Melebihi Pilot

SEORANG bupati hasil pilihan rakyat secara langsung memilih cara ini untuk mengingatkan bawahannya yang terkenal "tukang jalan" atau doyan menggunakan SPPD. "Saya kagum pada Bapak-Ibu kepala dinas, kantor dan badan di daerah ini. Kalau dikalkulasi secara cermat, jam terbang Anda dalam sebulan saja bisa melebihi seorang pilot."
Demikian pernyataan bupati tersebut pada suatu kesempatan memimpin rapat koordinasi di kantornya. Ada kepala dinas, kantor dan badan yang wajahnya bersemu merah. Ada kepala bagian yang lirik ke sana-sini. Sejumlah orang menahan tawa. Ada pula yang tertunduk malu. Entah pura-pura atau karena sentilan bupati memang pas. Sesuai dengan kenyataan.

Rajin bepergian ke mana-mana bukan hal baru. Hari ini berada di Jakarta, besok sudah di Gorontalo. Lusa kembali via Makassar. Hari berikutnya ke Bali. Minggu depan melanglang ke Bangkok atau Singapura. Anak kecil juga tahu jumlah hari dalam sebulan maksimum 31. Namun, ada yang memakai SPPD sampai 50-an hari. Terhadap kebiasaan macam ini, pegawai atau staf mengomel dan kesal. Mereka marah, tapi tak sanggup mengamuk. Mereka tahu namun tak mungkin meraung. Mereka lebih memilih "malas tahu!".

Bukankah kisah serupa itu tersiar riuh di sini? Di beranda rumah besar Flobamora? Rasanya tidak keliru sentilan bupati di atas. Ada orang kita dengan jam terbang melebihi pilot pesawat terbang. Pola hidup hemat sekadar pemanis bibir. Belum dalam tindakan konkrit. Di kantor, komunikasi antar-bagian pakai telepon. Malas berjalan kaki meski jarak cuma 20-30 meter. Bicara per telepon berjam-jam. Telepon famili atau kolega tanpa rasa bersalah menggunakan fasilitas negara atau perusahaan. Buka kran air lupa tutup kembali. Listrik menyala malam dan siang. Aktifkan komputer untuk bermain game.

Pemborosan! Itulah kebiasaan yang hari-hari ini perlu digubris. Patut dipercakapkan lagi ketika Indonesia menjerit soal krisis pangan dan energi. Harga minyak menjulang langit. Pangan pun langka. Negeri yang sudah rapuh ini kembali terpuruk. Bangsa yang kenyang dengan prahara gizi buruk -- menerima pukulan telak terbaru. Hempasan badai yang lebih mengerikan. Siapa pun paham kalau orang lapar bisa nekat.

Sejak dua bulan terakhir harga-harga kebutuhan pokok di pasar melonjak antara 25-30 persen. Antre minyak tanah merupakan pemandangan rutin. Dan, kegundahan merebak di mana-mana ketika pekan lalu pemerintah tak sekadar memberi sinyal, tetapi memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) akan dinaikkan. Paling lambat akhir bulan Mei 2008. Baru rencana, antrean panjang telah mewarnai SPBU di Atambua dan Kefa.

Bukan baru sekali pemerintah mengungkap alasannya. Dengan harga rata-rata minyak 116 dolar AS per barel, beban subsidi adalah Rp 120 triliun dan lonjakan subsidi bisa menembus Rp 200 triliun. Menaikkan harga BBM tak mungkin dipending.

Besar kenaikan masih misteri. Namun, Lembaga Kajian Reformasi Pertambangan dan Energi memperkirakan, misalnya pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 30 persen, akan menambah orang miskin 8,55 persen atau sekitar 15,68 juta jiwa (Kompas, 8 Mei 2008). Menurut data BPS, jumlah orang miskin se-Indonesia adalah 16,85 persen dari total populasi atau sekitar 36,8 juta jiwa.

Siapa dan di manakah orang miskin itu? Mereka bukan orang lain. Si miskin papa adalah anggota keluarga kita sendiri dan sebagian besar mereka ada di sini, kampung besar Nusa Tenggara Timur. Sense of crisis. Itulah yang antara lain diharapkan dari para pemimpin, para kepala atau atasan, pada level apa pun dan di instansi manapun. Juga dibutuhkan keteladanan dalam menghadapi situasi sulit dewasa ini. Maka bupati yang menyentil "tukang jalan" mestinya tahu memberi contoh bagaimana mengikis kebiasaan itu.* (email: dionbata@gmail.com)


Pos Kupang edisi Senin, 12 Mei 2008, halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes