Turki kalah, tapi kalah dengan terhormat. Tanpa beberapa pemain intinya, mereka tetap bermain dengan cemerlang dan terus-menerus membuat kalang kabut Jerman.
Seperti sudah diduga oleh Joachim Loew, malam itu Turki memainkan bola yang sama sekali tak bisa diduga. Permainan Turki digerakkan oleh emosi yang menjilat-jilat. Tapi, mereka tak terbakar oleh emosi itu. Malahan dengan dingin rasio mereka mengendalikan permainan.
Kendati demikian, permainan mereka tak pernah terikat pada struktur rasional yang sistematis dan kaku. Kata Loew, prinsip permainan mereka selalu berubah. Anak-anak Turki selalu pandai menciptakan ruang, kebebasan, dan kreativitas.
Menghadapi Turki malam itu, Jerman benar-benar kewalahan. ”Kaki kami rasanya sulit bergerak,” kata kapten Michael Ballack, yang malam itu tak banyak berkutik. ”Turki terus mendapat angin. Mereka sungguh membuat hidup kami sulit,” aku Philipp Lahm.
Turki memang bermain hebat. Pemainnya seperti tukang sulap. Mereka bermain dari trik satu ke trik lainnya. Betapa pemain Jerman mudah terkelabui oleh trik-trik itu, sampai akhirnya trik itu berubah menjadi gol yang diceploskan Ugur Boral.
Kehebatan Turki tentu tak terlepas dari pelatihnya, Fatih Terim. ”Ia bisa memberikan motivasi luar biasa kepada kami. Ia membuat kami berkobar-kobar. Ia bilang, kami semua kuat. Ia seperti bapak bagi kami. Ia adalah pelatih terbaik yang pernah saya miliki,” kata Semih Senturk.
Terim memang jago dalam menyuntikkan motivasi. Para pemainnya meyakini kata-katanya, seperti para penganut agama meyakini iman yang dikhotbahkan oleh dai atau ustadznya. ”Kami tak mempunyai ketakutan untuk kalah dan kami takkan pernah menyerah,” kata Hamit Altintop.
Pantang menyerah, itulah doktrin sepak bola Terim. Maka, walau banyak pemain inti cedera atau terkena akumulasi kartu, Terim tetap bertekad menang. ”Cedera bukan alasan untuk minta maaf jika kami kalah,” katanya.
Terim hanyalah anak pedagang kecil. Masa kecilnya banyak ia lewatkan di jalanan dengan bermain bola. Maka, ketika kemudian menjadi Pelatih Turki, ia dijuluki ”Imparator Jalanan”. Pantas jika beberapa pengalaman keras dan sifat ”jalanan” itu kemudian memengaruhi alam bolanya. Itu tampak, misalnya, dalam kehendak kuat untuk menang, intuisi mengambil keputusan yang benar, dan tak takut bermain liar.
Di samping itu semua, Terim juga berjiwa patriotik. ”Saya menentang eropanisasi. Eropanisasi dalam segala aspek bukanlah suatu modernisasi. Kita harus pandai memilih dan mengambil, mana yang baik dan indah bagi kami,” kata Terim.
Rindu untuk memiliki identitas yang asli itu juga ditunjukkan Altintop. Altintop lahir dan dibesarkan di Gelsenkirche, Jerman. Toh, ia memutuskan membela Turki. ”Saya tidak berhenti menjadi Turki, tak peduli di negara mana saya hidup. Karena itu, saya memutuskan bermain di timnas Turki,” kata Altintop.
Masalah Altintop dan juga Hakan Balta, yang dilahirkan di Berlin, memang sempat menimbulkan polemik politik. Politikus perempuan dari Partai Hijau, Claudia Roth, mempertanyakan, bagaimana mungkin pemain seperti Altintop dan Balta tidak masuk dalam kader timnas Jerman, padahal mereka dilahirkan dan dibesarkan di Jerman. ”Sekali lagi ini menunjukkan bahwa politik integrasi di Jerman tidaklah berfungsi,” kata Roth.
Masalah tersebut memang patut dipertanyakan. Soalnya, dalam timnas Jerman juga terdapat pemain yang tidak murni Jerman, seperti Miroslav Klose dan Lukas Podolski, yang berasal dari Polandia. Mengapa pemain yang berdarah Turki dan dilahirkan serta besar di Jerman sampai sekarang belum pernah main untuk timnas Jerman?
Syukurlah, masalah perbedaan ras ini tidak merebak sampai ke dalam dunia sepak bola. Sejak tahun 1998, Turki sendiri malah membentuk tim pemandu bakat, yang bertugas mencari pemain-pemain berbakat berdarah Turki yang bermain di liga Eropa. Semboyan tim ini dirumuskan Erdal Keser, profil berdarah Turki yang pernah merumput di Bundes Liga. Semboyan tersebut berbunyi, ”Disiplin dan Hati—Kami mesti memadukan apa yang terbaik dari kedua kultur.”
Itulah sepak bola. Kendati tiap kesebelasan nasional mempunyai ciri khas, identitas, dan rasa nasionalisme, mereka tetap hanya mempunyai satu bahasa, yakni bahasa bola. Bahasa bola itu hanya bisa mempersatukan, tak pernah memecahkan. Betapa pun pertandingan Jerman melawan Turki kemarin sarat dengan emosi nasionalisme dan perbedaan identitas, toh pertandingan itu berjalan dengan damai dan fair karena masing-masing memakai satu-satunya bahasa, yakni bahasa bola.
”Kedamaian dan kesatuan itu adalah warna dari kehidupan. Namun, betapa jarang kita menemui hal demikian dalam kehidupan. Hanya bola yang bisa memberikannya. Karena itu, bagaimana saya bisa tidak mencintai bola,” kata penulis roman Turki, Mario Levi. Memang, alangkah indahnya jika dunia yang penuh persaingan dan perbedaan ini bisa hidup damai seperti dalam dunia sepak bola. (Oleh Sindhunata Wartawan Pencinta Sepakbola)
Sumber: Kompas.Com