KUPANG, PK -- Rekahan tanah akibat pergeseran kulit bumi yang terjadi di wilayah Kecamatan Fatuleu- Kabupaten Kupang, sudah mencapai sekitar 12 kilometer mulai dari Desa Oebola Dalam sampai ke wilayah Bipolo.
Bergesernya tanah sejak Februari 2009 itu, sejauh ini sudah menimbulkan longsor di beberapa tempat, termasuk Desa Tolnaku yang merusak rumah-rumah penduduk dan memaksa warga setempat mengungsi.
Pantauan Pos Kupang, Jumat (5/6/2009) di Dusun I Pua'ana, terlihat rekahan yang memanjang dari utara ke selatan. Menurut warga setempat, tanah dengan kemiringan sekitar 10-15 derajat itu terus bergerak. Awalnya menimbulkan retakan kecil namun makin lama makin lebar dan dalam membentuk rengkahan. Lempengan wilayah yang bergerak turun itu membuat batu-batu berpindah tempat, pohon-pohon mulai miring dan ada yang sudah tumbang. Di beberapa titik terlihat seperti longsor.
Kerusakan paling parah terjadi pada pemukiman warga. Di Dusun Pua'ana itu terdapat 26 rumah warga yang hancur akibat longsoran, satu di antaranya tertimbun tanah. Gedung Gereja Kemah Injil Koinonia Pua'ana bahkan bergeser dari tempatnya semula, sejauh sekitar 100 meter dan ambruk rata tanah. Warga setempat sudah mendapat bantuan tenda guna membangun tempat darurat untuk ibadah.
Bentangan longsor yang memanjang dari utara ke selatan nampak berada persis di tengah-tengah tiga batuan besar masing-masing batu Nekon, Bolbesi dan Fatumonas. Di kaki batu-batu ini merupakan hulu dari longsoran itu. Longsoran ini bisa mengancam warga hingga wilayah Bipolo dan sekitarnya.
Di Desa Tolnaku, luas wilayah longsoran mencapai sekitar 400 meter persegi dan tidak lama lagi lokasi pemukiman itu hanya tinggal kenangan. Tidak bisa dihuni lagi karena porak poranda. Sejauh mata memandang, kampung yang yang dulunya dipenuhi rumah warga dan tanaman pekarangan maupun perkebunan lainnya, kini tersisa puing-puing.
Sementara di Desa Oebola Dalam, rengkahan tanah dan longsor di beberapa titik sudah "mengobrak-abrik" ratusan pohon jati milik warga. Longsor dan rengkahan tanah sudah membentuk genangan air seluas 50-60 meter persegi. Air yang tergenang dalam longsoran itu tetap keruh meski tidak ada hujan.
Belahan-belahan tanah yang pecah itu tidak beraturan dengan lebar pecahan atau keretakan mencapai 1-2 meter dan dalam 1,5 meter. Tepat di antara longsoran itu terdapat sebuah sungai yakni Sungai Fatutasu. Alur sungai ini sebagian sudah tertimbun bongkahan tanah yang runtuh.
Pergerakan tanah itu pun mengakibatkan dataran di bawahnya yang selama ini dipakai untuk areal persawahan, muncul gundukan tanah baru.
Warga sudah mengungsi dari rumah mereka yang sudah rusak dan kini mereka membuat rumah darurat berdinding bebak dan atap daun lontar dengan ukuran 5 x 4 meter persegi.
Camat Fatuleu, Batarudin Rosna yang ditemui terpisah meminta warga tetap waspada. "Pantauan kami terakhir, longsor sudah mencapai 10 sampai 12 kilometer," kata Rosna. (yel)
Sehari Bergeser 1 Meter
DUSUN Puaana di Desa Tolnaku dihuni 117 warga. Wilayah dusun itu, mungkin akan tinggal nama. Rumah- rumah tinggal puing. Pepohonan pada miring sana-sini di sela-sela bebatuan dan bongkahan tanah yang longsor.
Kini semua warga sudah pindah. Dalam trauma dan was- was mereka memetik hikmah bencana itu. Bahkan warga menyatakan syukur karena longsor tidak terjadi sekejab. Mereka yakin itu adalah campur tangan Tuhan.
"Kalau Tuhan tidak tolong kami maka saat kejadian itu kami semua pasti meninggal, namun rencana Tuhan begitu indah sehingga kami bisa luput dari bencana itu," kata
Fredik Mau kepada Pos Kupang di lokasi pemukiman baru. Di sana, warga secara gotong royong membuat rumah sangat sederhana untuk tinggal.
"Kalau saat itu longsor datang satu kali dengan cepat maka tidak tahu apakah kita masih bertemu atau tidak," katanya.
Karena tanah yang tadinya hanya retak kemudian timbul rengkahan, katanya, maka warga berkesempatan mengevakuasi barang-barang mereka dari dalam rumah untuk dipindahkan ke tempat yang aman.
Longsor pertama kali terjadi pada hari Kamis 12 Juni 2009. Longsor terjadi pada malam hari dan tidak disadari warga. Keesokan pagi sampai siang, warga terperangah karena tanah semakin bergerak turun, bergeser dan mulai timbul rengkahan. Pohon-pohon mulai terlihat miring, tanah mulai runtuh. Warga bergegas memindahkan barang-barangnya, termasuk ternak.
"Saya akhirnya membuat tanda dengan menancap batang kayu di sekat bibir retakan tanah. Satu hari saya lihat retakan makin mendekati kayu dan dua hari kemudian sudah mencapai kayu yang saya tanam itu. Akhirnya saya tempatkan patok lagi dengan jarak enam meter dan pada hari keenam pergeseran lempengan tanah yang longsor itu sudah mencapai patok tersebut sehingga saya perkirakan dalam satu hari pergeseran itu mencapai satu meter," jelasnya.
Benyamin Kono dan Gabriel Kase, dua warga setempat, menuturkan, warga bersyukur kepada Tuhan karena bencana yang menimpa mereka tidak sama seperti tanah longsor di tempat lain yang terjadi begitu mendadak dan singkat sampai menelan banyak korban jiwa.
Keduanya mengatakan, kejadian yang sama pernah dialami tahun 1975 silam namun itu akibat gempa bumi.
Sungai Bawah Tanah
Longsoran yang terjadi di Desa Oebola dalam dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu, Kabupaten Kupang karena adanya pergeseran kulit bumi. Pergeseran itu, menurut data base yang ada di Lembaga Penelitian Indonesia (LIPI) Jakarta, akibat kondisi tanah yang pada lapisan atasnya berupa batu kapur dan di bagian bawahnya terdapat tanah lempung yang berupa rongga-rongga.
Melalui rongga-rongga tanah itu ada aliran air atau sungai di bawah tanah. Kemungkinan longsoran terjadi karena adanya amblasan pergeseran bebatuan disebabkan karena ada sungai di bawah tanah.
Demikian Kepala Bagian Sosial Kabupaten Kupang, Dominggus Bulla, kemarin, mengutip penjelasan tim peneliti dari Badan Geologi Nasional Bandung yang telah meneliti wilayah yang saat ini terkena longsor. Bulla mendampingi tim peneliti itu saat berada di lokasi penelitian di daerah block sistim atau daerah patahan, termasuk di Desa Oebola dan Dusun Nunpisa Kecamatan Fatuleu.
Bulla menjelaskan, longsor di Oebola dan Dusun Nunpisa itu tidak ada korban jiwa. Warga mengalami kerugian antara lain rusaknya rumah dan harta benda lainnya. "Saat ini semua warga telah di pindahkan ke tempat pengungsian," katanya.
Panjang longsoran, katanya, diperkirakan mencapai 10 - 14 km. Sedangkan panjang patahan bisa mencapai puluhan kilometer.
Sesuai penjelasan tim peneliti, katanya, tanah akan terus bergerak dan diikuti longsoran. Bila longsoran terus terjadi maka, 63 KK atau 240 jiwa yang tinggal di Dusun IV Kiusak, Desa Oelatimo Kecamatan Kupang Timur, juga akan terancam. "Saat ini lokasi bencana tanah longsor sudah sampai di perbatasan antara Kecamatan Fatuleu dan Kecamatan Kupang Timur dan kecamatan Amfoang Tengah," katanya.
Ditanya tentang bantuan yang sudah diberikan Bulla mengatakan, Pemkab telah memberikan bantuan yang sifatnya darurat yakni 500 kg beras 300 kg kacang hijo. Sedangkan, bantuan jangka panjang yang sangat dibutuhkan yakni sarana dan prasarana, relokasi serta sarana air bersih.
Bulla mengimbau kepada warga di sekitar daerah bencana agar tidak membaut pemukiman baru di sekitar wilayah longsoran. Apabila hujan, warga dilarang melintas di kawasan yang labil karena sesewaktu akan runtuh. (yel/den)
Pos Kupang 6 Juni 2009 halaman 1