GOL ke gawang Polandia itu seharusnya ia rayakan dengan selebrasi kegembiraan. Ternyata bukan demikian yang dibuat oleh Lukas Podolski. Setelah menjebol gawang Artur Boruc, wajah Podolski nyaris tanpa ekspresi.
Begitu pertandingan usai, Podolski saling bertukar kostum dengan Mariusz Lewandoski, lawan yang tadi berusaha menghentikan gerakannya. Lalu ia melangkah dengan hening. Sejenak ia mampir ke sudut lapangan, menyalami ayah, beberapa sanak, dan pamannya yang khusus datang dari Polandia.
Podolski adalah turunan Jerman yang dilahirkan di kota Gliwice, Polandia. Tahun 1980-an, sekitar sejuta turunan Jerman di Polandia kembali ke Jerman. Podolski bersama orangtuanya ikut dalam gelombang itu.
”Saya punya keluarga besar di Polandia, lebih besar daripada di Jerman. Dua-tiga kali setahun saya berkunjung ke sana. Bertemu dengan keluarga dan teman-teman saya dulu. Saya mencintai kota kelahiran saya, saya menyukai Polandia dan manusianya. Di rumah kami selalu bicara bahasa Polandia,” kata Podolski.
Ujung tombak Jerman ini mengakui punya dua hati di dadanya. Satu hati untuk Jerman, lainnya untuk Polandia. Itu sebabnya mengapa ia tidak terlalu bergembira kendati ia mestinya bergembira dengan dua gol yang disarangkannya. Gol itu adalah kegembiraan untuk satu hatinya, tetapi sekaligus kesedihan untuk hatinya yang lain.
Hidup dengan dua hati itu tampaknya selalu menyisakan kegundahan. Memang, begitulah yang sering dialami oleh mereka yang hidup dalam pengasingan. Dengan amat mengharukan, hal itu pernah diungkapkan dalam surat-menyurat Paul Celan dan Nelly Sachs, dua penyair Jerman turunan Yahudi, yang hidup di pengasingan karena pengejaran Nazi dulu. Celan hidup di Paris, dan Sachs di Stockholm.
Kedua penyair hidup dalam kesepian. Keduanya sama-sama merindukan tanah air. Tetapi, mereka tak mempunyai tanah air yang mempersatukan mereka. Andaikan ada, tanah air itu hanyalah sebuah unsichtbare Heimat, tanah air yang tak terlihat. Oleh tanah air yang tak terlihat inilah mereka berdua merasa terikat. Persahabatan mereka terasa begitu dekat, tetapi demikian jauh mereka saling terletak sehingga mereka tak bisa merasakan hidup dan penderitaan masing-masing di bumi tempat kaki mereka berpijak.
Celan dan Sachs mengatakan, untung mereka bisa menulis puisi. Kalau tak ada puisi, kegundahan mereka tak bakal terungkap. Memang dalam hidup sehari-hari, kegundahan itu selalu tersembunyi juga pada seorang pemain bola bernama Podolski.
Syukur bahwa Podolski membuat dua gol ke gawang Polandia malam itu. Gol ini membuka dengan terang, siapa dia sesungguhnya: manusia yang hidup dalam dua tanah air, yang terpisah dalam kegembiraan dan kesedihan, kemenangan dan kekalahan. Gol itu bagaikan puisi yang berdendang tentang dua hati, yang selama ini tersembunyi dan mengoyak-ngoyak pribadi Podolski.
Dari peristiwa Podolski makin jelas bahwa sepak bola bukan sekadar adu otot. Sepak bola menyertakan seluruh diri manusia, termasuk emosi dan riwayat pribadinya. Secara intuitif, seorang awam bola pun dapat menangkap kedalaman itu. Itu, misalnya, terungkap dalam pernyataan Christina Stuemer, penyanyi Austria, yang dipercaya oleh Österreichen Fussball Bundes (OFB), Persatuan Sepak Austria, untuk membawakan lagu-lagu resmi Piala Eropa kali ini.
Christina mengaku, ia tidak mengerti apa itu off-side. ”Tetapi bagi saya, sepak bola adalah cermin yang memantulkan emosi-emosi. Bola mengingatkan saya pada hidup dengan segala pencapaian dan kegagalannya, puncak dan jurangnya.”
Menurut Christina, bola dan musik itu paralel. ”Bola dan konser sama-sama mengandalkan kerja keras. Orang harus memberikan dirinya 120 persen, sementara sukses dan tidaknya pertunjukan bola atau musik juga bergantung pada apakah kita bisa menyertakan emosi publik. Sungguh, di sini emosi sangatlah berperan,” kata penyanyi Austria itu.
Sumber emosi adalah perasaan. Karena itu, bola juga dekat dengan perasaan. Dan, faktor perasaan inilah yang amat diperhatikan oleh pelatih Jerman Joachim Loew. Loew mengartikan bola bukan sebagai sport, tetapi permainan. Sport lebih berkenaan dengan bagaimana orang mengerahkan tenaganya untuk menang, sedangkan dengan permainan, orang berusaha menggunakan segenap potensinya, baik tenaga, akal, atau emosinya untuk bisa menang.
Karena itu, Loew memerintahkan agar dalam duel yang paling keras pun, pemain-pemain Jerman bisa mengontrol diri dan emosinya. Untuk itu, Loew tak segan-segan mengadopsi teknik permainan basket. Sebab, dari basket orang bisa belajar bagaimana melakukan body-contact yang agresif, tetapi tetap menjaga diri agar jangan sampai melakukan foul.
”Sepak bola memang menegangkan. Berada di pinggir lapangan dalam pertandingan besar, saya juga amat tegang. Tapi dalam batin, saya selalu berusaha untuk tenang,” kata Loew. Setelah bermain gemilang melawan Polandia, Loew kiranya bisa lebih tenang hatinya ketika nanti Podolski dan kawan-kawannya menghadapi Kroasia. (Oleh Sindhunata, Wartawan Pencinta Sepak Bola)
Sumber: Kompas.Com