Geram


MEMBACA berita ini, saya menangis... menangis sedih, terharu dan geram. Mencuri adalah tindakan yang salah dan tidak bisa dibenarkan, tapi apakah hukuman itu adil buat Minah? Demikian komentar Sari, seorang pembaca Pos Kupang online tentang kasus yang menimpa Minah, seorang petani buta huruf di Banyumas, Jawa Tengah.

Tanggal 19 November 2009, Minah (55) dihukum percobaan selama satu bulan 15 hari gara-gara mencuri tiga buah kakao milik PT Rumpun Sari Antan (RSA). Persidangan Minah di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto menyedot perhatian masyarakat. Tanpa didampingi pengacara, Minah dengan polos menceritakan alasannya memetik tiga buah kakao di kebun PT RSA medio Agustus 2009.

Nenek tujuh cucu ini mengaku sudah menanam 200 bibit pohon kakao di kebunnya di Dusun Sidoharjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang, Banyumas. Tetapi ia merasa jumlah itu masih kurang sehingga mengambil tiga buah kakao di kebun PT RSA. Namun, belum sempat buah tersebut dibawa pulang, mandor perkebunan, Sutarno, menegurnya. Minah mohon maaf dan meminta Sutarno membawa ketiga buah kakao tersebut.


Alih-alih permintaan maafnya diterima, manajemen PT RSA malah melaporkan Minah ke Kepolisian Sektor Ajibarang akhir Agustus lalu. Laporan berlanjut hingga ke meja hijau. Minah sudah berusaha melepaskan diri dari jerat hukum. Tapi usahanya sia-sia. Terhitung tanggal 13 Oktober sampai 1 November 2009, Minah menjadi tahanan rumah, yakni sejak kasusnya dilimpahkan dari kepolisian kepada Kejaksaan Negeri Purwokerto.

Sejak itu ia lima kali pergi pulang memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Purwokerto dan mengikuti persidangan di PN Purwokerto. Rumah Minah di dusun, sekitar 15 kilometer dari jalan utama Ajibarang-Wangon. Perjalanan ke Purwokerto menempuh jarak sejauh 25 kilometer lagi. Jarak sepanjang itulah yang harus ditempuh Minah setiap kali memenuhi panggilan Kejaksaan dan PN Purwokerto. Sekali perjalanan ke Purwokerto, Minah bisa menghabiskan Rp 50.000 untuk naik ojek dan angkutan umum. Ditambah lagi untuk makan selama di perjalanan. Bayangkan untuk "keadilan tiga buah kakao" senilai Rp 2.000, Minah mengeluarkan uang ratusan kali lipat dari itu. Untuk ongkos ke pengadilan Minah dibantu anaknya. Bahkan seorang jaksa pernah memberinya Rp 50 ribu agar Minah bisa pulang ke rumahnya di dusun.

Elegi Minah menyetuh perasaan majelis hakim. Saat membacakan pertimbangan putusan hukum, Ketua Majelis Hakim, Muslich Bambang Luqmono, sempat menahan tangis. Muslich terharu karena teringat orangtuanya yang juga petani. Majelis hakim memutuskan, Minah dihukum percobaan penjara 1 bulan 15 hari. Jadi, Minah tak perlu menjalani hukuman itu, dengan catatan tidak melakukan tindak pidana lain selama masa percobaan tiga bulan.


***

KASUS lain yang kembali menarik perhatian publik hari-hari ini menimpa Prita Mulyasari. Kiranya tuan dan puan sudah memaklumi bahwa Prita dibawa ke meja hijau gara-gara mengirim e-mail berisi keluhannya tentang pelayanan RS Omni Internasional Tangerang. Manajemen Rumah Sakit Omni menganggap keluhan Prita mencermarkan nama baik rumah sakit tersebut.

Belum lama ini Pengadilan Tinggi Banten memutuskan Prita Mulyasari terbukti melakukan pencemaran nama baik terhadap Omni. Prita pun diwajibkan membayar denda sebesar Rp 204 juta. Banyak orang tergugah dengan penderitaan Prita. Para senator di Senayan dan sejumlah tokoh nasional telah mengumpulkan uang Rp 50 juta untuk membantu Prita membayar denda.

Prita memang masih melakukan upaya hukum dengan mendaftarkan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Akhir kisah Prita Mulyasari sulit ditebak hari ini. Yang jelas proses hukum Prita sungguh mencederai rasa keadilan masyarakat pencari keadilan. Apakah mengeluhkan pelayanan sebuah lembaga publik harus dihukum seberat itu? Bukankah kewajiban rumah sakit memberikan pelayanan terbaik kepada konsumennya?

Kita kembali menghadapi fakta getir. Aparat penegak hukum yang wajib mengayomi masyarakat dengan menegakkan keadilan ternyata tak punya nurani. Hukum kita rupanya tak memberi ampun bagi orang kecil seperti nenek Minah dan Prita Mulyasari. Di kampung besar Nusa Tenggara Timur tidak sedikit orang-orang yang bernasib sama dengan Minah dan Prita.

Proses hukum terhadap kedua perempuan itu terasa mencolok bila membandingkan dengan penegakan kasus korupsi di negeri ini. Tidak sedikit para koruptor yang merampok miliaran rupiah uang rakyat melenggang bebas dari sanksi hukum. Kenyataan semacam itu terjadi di mana-mana termasuk di di beranda Flobamora. Di sini tuan dan puan agaknya sudah biasa mendengar warta pimpinan DPRD atau pimpinan pemerintahan yang menjadi terpidana kasus korupsi divonis bebas pengadilan. Mereka bebas dari sanksi hukum.

Dua hari lagi, tepatnya tanggal 9 Desember 2009 merupakan Hari Antikorupsi Internasional. Hari Antikorupsi Internasional mestinya menambah semangat dan kegigihan kita memberantas korupsi serta praktik ketidakadilan lainnya di negeri ini.

Kentalnya indikasi mafia peradilan yang menyembul lewat kisruh antara KPK, Kejaksaan Agung dan Polri serta kasus Bank Century mestinya menuntun setiap anak bangsa tidak sekadar geram tetapi berani mengambil langkah konkret guna mengikis praktik korupsi sesuai peran dan tanggung jawabnya masing-masing. Reaksi berbagai komponen masyarakat yang sangat berani melawan upaya kriminalisasi KPK serta pemetiesan kasus Bank Century merupakan momentum indah pada peringatan Hari Antikorupsi Internasional 2009. Beranda Flobamora seharusnya ikut bergairah melawan ketidakadilan yang masih kuat membelenggu! (dionbata@yahoo.com)

Beranda Kita edisi Senin, 7 Desember 2009 halaman 1
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes