"Sama-sama enak"

AKTOR jadi kepala wilayah bukan cerita di negeri seberang. Selebriti memimpin negeri kini nyata di rumah kita. Rakyat Indonesia kian cerdas sekaligus mudah bosan. Makin cerdas membedakan pembohong dari orang yang jujur. Siapa pesulap, siapa pembual. Mana kaum munafik, mana kawanan pejuang.
Rakyat yang sama jua mudah bosan. Tak suka menatap wajah lama bertahun-tahun. Tak doyan mendengar suara yang sama selama satu dasawarsa. Lima tahun cukup! Begitulah buah demokrasi di barat Jawa dan utara Sumatera. Dua kampung yang baru usai berpesta. Di bumi Flobamora? Ah, beta tak perlu menyebut karena tuan dan puan lebih tahu jawabannya.

Sejarah baru sedang ditulis dalam buku demokrasi Indonesia. Demokrasi yang bikin jengkel. Pertikaian intern partai politik (parpol) tak habis-habisnya. Pengurus suka berdua-dua. Dualisme! Pecat-memecat. Si A mengolok si B. Si B merasa paling benar. Bila tak puas, bikin partai baru. Birahi kekuasaan demikian dashyat di negeri ini hingga melumpuhkan solidaritas dan mengkhianati nilai-nilai luhur warisan pendiri RI. Tokoh panutan kian langka. Elite berduel tanpa mempertimbangkan perasaaan konstituen. Mereka anggap rakyat tak tahu apa-apa.
 

Tiga warna mendominasi medan laga Pilgub-Pilkada. Warna hijau, kuning dan merah. Warna melodrama dengan perubahan amat lekas. Hijau tatkala fajar menyingsing, bisa jadi kuning ketika malam tiba. Larut malam berwarna merah akan berubah hijau saat pagi datang. 

Merah, kuning dan hijau tergantung "enak" atau "tidak enak". Sikap plin-plan yang jelas tidak mendidik dibalut kalimat indah: "Dinamika politik, bung!" Keputusan Senayan berprinsip "sama-sama enak". Anda untung,saya pun senang! Maka lahirlah Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang menyenangkan semua elite di Senayan. 

Semua parpol yang punya kursi di DPR berhak ikut Pemilu 2009. Ditambah 24 partai baru yang lolos verifikasi awal April lalu -- jumlah peserta Pemilu 2009 akan melebihi kontestan Pemilu 2004 (24) bahkan Pemilu 1999 (48 partai). Semangat menyederhanakan partai cuma pepesan kosong. Langkah mundur bila dibandingkan dengan UU Pemilu No. 12/2003.



UU No.10/2008 menciptakan rekor yaitu kampanye selama sembilan bulan, terpanjang dalam sejarah pemilu di Indonesia.Pasal 82 UU No 10/2008 menyebutkan, kampanye pemilu dilaksanakan sejak tiga hari setelah calon peserta pemilu ditetapkan sampai dengan dimulainya masa tenang. KPU akan menetapkan peserta pemilu 5 Juli 2008. Dengan demikian, kampanye berlangsung dari 8 Juli 2008 sampai 1 April 2009. Pada Pemilu 2004, masa kampanye hanya sebulan.

Dengan masa kampanye selama itu sulit menjamin roda pemerintahan berjalan efektif. Manajer pemerintahan, baik di pusat maupun daerah yang juga bos parpol akan memanfaatkan setiap event untuk kampanye. Kampanye dengan memanfaatkan fasilitas negara yang melekat padanya. Mobil plat merah akan diganti hitam. Kunjungan ke daerah untuk resmikan proyek tapi agenda utama justru temu kader atau sosialisasi diri. Dengan mekanisme kontrol yang kabur dan sanksi tidak tegas, pelanggaran semacam itu segera kita saksikan mulai awal Juli 2008.

Keputusan elite Senayan dalam UU No.10/2008 paling buas menyerang pers nasional. Jika dalam hal ikut pemilu memakai prinsip "sama-sama enak", dalam konteks media massa prinsip mereka adalah: "Memperkuda". Inilah pasal-pasal yang menjerat kebebasan pers. Pasal 91 Ayat 2: Media cetak dan penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada semua peserta pemilu. Pasal 93 Ayat 3: Media cetak dan penyiaran wajib memberikan kesempatan yang sama kepada peserta pemilu dalam pemuatan dan penayangan iklan kampanye. Pasal 97: Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu.

Tidak hanya mewajibkan, UU No 10/2008 juga menegaskan sanksi bagi media massa yang melanggar. Pasal 99: Sanksi bisa berupa teguran tertulis; penghentian sementara acara yang bermasalah; pengurangan durasi pemberitaan atau iklan; denda; pembekuan kegiatan pemberitaan, penyiaran, dan iklan untuk waktu tertentu; serta pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran atau izin penerbitan media massa cetak.

Aturan semacam itu bukan cuma tidak adil dalam era demokrasi, tetapi DPR yang membuat aturan tidak memahami esensi media massa. Jelas sekali UU Pemilu begitu jauh mencampuri kerja pers kalau ide memberikan kesempatan yang sama diterjemahkan sebagai luasan milimeter kolom di media cetak atau durasi di media elektronik (radio, televisi). Alat untuk mengukur kesempatan yang sama dibuat kabur sehingga memberi peluang kepada yang "kuat kuasa" untuk menafsir sendiri makna seimbang atau kesempatan yang sama.

Begitulah hebatnya elite parpol di Indonesia. Mereka merasa lebih berkompeten bicara tentang nilai sebuah berita daripada insan pers yang sehari-hari bergelut dengan pemberitaan. Kamar tidur redaksi pun mereka urus. Demokrasi kita tidak hanya bikin jengkel, tapi bisa membawa bangsa besar dan majemuk ini ke jurang kehancuran. Reformasi ini lebih tepat disebut Orde Baru jilid II dengan tampang lebih kejam. Apakah Anda diam saja?* Rubrik BERANDA KITA, Pos Kupang edisi Senin, 5 Mei 2008, halaman 1.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes