GEMA gaungnya merebak di banyak tempat. Menggeliat dalam beragam cara, rupa dan wujud. Munculkan inspirasi, lahirkan harapan baru. Tetapi juga kegetiran. Getir mencumbui kenyataan hidup sebagai anak bangsa yang rapuh dilindas zaman. Mengapa sebuah negeri tidur terlalu lama sampai hampir kehilangan segalanya?
Dan, kita baru saja kehilangan Sophan Sophiaan dua hari lalu. Tokoh besar itu mati di saat merayakan hari bersejarah bangsanya, Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Sophan yang menggagas dan memimpin tour motor gede keliling Jawa berlabel "Jalur Kebangkitan" Merah Putih mengalami kecelakaan akibat motor besar Harley Davidson melindas jalan berlubang di perbatasan Sragen (Jawa Tengah) dengan Ngawi (Jawa Timur), Sabtu (17/5/2008) pagi.
Kematian Sophan, putra pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Manai Sophiaan itu kaya makna dan kental pesan simbolik. Mati di kala menggelorakan kembali semangat Kebangkitan Nasional. Republik kehilangan tokoh panutan. Dialah satu-satunya anggota DPR masa reformasi yang mundur karena tidak mau ikut politik dagang kambing di Senayan. Sophan berani mempertahankan sikap yang berbeda haluan dengan pimpinan partai (PDI Perjuangan).
Sebagai aktor, ia aktor terkemuka dengan karakter adekuat. Sebagai selebritis, ia selebriti yang baik, setidaknya dalam kehidupan rumah tangga. Tidak gonta-ganti pasangan hidup alias kawin-cerai sebagaimana diperlihatkan dengan tanpa rasa malu oleh sebagian besar selebriti Indonesia sekarang. Sebagai manusia, Sophan tentu memiliki keterbatasan. Namun, Sophan Sophiaan adalah sebuah nama. Nama besar di antara gunung-gemunung Nusantara. Nama harum di antara lembah dan ngarai Indonesia. Dia salah seorang putra terbaik Ibu Pertiwi.
"Kita sangat kehilangan. Almarhum tengah melakukan upaya terpuji dalam Peringatan 1 Abad Kebangkitan Nasional. Semangat dan rasa kebangsaan beliau harus dikembangkan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melayat di rumah duka, Sabtu malam. Selamat jalan Sophan Sophiaan.
***
SOPHIAAN mati di saat menggelorakan Kebangkitan Nasional. Apa hubungannya dengan kita di sini? Memang tidak. Alih-alih omong Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), acara kecil pun belum tercium baunya. Aroma seabad berdirinya organisasi Boedi Oetomo tak terdengar riang di sini, seolah kita bukan bagian dari rumah agung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yah, kita maklum. Harkitnas tenggelam-rebah dalam riuhnya urusan memilih mosalaki (pemimpin, Red) yang ribet dan ribut melulu. Belum selesai-selesai juga! Masih menggantung dan bikin bingung karena semua mau dan ada maunya.
Dan, kita baru saja kehilangan Sophan Sophiaan dua hari lalu. Tokoh besar itu mati di saat merayakan hari bersejarah bangsanya, Seratus Tahun Kebangkitan Nasional. Sophan yang menggagas dan memimpin tour motor gede keliling Jawa berlabel "Jalur Kebangkitan" Merah Putih mengalami kecelakaan akibat motor besar Harley Davidson melindas jalan berlubang di perbatasan Sragen (Jawa Tengah) dengan Ngawi (Jawa Timur), Sabtu (17/5/2008) pagi.
Kematian Sophan, putra pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI), Manai Sophiaan itu kaya makna dan kental pesan simbolik. Mati di kala menggelorakan kembali semangat Kebangkitan Nasional. Republik kehilangan tokoh panutan. Dialah satu-satunya anggota DPR masa reformasi yang mundur karena tidak mau ikut politik dagang kambing di Senayan. Sophan berani mempertahankan sikap yang berbeda haluan dengan pimpinan partai (PDI Perjuangan).
Sebagai aktor, ia aktor terkemuka dengan karakter adekuat. Sebagai selebritis, ia selebriti yang baik, setidaknya dalam kehidupan rumah tangga. Tidak gonta-ganti pasangan hidup alias kawin-cerai sebagaimana diperlihatkan dengan tanpa rasa malu oleh sebagian besar selebriti Indonesia sekarang. Sebagai manusia, Sophan tentu memiliki keterbatasan. Namun, Sophan Sophiaan adalah sebuah nama. Nama besar di antara gunung-gemunung Nusantara. Nama harum di antara lembah dan ngarai Indonesia. Dia salah seorang putra terbaik Ibu Pertiwi.
"Kita sangat kehilangan. Almarhum tengah melakukan upaya terpuji dalam Peringatan 1 Abad Kebangkitan Nasional. Semangat dan rasa kebangsaan beliau harus dikembangkan," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat melayat di rumah duka, Sabtu malam. Selamat jalan Sophan Sophiaan.
***
SOPHIAAN mati di saat menggelorakan Kebangkitan Nasional. Apa hubungannya dengan kita di sini? Memang tidak. Alih-alih omong Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas), acara kecil pun belum tercium baunya. Aroma seabad berdirinya organisasi Boedi Oetomo tak terdengar riang di sini, seolah kita bukan bagian dari rumah agung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Yah, kita maklum. Harkitnas tenggelam-rebah dalam riuhnya urusan memilih mosalaki (pemimpin, Red) yang ribet dan ribut melulu. Belum selesai-selesai juga! Masih menggantung dan bikin bingung karena semua mau dan ada maunya.
Maka lupakan keganjilan ini. Mari bermimpi saja. Memimpikan pencanangan 20 Mei 2008 sebagai "Hari Kebangkitan NTT". Pencanangan yang tampan karena momentumnya pas dengan peringatan Setengah Abad Flobamora sebagai propinsi yang puncaknya jatuh pada 20 Desember mendatang.
NTT Bangkit. Bangkit untuk siapa dan dalam hal apa? Tidak perlu ambisius karena kita menyadari virus pelapukan. Lapuk untuk cendana Timor yang tinggal nama. Flobamora bukan lagi gudang ternak yang menembus pasar Taiwan. Barusan kita "kehilangan" aset bergengsi. PT Semen Kupang tak lagi mengepulkan asap. Berhenti produksi saat NTT memasuki pesta emas. Nasib 400-an karyawan- karyawati kini menyisakan teka-teki. Ada apa dengan Flobamora? Bijak jika ada yang merasa salah mengurus rumah ini. Tapi, siapa yang berani?
Jadi lebih baik bermimpi soal kedaulatan perut. Rakyat NTT berdaulat atas pangan karena di lumbungnya ada jagung, ubi kayu dan talas hingga mengurangi warta nestapa tahunan tentang gizi buruk, busung lapar dan ketergantungan pada beras yang kebablasan. Galakkan program Rakyat Flobamora kembali ke tradisi nenek moyang.
Segarkan memori bahwa 80 persen dari kita adalah anak petani-nelayan yang dibesarkan dengan singkong, disehatkan oleh jagung, dikuat-kekarkan pisang bakar dan "otak berisi" karena makan ikan. Jadi, tanamlah ubi, jagung dan kacang sebanyak mungkin. Lawan keganasan alam dengan kerja keras dan kerja cerdas. Pilih ubi asli bukan impor karena belum tentu cocok dan bisa langsung dimakan. Ajaklah keluarga Flobamora mengajari anak-anak mereka makan ubi, jagung atau pisang biar mengimbangi kegandrungan berlebih pada mi instan, roti dan bakso.
Bangkit dalam hal apa lagi? NTT tak perlu bangkit dalam segala bidang karena diktum itu sungguh mengibuli. Mau semua toh akhirnya tak satupun yang berhasil guna. Mau raba semua, pegang semua, makan semua, sampai tega memakan keluarga sendiri, sahabat sendiri lalu bingung dan linglung sendiri.
Indah nian jika misalnya produksi ubi nuabosi dan jagung titi menjulang dunia. Beli beranga di mall Jakarta bukan angan-angan. Jeruk SoE tembus pasar mancanegara dalam jumlah berlimpah. Kenapa tidak? Propinsi "kemarin sore" Gorontalo tak banyak program. Tidak pakai pilar ini dan itu. Gorontalo merasa cukup tanam jagung saja dan sekarang mereka penghasil jagung nomor satu di Indonesia. NTT nomor satu dalam hal apa? Selamat berlibur sambil merayakan Satu Abad Kebangkitan Nasional. (email: dionbata@poskupang.co.id)
Rubrik Beranda Kita (BETA) Pos Kupang edisi Senin, 19 Mei 2008, halaman 1.