Tugu Jepang di Penfui (foto: Hermina Pello, Juni 2011) |
KUPANG, PK -- Meski memiliki nilai sejarah, sejumlah situs dan benda cagar budaya lainnya yang ada di Kota Kupang, luput dari perhatian pemerintah daerah. Benda-benda bernilai sejarah itu tidak terawat sehingga kehilangan makna.
Situs meriam kuno di Kelurahan Kelapa Lima, tugu Jepang di Jalan Antanov, Kelurahan Penfui serta pemakaman Raja Taebenu di RT 3 RW 1, Kelurahan Manutapen, adalah contohnya. Meski terletak di tengah permukiman warga, kondisi situs merim kuno itu sangat kotor. Hampir semua sisi meriam terdapat coretan dari pilox. Lantai areal situs pun banyak terkelupas.
Coretan juga menutup papan putih milik Departemen Pendidikan Nasional Kantor Budaya NTT yang menyatakan situs sebagai benda cagar budaya. Parahnya lagi, kawat duri yang mengelilingi situs itu sudah terkoyak sehingga memudahkan orang leluasa masuk ke arena situs.
Makam Taebenu (foto: N Florida, Juni 2011) |
Kondisi yang sama terjadi juga dengan situs meriam kuno peninggalan Australia yang dijaga Anton Yeri Ngale (38), sejak belasan tahun lalu. Suami Magdalena Ngale-Nafi yang tinggal di RT 11/RW 05, Kelurahan Kelapa Lima ini setiap hari membersihkan areal dua situs meriam.
Kondisi situs tugu Jepang sedikit lebih baik, lebih bersih. Sebelumnya banyak ditumbuhi rumput, kini sudah dibersihkan sehingga tidak menghalangi pandangan ke arah situs. Situs tugu Jepang yang berundak-undak, berbentuk segi empat. Lokasinya dipagari kawat berduri. Pintunya dari besi, tetapi tidak terkunci. Jalan setapak menuju situs terbuat dari campuran semen.
Bagian bawah situs terdapat enam tangga, kemudian di undakan pertama ada tujuh tangga untuk menuju ke undakan kedua yang juga memiliki enam tangga. Meski lokasinya bersih, namun situs tersebut terlihat tidak terawat karena dari cat putih sudah luntur, berubah menjadi kehitaman.
Pemakaman Raja Taebenu lain lagi. Memasuki lokasinya, seolah kita ada pada lahan kosong. Lokasinya berada di atas ketinggian yang menyajikan pemandangan indah di sekelilingnya. Dari tempat makam, kita bisa melihat indahnya perairan Kota Kupang dan rumah-rumah penduduk.
Namun sayang, aset bernilai sejarah ini tampak kontras dengan keindahan panorama di sekitarnya. Kawasan ini terlihat tak terurus. Padahal di atas lahan seluas dua hektar tersebut terdapat bangunan tua yang merupakan saksi sejarah. Seperti makam batu yang berisi 13 Raja Taebenu yang konon dikubur bersama barang-barang berharga pada sekitar abad 16. Lalu ada pula dua makam istri raja yang dikubur berdampingan serta dua makam keluarga raja.
Sementara tidak jauh dari lokasi makam, terdapat puing-puing istana raja. Bentuknya sudah tidak utuh lagi dan hanya menyerupai fondasi rumah. Di atas puing-puing tersebut, tumbuh lebat pepohonan turi dan semak ilalang.
Menyusuri perjalanan sejarah dari Raja Taebenu semakin terasa lengkap ketika ada dua bongkahan batu hitam yang berjarak beberapa meter dari puing-puing tersebut. Menurut cerita, dua bongkah batu tersebut dulu dipakai sebagai tempat hukum pancung rakyat yang dinyatakan bersalah oleh raja.
Kuburan raja ini terakhir direnovasi pada tahun 2007 dan hingga kini tampak tidak terurus. Cat pada dinding kubur telah memudar dan dihiasi oleh coret-coretan tangan jahil. Prasasti pada pintu batu yang menuliskan keterangan mengenai 13 raja sudah tidak dapat terbaca lagi.
Kondisi serupa juga terlihat pada kubur para istri sang raja. Pagar dan atap sengnya sudah karatan. Bahkan di atas seng, ada beberapa buah batu yang diduga merupakan hasil lemparan dari orang yang tidak bertanggung jawab.
Begitupun dengan jalan setapak yang juga tidak terurus. Beberapa semennya mulai pecah dan menyisakan kerikil tajam di sana-sini. Demikian pula pos penjagaan yang berada di pintu masuk. Termasuk dua papan nama informasi yang terbuat dari tripleks. Yang masih tersisa hanya tulisan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi NTT, Jalan Soeharto Nomor 57 Kupang. Sementara yang satu lagi, malah tidak terlihat apa pun.
Kondisi yang memrihatinkan ini semakin diperparah dengan tumbuh suburnya ilalang di seluruh kawasan itu. Menurut juru pelihara, Dominggus Bapa mengatakan bahwa aset ini belum pernah dibenahi lagi. Proses rehabilitasi terakhir diakuinya hanya pada tahun 2007 lalu. Itu pun hanya pengecatan saja.
"Saya hanya bertugas menjaga saja. Sementara untuk perbaikan renovasi itu sudah tanggung jawab pemerintah. Dulu makam ini di bawah pengawasan PPO Propinsi, namun sekarang sudah diserahkan ke Disbudpar Propinsi sejak tahun 2009," jelas Dominggu saat ditemui, Sabtu (18/6/2011).
Sekalipun tidak terurus, Dominggus Bapa mengatakan sudah ada beberapa wisatawan yang datang mengunjungi makam tersebut. Ia menambahkan, sejarah para Raja Taebenu ini diceritakan secara turun temurun dari masa ke masa. Sementara dokumen lengkapnya kini tersimpan rapi di museum Belanda. (ira/aly/ii)
Gua dan Bunker Jepang
Bungker Jepang di Nun Baun Delha (foto: Hermina Pelo) |
Tiga gua terdapat di wilayah RT 13 RW 07, letaknya saling berdekatan. Gua Jepang tersebut berada di pekarangan milik warga dan ketiganya masih meninggalkan besi tempat meriam di mulut gua. Dalam gua berkisar tiga sampai empat meter dengan lebar mulut gua hampir mencapai dua meter.
Di dalam gua yang berhadapan dengan mulut gua, terdapat semacam tembok yang tingginya sekitar 50 cm, sedangkan sisi gua alam dan tidak ada tembok. Di sisi kanan dari gua tersebut terdapat lubang atau terowongan.
Gua yang terletak di lahan milik Keluarga Yacob di bagian depannya dan atas serta bagian kiri kanan terdapat tanaman yang disebut air mata broit. Sementara gua Jepang di pekarangan milik Ibu Helena Dara Nguru bagian depannya lebih bersih dan tidak ada tanaman. Helena Nguru, mengungkapkan pemerintah Kota Kupang tidak pernah memperhatikan gua tersebut.
"Kami tahu bahwa itu gua Jepang, dan anak anak sering bermain di dalamnya. Dulu ada semacam besi yang berada di mulut gua tetapi pada tahun 1980-an ada yang datang mengambil besi bagian atas sehingga sekarang ini hanya ada besi yang diduga sebagai tempat untuk menaruh meriam," ujar Helena Dara Nguru.
Selain di pekarangannya, ada juga gua yang terletak di pekarangan milik keluarga Jacob dan Diratome dan ada juga yang berada di RT lainnya. Jumlah semuanya ada lima gua. "Gua gua ini saling berhubungan satu dengan yang lainnya karena ada terowongan tetapi kami tidak pernah masuk ke dalamnya karena gelap. Kami tidak buat apa-apa terhadap gua tersebut," ungkapnya.
Selain gua, juga ada bungker atau benteng pertahanan yang dibuat tentara Jepang pada masa perang dunia kedua. Umumnya, bungker dibangun di dataran tinggi, menghadap ke laut. Bungker terbuat dari campuran semen. Sampai saat ini, kondisi bungker masih bagus.
Bungker dibangun dari dalam tanah dan hanya bagian permukaannya yang sedikit tersembul keluar. Ada bungker yang dibangun dalam tanah dan seluruh bagian permukaannya tertutup tanah.
Setiap bangunan atau bentuk bungker dibangun dalam bentuk yang berbeda. Ada bungker yang hanya memiliki satu pintu masuk dan satu buah jendela dan bungker lainnya memiliki dua pintu masuk serta dua buah jendela, mirip seperti lubang angin pada bangunan rumah.
Kelurahan Oesapa merupakan wilayah yang terdapat banyak bungker. Ada enam bungker. Dari enam buah bungker tersebut tiga buah bungker berada dalam satu lokasi yang sangat berdekatan. Dua bungker berada dalam tanah dan satu buah bungker lainya berada di sisi Jalan Adi Sucipto. Jarak antara tiga buah bungker hanya sekitar tiga meter.
Bungker di sisi Jalan Adi Sucipto memiliki satu pintu masuk dari depan dan memiliki dua buah lubang angin di bagian samping dan bagian belakang. Lebar dan tinggi pintu masuk sekitar 60 x 60 centimeter (cm). Sedangkan lebar dua buah lubang angin sekitar 20 x 20 Cm. Sementara lebar dan tinggi bungker sekitar 2 x 2 meter, sama lebar dengan bagian dalam bungker.
Pintu masuk bungker agak menjorok ke depan sekitar satu meter dari badan bungker. Dua bungker lainnya dibangun di dalam tanah. Bungker ini memiliki dua pintu masuk dan buah jendela. Untuk masuk ke dalam bungker ini harus turun ke dalam tanah, sekitar satu meter lebih. Jarak kedua bungker ini sekitar tiga meter lebih. Satu buah bungker lainnya berada di sisi jalan antara Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen (STIM) dan Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN). Kondisi bungker ini sama seperti bungker yang berada disisi jalan Adi Sucipto.
Satu buah bungker lainnya yang berada dalam tanah berada sekitar dua ratus meter dari depan SMAN empat Kupang. Bungker ini hanya memiliki satu pintu masuk tetapi memiliki dan buah jendela. Lebar jendela sekitar 40 x 40 meter. Untuk masuk ke dalam bungker ini harus turun ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar satu meter. Sementara satu buah bungker lainnya, berada sisi jalan masuk menuju SMAN empat, sekitar seratus meter dari Jalan Adi Sucipto. Bentuk bangunan bungker ini menyerupai bak air ukuran tiga kali dua meter. Dua buah pintu masuk ke dalam bungker berada di atas permukaan bangunan.
Sama seperti situs, bungker dan gua juga luput dari perhatian pemerintah daerah. Yang terlihat dalam bungker hanya batu-batu karang dan kotoran manusia yang sudah mengering. Sementara di bungker lainnya persis di pintu masuk tumbuh beberapa pohon yang menghalangi pintu masuk ke dalam bungker. (ira/den)
Pos Kupang, Senin 20 Juni 2011 halaman 1