Tragedi Bloemfontein

"Gol" Lampard 2010
 
"Gol" Marko Devic 2012
Catatan Sepakbola Dion DB Putra

GELANDANG
Inggris yang absen di Euro 2012 karena cedera, Frank Lampard  tak akan melupakan Bloemfontein. Lampard melukiskan Bloenfontein sebagai tragedi bagi Inggris dan akan selalu terkenang sepanjang hayatnya. Bloemfontein dalam bahasa Belanda berarti "air mancur bunga-bunga" merupakan satu dari tiga ibu kota Afrika Selatan bersama Pretoria dan Cape Town. Nama kota ini dalam bahasa Sesotho adalah Mangaung, yang artinya "tempat para cheetah tinggal".

Tanggal 27 Juni 2010, Frank Lampard menangis di kota ini. Dalam laga melawan Jerman  di babak 16 besar Piala Dunia 2012, tembakan Lampard  menit ke-39 menembus gawang Jerman yang dikawal Manuel Neuer. Bola menerpa mistar lalu memantul ke dalam gawang. Dalam tayangan ulang televisi jelas terlihat bola telah melewati garis gawang, tapi Wasit Jorge Larrionda dari Uruguay tidak meniup peluit untuk mensahkannya sebagai gol. Saat itu Inggris tertinggal 1-2.

Lampard dan pemain Inggris ramai-ramai memprotes Larrionda. Ofisial Inggris di bibir lapangan mulai dari Pelatih Fabio Capello, asisten pelatih Stuart Pearce hingga David Beckham bangkit dari kursi, mengangkat tangan tinggi-tinggi, menggerutu sejadi-jadinya. Apa daya keputusan wasit tak bisa diganggu gugat!

Inggris sempoyongan. Mental John Terry dkk ambruk. Jerman makin garang menggilas lawan hingga 4-1, lebih telak dari kekalahan mereka 44 tahun sebelumnya. "Inggris terkena karma 1966." Begitu bunyi headline pers Jerman.
Inggris pulang dari Afrika lebih cepat dari dua edisi FIFA World Cup sebelumnya ketika The Three Lios bertahan sampai perempatfinal. "Ini lelucon. Hakim garis pura-pura tak melihat. Mereka  kembalikan kita ke tahun 1966," kata fans Inggris dikutip The Sun.  Fans lain berseru nyaring, "Kita butuh hakim garis dari Rusia!"

Rusia yang dimaksud adalah Tofik Bakhramov, hakim garis asal Uni Soviet yang memberitahu wasit Gofffried Dienst (Swiss) di final Piala Dunia 1966, bahwa bola  tendangan Geoff  Hurst menit ke-101 telah melewati garis gawang Jerman yang membuat Inggris juara dunia setelah menang 4-2.  Beda dengan Jorge Larrionda yang tidak berdiskusi dulu dengan asistennya sebelum memutuskan tembakan Lampard tidak gol. Larrionda berseru "Oh My God" melihat tayangan ulang insiden tersebut saat turun minum.

Pada tahun  tahun 1966, sebuah studi menghitung bahwa bola tendangan Hurst  masih berjarak 6 cm dari garis gawang atau belum terjadi gol. Dalam tragedi  Bloemfontein  pers Inggris menyebut tembakan Lampard sudah masuk 60 bahkan 90 cm ke dalam gawang Neuer hingga bisa samakan skor 2-2. Dalam posisi itu Inggris yakin hasil akhir bisa berbeda.

Setelah Wembley 1966 dan Bloemfontein 2012,  "gol hantu" terulang di Stadion Donbass Arena, Donetsk, Ukraina Selasa 9 Juni 2012. Dalam tragedi ketiga ini Inggris yang kegirangan. Dewi Fortuna memihaknya seperti 1966.  Dalam laga penentuan Grup D Euro 2012, bola sepakan pemain Ukraina Marko Devic sejatinya sudah melewati garis gawang Joe Hart sebelum disapu keluar John Terry. Namun wasit Viktor Kassai memutuskan itu belum terjadi gol. Ukraina akhirnya kalah 0-1 dan gagal melaju ke babak perempatfinal.

Beberapa jam kemudian pemimpin wasit UEFA asal Italia, Pierluigi Collina 
angkat bicara. Collina mengakui Ukraina seharusnya berhak atas gol tersebut.
"Kami telah membuat kesalahan," kata Collina, mantan wasit terbaik FIFA. Colina memastikan wasit Viktor Kassai serta para asistennya tidak lagi dipercaya memimpin sisa laga Euro 2012. Tapi dia enggan menyalahkan mereka. "Wasit juga manusia, dan manusia membuat kesalahan," ujarnya.

Insiden Donbass menghangatkan lagi perdebatan heboh soal perlu tidaknya memakai teknologi guna memastikan bola telah melewati garis gawang. Dunia kembali terbelah dalam dua kubu dengan aktornya, Presiden Federasi Sepakbola Eropa (UEFA), Michel Platini dan Presiden Federasi Sepakbola Dunia (FIFA), Sepp Blatter. Blatter mengatakan teknologi garis gawang menjadi harga mati untuk memastikan kesalahan serupa tidak terulang di masa depan.  "Setelah pertandingan Ukraina lawan Inggris, GLT (teknologi gawang) sangat mendesak digunakan sebagai alternatif," tulis Blatter lewat akun Twitternya.

Platini bersikukuh pada sikapnya. Dia menolak karena intervensi teknologi justru mengurangi esensi sepakbola itu sendiri. Menurutnya, penggunaan wasit kelima lebih baik dan dapat mengurangi kesalahan wasit dan hakim garis soal gol. "Dengan adanya wasit kelima, semua akan jelas terlihat. Mereka akan mengambil keputusan dengan lebih tepat," kata Platini kepada The Guardian.

Platini menekankan filosofi bola yang dianutnya yakni tidak boleh mengabaikan sisi manusiawinya. "Teknologi garis gawang sebenarnya bukan masalah. Masalah akan terjadi setelah penggunaan teknologi ini. Akan hadir teknologi yang mengatur handsball lalu memutuskan offside dan seterusnya. Tidak akan berhenti sampai di situ saja. Hal ini akan terjadi terus-menerus. Bola akan kehilangan sisi terpenting yaitu pelaku utamanya tetaplah seorang manusia biasa," kata pria Prancis ini.

Tahun 1966 wasit Dienst  baru dibantu dua asisten wasit (enam mata manusia), tahun 2012 Larrionda dibantu empat asisten (delapan mata), tahun 2012 wasit Kassai disokong lima asisten sekaligus. Bahkan satu asisten khusus bertugas di dekat garis gawang!  Mata wasit bertambah jumlahnya demi menghadirkan laga sepakbola yang lebih fair tetapi akurasinya tetap saja meleset akibat  human error.
Collina benar, wasit adalah manusia dan manusia pasti membuat kesalahan.

Kiper paling kontroversial dalam sejarah bola asal Kolombia, Rene Higuita punya pendapat sederhana. "El Loco" alias Si Gila  kelahiran Medellín, 27 Agustus 1966 itu menyentil Blatter, mainkan saja robot-robot sepakbola agar golnya akurat. "Bola mempesona karena kontroversi manusia seperti saya," demikian Hiquita. Tuan pilih yang mana, sepakat dengan Blatter atau mengamini pandangan Platini? *

Manado, 22 Juni 2012
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes