PIALA Eropa 2008 menorehkan sejarah baru. Dan, sejarah itu adalah sejarah Turki. Tiga kali mereka hampir mati. Tiga kali pula mereka hidup lagi. Dahsyatnya, peristiwa itu terjadi pada saat pertandingan tinggal beberapa menit lagi.
Ingatlah, di Basel, Swiss, orang mengira pertandingan berakhir seri, 1-1. Tiba-tiba Arda Turan menjebol gawang Swiss pada menit kedua perpanjangan waktu. Di Geneva, 15 menit sebelum pertandingan berakhir, Turki sudah ketinggalan 0-2 di belakang Ceko. Toh akhirnya, mereka menggilas Ceko dengan 3-2 setelah kapten Nihat Kahveci membobol gawang Ceko pada menit ke-88 dan ke-90.
Korban paling mengenaskan adalah Kroasia. Dalam perpanjangan waktu, pada menit ke-119, Kroasia merasa pasti akan keluar sebagai pemenang lewat gol Ivan Klasnic. Di luar dugaan, tiga menit kemudian, pada menit ke-122, Semih Senturk menyamakan kedudukan dan akhirnya Kroasia tergulung lewat adu penalti dengan skor 1-3.
Permainan Turki memang sulit dipahami. Mereka seakan memainkan bola yang prinsipnya adalah chaos. Kendati demikian, mereka bisa menang karena kepercayaan diri mereka yang sangat besar. ”Kami percaya akan diri kami. Siapa pun lawan kami, kami takkan panik,” kata Hamit Altintop menjelang pertandingan melawan Jerman nanti.
Kata Pelatih Kroasia Slaven Bilic, ”Turki mempunyai sesuatu yang istimewa, yang dibutuhkan orang untuk bermain sepak bola.” Mungkin sesuatu yang istimewa itu adalah kepercayaan diri tadi sebab dengan kepercayaan diri, mereka sanggup terus bermain dan menang, walau permainan mereka terjerumus ke dalam chaos dan ketidakteraturan.
Pelatih-pelatih lawan mengatakan, sulit membaca permainan Turki. Mereka melihat Turki tidak mempunyai taktik dan sistem yang jelas. Yang muncul di permukaan adalah kegigihan mereka bermain dalam chaos dan ketidakteraturan.
Tak ada cara lain untuk menghadapi permainan yang berani berisiko dengan chaos itu kecuali konsentrasi penuh. ”Konsentrasi, konsentrasi sampai peluit berakhir, itulah yang harus kami buat untuk mengalahkan Turki,” kata manajer timnas Jerman, Oliver Bierhoff.
Kendati Turki kehilangan banyak pemain inti akibat akumulasi kartu, Michael Ballack tetap mengingatkan, Turki adalah lawan yang amat berbahaya. Buat Turki, masuk ke semifinal adalah prestasi. Maka, dalam pertandingan lawan Jerman, mereka akan bermain tanpa beban. Ini tentu membuat permainan mereka makin liar, edan, dan tak terduga.
Ballack juga mengingatkan, Turki mempunyai mentalitas Jerman. Ballack agaknya benar karena sepak bola Turki mewarisi dasar-dasar sepak bola yang telah diletakkan oleh Jupp Derwall dan Sepp Piontek, yang keduanya adalah orang Jerman.
Tahun 1984 Derwall, mantan pelatih kesebelasan nasional Jerman, datang ke Turki dan mengasuh Galatasaray. Karena jasanya di bidang bola, ia mendapat gelar Doktor Kehormatan di Universitas Ankara. Tahun 1990 ia diminta untuk melatih kesebelasan nasional, tetapi ia menolak dan merekomendasikan Sepp Piontek untuk jabatan itu.
Di Turki, baik Derwall maupun Piontek dijuluki sebagai ”bapak-bapak keberhasilan”. ”Jerman adalah guru kami,” kata mantan Pelatih Turki Mustafa Denizili. Harap diingat, kesebelasan Turki kali ini juga mempunyai pemain kelahiran Jerman, yaitu Hamit Altintop yang bermain di Bayern Muenchen dan Hakan Balta di Galatasaray.
Menonton Turki, lebih-lebih pada saat akhir, memang amat menegangkan sehingga walau memuji anak-anak Pelatih Fatih Terim, pers Turki meminta, mereka tidak lagi bermain dengan mengandalkan kejutan dan keajaiban.
”Terim tercinta, melawan Jerman, kami ingin menang dengan normal. Menang tanpa keajaiban. Kami semua tegang dan capai setengah mati dengan kemenangan pada menit-menit terakhir itu,” begitu tulis kolumnis Hasan Lemal dari koran Turki, Milliyet.
Tetapi, mengapa keajaiban harus dilarang? Dan, siapa yang bisa melarang keajaiban terjadi? Toh, Turki sudah tiga kali mati dan tiga kali hidup kembali. Oleh karena itu, kalau kali ini keajaiban terjadi lagi, bibir rakyat Turki akan menggumam kembali dalam doa ini: syukur kepada Allah!
(Oleh Sindhunata, Wartawan Pencinta Sepak Bola)
Sumber: Kompas.Com