Mereka tak Kekurangan Kasih Sayang

Penghuni Panti Tuna Grahita St Anna Tomohon
TATATAN mata Lusi Faot (16) tampak kosong ketika duduk di ayunan taman bermain Panti Grahita Santa Anna, Kota Tomohon, akhir pekan lalu.

Jumat (20/7/2012) sore itu, meski duduk di ayunan tak ada niat Lusi memainkannya. Dia termenung sambil sesekali tersenyum.

Lusi merupakan satu di antara 50 klien di Panti Grahita Santa Anna. Tak seperti anak normal umumnya, Lusi dan anak-anak di Santa Anna mengalami kondisi keterbelakangan mental atau retardasi mental dengan tingkat berbeda. Lusi merupakan salah seorang yang retardasi mentalnya paling memprihatinkan.

Sore itu merupakan waktu bermain. Anak lelaki bermain bola di halaman depan, anak perempuan memilih bergoyang mengikuti irama musik caka-caka. Hanya Lusi di ayunan. Tiba-tiba Lusi berdiri dan menghambur ke dalam pelukan  Suster Felicite Lakada, Kepala Panti Grahita Santa Anna Tomohon yang baru tiba. Suster Lakada pun tersenyum menyambut Lusi yang terlihat manja dalam pelukannya.

Suster Lakada mengungkapkan, beginilah anak-anak Santa Anna menghabiskan keseharian mereka. Semua aktivitas sudah dijadwalkan dengan pengawasan penuh para pengasuh. Masa depan yang didambakan anak-anak normal serasa jauh dari jangkauan Lusi dkk. Membuat mereka bahagia merupakan cita-cita Suster Lakada dan 12 pegawai Santa Anna.


Suster Lakada tak pernah lupa 23 Juli merupakan hari spesial baginya karena  di hari itu ia bisa merayakan hari anak bersama penghuni Santa Anna. "Hari anak belum menggema seperti hari Ibu dan hari lainnya. Anak-anak khususnya di Santa Anna tak bisa dipungkiri kurang mendapat perhatian orangtua," ujar Lakada.

Suster Lakada mencontohkan, Lusi misalnya, gadis itu seorang piatu, sejak kecil diasuh di Santa Anna. Ayah Lusi menikah lagi, sementara ibu tiri tak menghendaki Lusi tinggal di rumah. Santa Anna pun jadi tempat labuhan hidup Lusi.

Kata Suster Lakada, Lusi beda dengan anak lainnya, hampir tiap hari dia menangis tanpa sebab jelas "Tiap malam menangis, dia (Lusi) bicaranya tidak jelas, ditanya pun  diam saja, kadang dia menangis sampai lelah dan tertidur," tuturnya. Meski begitu, Suster Lakada ingin di Santa Anna, anak-anak tersebut tak  kekurangan kasih sayang.

Memperingati Hari Anak Nasional, Santa Anna mengadakan kegiatan bersama. Di tempat Lakada berdiri bersama Lusi pun didatangi dua klien Santa Anna lainnya.

Seorang bernama Margaretha Sumampow (16). Gadis itu pun senasib dengan Lusi.
Ia dibawa neneknya ke Santa Anna 11 tahun silam, namun beberapa tahun belakangan kabar keberadaan keluarga Margereta  tak lagi jelas "Dia (Margaretha) di sini sejak usia 5 tahun. Awalnya keluarga sesekali datang. Di usia 9 tahun sudah tidak lagi. Sekarang malah keluarganya tidak tahu di mana," ujar Lakada.

Margaretha pun terlihat akrab dengan Suster Lakada. Meski tak jelas perkataan gadis itu, Suster Lakada coba mencerna maksudnya "Oh dia bilang mama mati. Ia, ibunya memang sudah meninggal," ujar Lakada. Meski aktif, Margaretha hampir tak punya harapan untuk keluar dari keterbelakangan mental. Kata Lakada, sebenarnya gadis itu punya rambut panjang terurai, namun digunting sendiri sampai habis "Aduh ini malah sudah bertumbuh, lalu habis digunting," tuturnya.

Ia mengungkapkan, emosi anak keterbelakangan mental cenderung tidak stabil, ada kalanya masalah sepele bisa memicu sikap agresif "Tak jarang barang-barang, pintu, jendela dirusak. Kadang saling senggol saja langsung ribut," katanya.

Gambaran-gambaran sifat agresif, pendiam dan kurang bersosialisasi tak semuanya dimiliki anak- anak Santa Anna. Monica Lepong (9) misalnya, gadis cilik asal Banggai Luwuk ini sekilas terlihat normal namun Monica termasuk kriteria educable atau mampu didik. Dalam kemampuan akademik Monica setara dengan anak kelas 5 SD. Meski tak lancar, ia bisa membaca, menulis. Ia pun tampak lincah dan riang ketika menghampiri Suster Lakada.

Monica punya cita-cita ingin j seperti Suster Lakada "Kalau besar mau jadi suster," ujar Monica tersenyum sembari berlalu. Setidaknya meski jauh dari kenyataan, ada keinginan anak-anak Santa Anna menjadi sesuatu yang dicita-citakannya, bahkan kata Suster Lakada, ada yang ingin menjadi dokter, tentara, polisi, pastor bahkan pilot.  "Kalau bicara soal cita-cita mereka punya, semangat sekali mereka membicarakan soal cita- cita," demikian Lakada.

Sejak pukul 05.00

Keseharian anak-anak Santa Anna dimulai sejak bangun pukul 05.00 pagi. Mereka memulai hari dengan ibadah dan sarapan. Kemudian, mandi dan berangkat ke sekolah khusus di samping asrama. Menurut Asteria Sri Tandiala, Sekretaris Santa Anna, anak-anak tuna grahita  mengenyam pendidikan.  "Kelasnya kita pisah yang mampu didik dan mampu latih. Yang sulit itu anak mampu latih," kata Asteria.

Usai sekolah, klien Santa Anna makan  dan tidur siang. Sekitar jam 4 sore, waktunya bermain, menunggu jadwal makan malam dan tidur.

Suka duka pun dirasakan pengasuh di Santa Anna. Menurut Feronica Rotikan, pengasuh Santa Anna. Ada rasa bahagia dalam keseharian Feronica bisa mengasuh klien Santa Anna, meski kadang emosinya muncul akibat ulah mereka "Seringkali susah diatur. Banyak kali mereka berontak, makanya hampir tiap bulan pintu, jendela, barang-barang rusak," ujarnya tersenyum

Anak-anak tersebut kata Feronica pun butuh kasih sayang "Mereka itu kadang maunya dimanja, datang minta dipeluk," katanya. Tiap hari tiba waktunya bekerja, kata ibu dua anak ini, selalu muncul kerinduan ingin cepat bertemu penghuni Santa Anna "Kerja di sini merupakan pelayanan kami kepada Tuhan. Saya sayang mereka sama seperti anak sendiri," tuturnya. (riyo noor)

Nasib Anak Sulut

Balita Terlantar:     6.116 orang
Anak Terlantar:  222.608 orang
Anak Nakal     :    46.302 orang   
Anak Jalanan  :       1.696  orang
Anak Butuh Perlindungan Khusus: 98 orang
Sumber: BP3A Provinsi Sulut 2011


Sumber: Tribun Manado 23 Juli 2012
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes