudah pernah dua kali ke sana.
David yang jalannya tertatih-tatih ini sungguh menghibur.
Gelak-tawa membahana--mulai dari ruang tamu sampai di meja makan saat kami menikmati hidangan yang lezat, minum teh hangat serta beragam kue yang membangkitkan selera. Luar biasa! Makanan dan minuman itu disiapkan sendiri para frater dan imam penghuni Lamanabi yang seluruhnya 18 orang, tua dan muda. Ada wajah Jawa, Manado dan keturunan Tionghoa. Mereka pun akrab dengan alam.
"Kami masak pakai kayu bakar," kata David yang kala itu ditemani seorang frater asal Waibalun. "Kami biasa menerima tamu di sini, umumnya dalam rombongan. Ya, syukur kalau kami bisa meringankan beban hidup sesama," katanya. Tepat pukul 15.00 Wita, David mengajak kami ke Kapel St. Lucia untuk doa bersama penghuni biara.
Akhirnya Lamanabi kami tinggalkan sekitar pukul 16.00 dengan membawa kenangan indah di hati masing-masing. Kenangan tentang para pertapa yang tampak hidup terasing tapi tak asing dengan sesama.
Sejenak kami mampir di Larantuka. Frans Seda dan petinggi KKG bertemu Bupati dan Wakil Bupati Flotim, Drs. Simon Hayon dan Yosni Herin, S.Sos serta Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr. Kami baru tiba di Waiara pukul 21.00 Wita. Lelah! Tapi acara belum usai. Makan malam menelan waktu lebih dari satu jam. Frans Seda seolah tak pernah kehabisan cerita. Itulah jamuan terakhir kami bersama beliau karena Minggu (30/10) pagi, ia terbang ke Denpasar. Bergabung lagi dengan sahabatnya Jakob Oetama yang menunggu di sana kemudian petang harinya pulang ke Jakarta. (dion db putra/habis). Pos Kupang, Sabtu 12 November 2005
Dipublikasikan SKH Pos Kupang secara serial pada tanggal 8-12 November 2005.
http://www.indomedia.com/poskup/2005/11/10/edisi10/1011ceber.htm
Jarak Waiklibang-Lamanabi hanya sekitar 16 atau 17 kilometer. Tapi Lamanabi terasa jauh sekali. Perjalanan tertatih-tatih. Mobil kijang merayap melewati jalan sempit berbatu. Di banyak tempat batu berceceran hingga sopir harus ekstra hati-hati. Untung musim kemarau. Sulit membayangkan jalan ke sana bila musim hujan tiba. Tapi ke Lamanabi memendam pesona tersendiri. Tidak sekadar meliuk- liuk, memutar melewati punggung bukit.
Ada jalan menurun dan tikungan tajam. Juga kali kecil, hutan dan lembah serta padang luas. Rasa penat dan dahaga terobati lantaran pemandangan alam sungguh memanjakan mata. Dari ketinggian bukit kami menikmati laut biru, Pulau Adonara dan ujung Flores berdiri kokoh-kelabu. Tapi di manakah manusia? Kami tidak menemukan pemukiman penduduk sepanjang jalan itu, kecuali dua rumah sekitar 5 km sebelum Lamanabi.
Setelah merayap hampir satu jam tibalah kami di pertapaan itu. Tak disangka, Biara Lamanabi berdiri anggun di kaki bukit. Apik, penuh bunga warna-warni. Waktu hampir pukul 14.00. Suasana begitu hening. Ternyata kamilah tamu pertama siang itu. Jelas sudah penjemput masih di Tanjung Bunga. Mereka baru menyusul kami setengah jam kemudian setelah kami kenyang menikmati makan siang!
Adalah Frater David Bue, OCSO yang menyambut kami di ruang tamu biara. "Tugas saya ya.. menerima tamu. Mau tahu kenapa? Muka saya ini memang jelek, tapi saya penerima tamu terbaik sejak di Rawaseneng. Dulu, pertama kali saya terima tamu 120 orang, bibir saya sampai kejang karena harus tersenyum dengan cara berbeda. Senyum untuk orang tua beda dengan anak-anak, beda juga kalau tamunya wanita," kata frater asal Koting, Maumere tersebut. Frans Seda terbahak-bahak. St. Sularto dan Wandi terpingkal-pingkal. Lupa sudah keletihan selama perjalanan dari Waiara hampir 13 jam.
Berkisahlah pula David tentang pengalamannya sejak usia muda hidup di Biara Pertapaan Rawaseneng, Temanggung-Jawa Tengah, di Belanda dan negara lainnya. Diceritakanya juga tentang Lamanabi (biara pertapa kedua di Indonesia setelah Rawaseneng) yang fondasinya sudah ada sejak 1996 dan Frans Seda sudah pernah dua kali ke sana.
David yang jalannya tertatih-tatih ini sungguh menghibur.
Gelak-tawa membahana--mulai dari ruang tamu sampai di meja makan saat kami menikmati hidangan yang lezat, minum teh hangat serta beragam kue yang membangkitkan selera. Luar biasa! Makanan dan minuman itu disiapkan sendiri para frater dan imam penghuni Lamanabi yang seluruhnya 18 orang, tua dan muda. Ada wajah Jawa, Manado dan keturunan Tionghoa. Mereka pun akrab dengan alam.
"Kami masak pakai kayu bakar," kata David yang kala itu ditemani seorang frater asal Waibalun. "Kami biasa menerima tamu di sini, umumnya dalam rombongan. Ya, syukur kalau kami bisa meringankan beban hidup sesama," katanya. Tepat pukul 15.00 Wita, David mengajak kami ke Kapel St. Lucia untuk doa bersama penghuni biara.
Akhirnya Lamanabi kami tinggalkan sekitar pukul 16.00 dengan membawa kenangan indah di hati masing-masing. Kenangan tentang para pertapa yang tampak hidup terasing tapi tak asing dengan sesama.
Sejenak kami mampir di Larantuka. Frans Seda dan petinggi KKG bertemu Bupati dan Wakil Bupati Flotim, Drs. Simon Hayon dan Yosni Herin, S.Sos serta Uskup Larantuka, Mgr. Frans Kopong Kung, Pr. Kami baru tiba di Waiara pukul 21.00 Wita. Lelah! Tapi acara belum usai. Makan malam menelan waktu lebih dari satu jam. Frans Seda seolah tak pernah kehabisan cerita. Itulah jamuan terakhir kami bersama beliau karena Minggu (30/10) pagi, ia terbang ke Denpasar. Bergabung lagi dengan sahabatnya Jakob Oetama yang menunggu di sana kemudian petang harinya pulang ke Jakarta. (dion db putra/habis). Pos Kupang, Sabtu 12 November 2005
Dipublikasikan SKH Pos Kupang secara serial pada tanggal 8-12 November 2005.
http://www.indomedia.com/poskup/2005/11/10/edisi10/1011ceber.htm