SELASA, 6 Juli 2010. Dua bom molotov meledak di Kantor Majalah Tempo di Jalan Proklamasi No. 72 Menteng- Jakarta Pusat. Bom dilempar dua orang tak dikenal sekitar pukul 02.40 WIB. Bom meledak tepat di kaca depan kantor Tempo. Bom dilempar dari jarak sekitar 10 meter.
Satpam melihat dua orang mengendarai sepeda motor bebek, pakai jaket gelap dan menutup wajah dengan helm. Tidak ada korban jiwa, namun pelemparan bom itu merupakan teror terhadap pers. Bom itu meledak hanya beberapa hari setelah Majalah Tempo menurunkan liputan utama tentang Rekening Gendut milik sejumlah perwira polisi. Sampai detik ini polisi belum mengungkap siapa pelempar bom. Zero progress. Tidak ada perkembangan sama sekali!
JUMAT, 30 Juli 2010. Ardiansyah Matra'is (25), wartawan Merauke TV di Kabupaten Merauke, Papua, ditemukan tewas terapung di aliran Sungai Marau di kawasan Gudang Arang. Hasil otopsi menunjukkan ada bekas penganiayaan.
Sebelum Matra'is ditemukan tewas telah beredar pesan singkat (SMS) melalui telepon seluler berisi ancaman pembunuhan terhadap wartawan di Merauke. Ancaman terkait proses Pemilihan Umum Kepala Daerah Merauke Agustus 2010. Hampir sebulan ini polisi belum berhasil mengungkap siapa pembunuh Matra'is.
SENIN, 2 Agustus 2010. Saat melakukan tugas jurnalistik, tiga orang wartawan, Melky Pantur (Suara Flores), Ferdinan Ambo (TVRI NTT) dan Maksi MD (Sukses Indonesia), dikeroyok beberapa oknum pegawai negeri sipil (PNS) di ruang kerja Kepala Puskesmas Beokina, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Selain dipukul, perangkat kerja para jurnalis seperti kamera dirusak, tas dan kartu pers pun dirobek oknum PNS di Puskesmas Beokina, sekitar 15 kilometer dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai.
Dalam kesakitan para wartawan lari dari Puskesmas itu meninggalkan sepeda motor. Mereka masuk hutan kemudian ke jalan raya dan menumpang sepeda motor ojek menuju RSUD Ruteng. Pantur menderita lebam dan memar pada bagian wajah, hidung dan teliga. Dia juga mengaku pusing dan sesekali kesulitan bernapas akibat gebukan. Ambo sakit di leher karena dicekik. Maksi MD hanya dibentak.
JUMAT, 13 Agustus 2010. Kasus pembunuhan wartawan Harian Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syafrudin alias Udin menjadi noda hitam dalam sejarah pers Indonesia. Kasus Udin kadaluarsa secara hukum karena telah berusia 14 tahun. Jelas tidak akan pernah lagi pengadilan untuk mengungkap kematian Udin. Kasus penganiayaan Udin terjadi Selasa, 13 Agustus 1996. Belasan tahun pembunuh Udin tidak bisa diungkap aparat penegak hukum Indonesia. Udin kuat dugaan dihabisi dengan keji karena karya jurnalistiknya pada tahun 1995-1996 mengeritik ketidakberesan penguasa di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
SENIN, 16 Agustus 2010. Walikota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, H Muhidin menilai profesi wartawan itu hina. Bahkan berdosa karena wartawan suka mengoreksi kesalahan orang lain (kontrol sosial). "Pekerjaan wartawan itu berdosa," kata Muhidin usai memimpin apel perdana di lingkungan Pemkot Banjarmasin. Dia tidak sedang bercanda karena menyatakan siap kalau pers menuntutnya secara hukum. Muhidin baru dilantik sebagai walikota 12 Agustus 2010. Bayangkan, pejabat publik menilai profesi jurnalis menunaikan peran social control sebagai pekerjaan hina. Yang linglung itu siapa?
SABTU, 21 Agustus 2010. Ridwan Salamun, wartawan SUN TV (grup MNC), Wilayah Tual Maluku Tenggara, tewas saat meliput perkelahian dua kelompok masyarakat di daerah itu. Ridwan tewas akibat luka tebasan parang di kepala. Ia menghembuskan napas terakhir sekitar pukul 08.00 WIT dalam perjalanan menuju rumah sakit. Ridwan sedang meliput bentrokan antara warga Banda Eli dan warga dusun Mangun, Desa Fiditan, Tual. Seseorang dari salah satu kelompok yang bertikai menyabetkan parang ke kepalanya.
Tuan dan puan, beta sengaja merilis "catatan harian" di atas sekadar menyegarkan ingatan betapa barbarisme itu nyata dalam keseharian kita. Kita baru saja merayakan HUT ke-65 kemerdekaan RI. Usia itu mestinya makin matang. Faktanya perilaku warga bangsa masih jauh dari tata aturan masyarakat beradab. Kekerasan fisik dan verbal diproduksi hari demi hari. Bukankah itu ciri bangsa barbar?
Ketika mengenang Udin yang kasusnya telah tertutup secara hukum dan melihat koruptor kelas kakap mendapatkan remisi serta grasi presiden untuk menghirup udara bebas dalam tempo sesingkat-singkatnya, hati sungguh teriris perih. Rasa keadilan terusik. Ketika mendengar niat perpanjang periodisasi masa kepresidenan dari dua menjadi tiga, mau dibawa ke mana negeri ini?
Wartawan jelas tidak sempurna dalam menunaikan profesinya. Pasti ada salah dan khilaf. Tapi mestikah dibalas dengan kekerasan bahkan sampai menghilangkan nyawa? Dalam sebulan dua wartawan Indonesia tewas. Inikah misi reformasi? Data PWI dan AJI menunjukkan trend kekerasan terhadap jurnalis meningkat drastis. Tahun 2009 hanya enam kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tahun 2010 (Januari- Agustus) sudah 14 kasus. Fakta itu memberi pesan tegas, insan pers Indonesia tidak terlindungi dalam melaksanakan kegiatan jurnalistiknya. Pers adalah kelompok paling rentan terhadap tindak kekekerasan, baik dari negara maupun masyarakat.
Tentu insan pers tidak minta dikasihani. Mari selesaikan setiap masalah dengan akal sehat agar negeri tercinta boleh disebut punya martabat.
Sebagai pendengar radio, tuan tinggal pilih frekwensi untuk dengar berita atau musik. Sebagai pemirsa puan tinggal utik remote control. Sebagai pembaca koran atau majalah, tinggal pangku kaki sambil menikmati secangkir kopi pagi. Sebagai penikmat media online, cukup klik dan mainkan mouse. Puan dan tuan tak pernah tahu betapa panjang dan rumit menyajikan karya jurnalistik yang mungkin cuma semenit tuan dan puan nikmati. Tuan mungkin tak peduli betapa sebagian besar dari jurnalis itu pergi pagi pulang pagi. Berkeringat mengambil gambar dan suara. Bekerja nyaris 24 jam. Karya jurnalistik adalah buah dari kerja tim yang pelik.
Dengan berkata begini, bukan maksud beta mengatakan profesi jurnalis itu lebih dari yang lain. Semua profesi pun memeras keringat. Melalui jalan berduri. Punya tanggung jawab dan risiko masing-masing. Betapa indah bila semua profesi dihargai. Saling menghargai. Diapresiasi sepantasnya. Bukan dengan pukul atau tendang. Bunuh! Untuk Udin, Ardiansyah dan Ridwan, semoga beristirahatlah dalam damai kawan. Maju terus wartawan Indonesia. Kalian diutus untuk bersaksi tentang kebenaran dan keadilan. (dionbata@gmail.com)
Pos Kupang edisi Senin, 23 Agustus 2010 halaman 1