ilustrasi |
Diskusi hari itu membedah dua branding yang ditawarkan Dinas Pariwisata Kota Manado. Dinas Pariwisata menawarkan tagline Nice Manado dan Dive Manado.
"Nice Manado menunjukkan keramahtamahan yang ditawarkan oleh Kota Manado. Ini akan membuat orang akan selalu mengingatnya ketika ia berada di luar Manado. Dive Manado mengingatkan kita akan keindahan alam bawah laut di Bunaken. Kalau berdasarkan tiga B (Boulevard, Bunaken, Bibir) ada satu kata yang bersifat negatif yaitu bibir. Tapi bibir berkonotasi negatif," ujar Petter Assa, Kepala Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Manado.
Kata bibir menurut Assa sudah berkonotasi negatif karena sering dihubung- hubungkan dengan prostitusi. Orang kemudian membubui kata itu seolah-olah Manado "begitu gampang" dalam hal yang satu ini. Kenyataannya tidak demikian.
Beberapa kepala dinas yang mengikuti workshop itu mengungkapkan pandangan senada. Salah satunya Kepala Dinas Perhubungan Kota Manado, YB Waworuntu. Ia mengatakan penggunaan kata bibir itu itu ada hubungannya dengan hidup sosial. "Bibir sudah terlanjur memiliki arti kurang baik dalam masyarakat," ujarnya.
Kepala Dinas Koperasi Kota Manado, Ester Lumingkewas mengatakan bibir tidak cocok diterapkan sebagai dasar pembuatan branding Manado. Sejak lama diksi bibir acap diolok-olok orang luar karena mengambarkan profil umum perempuan Manado yang supel, ramah dan enak diajak ngobrol oleh para tamu. Diksi bibir berkonotasi negatif itu jelas tidak sejalan dengan kenyataan Manado sebagai kota yang religius.
Usul untuk meminta pendasaran yang lain juga disampaikan Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga J Sondakh dan Kepala Dinas Tata Kota Manado, Amos Kenda.
Camat Wenang, Danny Kumajas mengatakan image buruk tentang Kota Manado dengan kata bibir itu sudah terlanjur lama melekat di benak orang Manado maupun orang di luar Manado. Pendasaran branding itu harus hati-hati digunakan. Apalagi jika menyangkut kebijakan politik walikota dan wakil wali kota. "Ini bisa mempengarahi suasana politik," tuturnya.
Agus Sunaryo, pembicara kunci dalam workshop itu kemudian mengatakan jangan memposisikan kata bibir pada konotasi negatif. Bisa jadi itu berarti keramahtamahan. Tugas pemerintahlah dan masyarakat Manadolah yang menempatkan diksi bibir secara positif. "Saya ke Manado cari bibir dan saya menemukannya di hotel ketika tiba. Keramahan resepsionis yang menerima itu terlihat dari bibirnya yang selalu tersenyum ramah," kata Agus.
Diskusi tentang branding Manado tidak berhenti di situ. Saat membuat branding, banyak pilihan yang ditawarkan peserta workshop yang terdiri dari kepala dinas dan para pegawai. Ada lima belas tawaran yaitu Delicious City, Truly Paradise, Great Manado, Manado Mina, Nice City, Manado Mantap, Let's Go Manado, Kota Penjara, Spoon City, Experience Manado, Colorful Manado, Spectakular Manado dan Manado Whatever You Want?
Kota Penjara dan Spoon City diberikan wakil Wali Kota Manado, Harley Mangindaan untuk memenuhi harapan Agus bahwa branding harus menantang. "Kalau Spoon City bisa mengambarkan kuliner, bentuk Kota Manado yang lembah dan curamnya Bunaken," tutur Harley yang akrab disapa Ai.
Agus menginginkan kata Experience karena lebih menantang. Mereka yang datang harus mengalaminya sendiri Kota Manado. Namun, diskusi hari itu belum mengambil kesimpulan serta memutuskan pilihan. Diskusi berlanjut dengan pembahasan program setiap SKPD untuk menunjang program besar Manado sebagai Kota Ekowisata bertaraf internasional.
Dilema bibir bagi Manado agaknya masih butuh diskusi panjang. Image buruk itu mestinya bisa dikikis bukan? *
Sumber: Tribun Manado 26 Juli 2012 hal 11