Dalam peringkat FIFA, Italia berada di urutan ketiga setelah Brasil dan Argentina. Artinya, Italia adalah nomor satu di Eropa. Menjelang Piala Eropa 2008, dalam peringkat UEFA, Italia juga nomor satu.
Italia memang hebat. Hanya pada tahun 1970 mereka ditekuk Brasil di bawah Pele, 1-4. Setelah itu, hampir 40 tahun lamanya, Italia tidak pernah menderita kekalahan dengan selisih skor tiga. Malah melawan Belanda, sejak 1978, mereka tidak pernah kalah.
Maka ketika digasak Belanda dengan skor 0-3, Italia seakan kehilangan dirinya. Peristiwa memalukan ini tidak hanya diderita ”Squadra Azzurra”, tetapi juga oleh rakyat Italia. ”Squadra Azzurra telah melukai hati orang-orang Italia,” tulis koran-koran Italia hampir senada.
Kekalahan itu nyaris seperti sebuah kematian. Namun tidak lama kemudian, Italia ternyata berhasil menggebuk Perancis dan lolos ke perempat final. Rakyat Italia pun meledak dalam harapan. Koran La Repubblica menulis, kemenangan itu adalah kebangkitan dari mereka yang sebelumnya disabdakan telah mati. Dan La Gazzetta dello Sport berkomentar, ”Grazie Azzuri, sungguh sebuah mukjizat, kami berada kembali di firdaus.”
Betapa singkat jarak antara kematian dan kebangkitan, antara neraka dan surga. Hanya 90 menit! Itulah melankoli orang-orang Italia. Hanya kemenangan anak kesayangan mereka, Squadra Azzurra, yang dengan cepat membangkitkan mereka dari kematian menuju kebangkitan.
Krisis ternyata penting bagi kesebelasan Italia. Kolumnis La Gazzetta dello Sport, Fabio Licari, menulis, Squadra Azzurra dapat merebut juara bila terimpit krisis.
Dari krisis ke krisis
Menjelang Piala Dunia 2006, sepak bola Italia geger karena skandal penyuapan dan pengaturan skor pertandingan. Pelatih Marcello Lippi beserta dua pemainnya, Gianluigi Buffon dan Fabio Cannavaro, dituntut mundur. Kendati atau malah justru karena krisis-krisis tersebut, Italia akhirnya juara dunia.
Mendekati Piala Eropa 2008, Licari khawatir jangan-jangan Italia tak bakal jadi juara. Soalnya, hampir tak ada satu krisis pun yang mendera mereka. Semuanya berjalan mulus.
Tiba-tiba mereka terpukul karena Fabio Cannavaro cedera. ”Kami kehilangan pemimpin di lapangan,” kata Daniele De Rossi. Memang kehadiran Cannavaro amatlah vital. Dia tidak hanya pembela pertahanan yang tangguh, tetapi juga dirigen yang mengarahkan permainan.
Itulah krisis pertama yang mendatangi Italia. Berikutnya datang lagi krisis, ketika oleh Belanda prestasi kejayaan mereka dicoret dari sejarah dan mereka dilumat 0-3. Kemudian Italia bermain dengan amat pas-pasan ketika ditahan imbang Romania, 1-1.
Syukurlah akhirnya krisis itu tiba. Hal ini karena krisis tersebut justru memberi daya hidup bagi mereka. ”Kekalahan membuat kita kuat”, itulah dogma sepak bola Italia, yang terus diajarkan Pelatih Italia Roberto Donadoni setelah Italia terbenam dalam krisis. Dogma itu ternyata benar. Italia mengirim Perancis ke jurang kehancuran, 2-0.
”Ini semuanya hanya permulaan,” kata bek Gianluca Zambrotta. Artinya, baru sekarang Italia menunjukkan siapa sebenarnya mereka. Dan bagi fans Italia, mereka adalah juara dunia. Maka, jalan ke arah juara pun mulai kelihatan rata. Luca Toni mengatakan, Italia telah memperoleh kembali roh kejuaraan dunia 2006. ”Kita kembali hadir, dan sekarang kita pun akan melewati sampai jalan ini berakhir,” ujarnya. Akhir jalan itu jelas: final di Vienna, 29 Juni nanti.
Kiranya duel di Vienna nanti memang tidak mudah bagi Spanyol. Namun jika tidak menang sekarang, lalu kapan lagi? Spanyol adalah negara dengan klub-klub raksasa bola, seperti Real Madrid dan Barcelona. Namun 44 tahun lamanya, sejak Piala Eropa 1964, Spanyol belum pernah meraih juara apa pun. Malah sejak 1984, mereka belum pernah lolos dari perempat final pada kancah internasional.
”Kita mesti melupakan masa lalu,” kata Pelatih Spanyol Luis Aragones. Memang, kalau tidak, mereka akan terjerat takdir yang tidak pernah menjadikan mereka juara. ”Inilah saat datangnya kebenaran,” kata Xabi Alonso.
Toh Alonso sempat berkata, ”Italia selalu mempunyai problem pada babak awal, tetapi kemudian mereka selalu menjadi lebih baik.” Tampak Alonso masih juga diliputi keraguan. Ia seakan belum sepenuhnya yakin bahwa kesebelasannya bisa melawan takdir sejarah. (Oleh Sindhunata, wartawan pencinta sepakbola)
Sumber: Kompas.Com