Pulau Marampit (riz @TM) |
Meskipun KRI Teluk Lampung yang mengangkut 72 prajurit telah meninggalkan dermaga puluhan meter, namun para istri, anak, dan kekasih mereka tetap melambai-lambaikan tangan dari dermaga. Terlihat di antara mereka ada yang meneteskan air mata. Lambaian tangan itu dibalas para prajurit yang berdiri di pagar besi dek kapal perang KRI Teluk Lampung. Sulit dipungkiri mereka berat hati melepas keluarga tercinta.
Praka Daud Halik asal Kompi Senapan A Tateli mengakui hal itu. Demi menjalankan tugas di tapal batas negara, dia berpisah dengan putri bungsunya, Afikha Halik, yang baru berusia tiga bulan. "Rasa rindu pasti akan ada. Apalagi putri bungsu saya masih kecil sekali dan sedang lucu-lucunya. Tapi ini panggilan negara, saya harus siap ditugaskan kapan dan di mana saja," ujarnya kepada Tribun Manado yang ikut serta dalam KRI Teluk Lampung dalam pelayaran ke perbatasan Filipina.
Tahuna |
Praka Daud berharap agar si kecil tidak sakit. Sebab meskipun rekan-rekan di kompinya pasti siap membantu tapi jika terjadi apa-apa, pasti akan mempengaruhi kinerjanya selama bertugas di perbatasan RI-Filipina.
Berbeda dengan Danton Satgas Pamtas 2011, Lettu Inf Ahmad Rido yang justru merasa senang. Setelah bertugas selama lebih dari enam bulan di perbatasan, akhirnya ia segera bertemu istri tercinta yang baru sebulan lalu melahirkan putra pertama mereka, Muhammad Yudha di Cianjur, Jawa Barat.
"Saat istri melahirkan pada Mei lalu, saya tidak mendapat izin lepas tugas dari komandan. Meski kecewa namun saya bersuka cita karena anak lahir dalam kondisi sehat. Lagipula komandan saya menjanjikan bahwa pergantian pasukan sudah tak akan lama lagi," tuturnya.
Perpisahan di Bitung 1 Juli 2012 |
***
SEJAK meninggalkan Bitung 1 Juli 2012, perjalanan ke tapal batas RI-Filipina memakan waktu selama enam hari. Perjalanan ini sangat berkesan. Setelah 52 jam kapal limbung dihantam gelombang yang mengganas terutama di sekitar perairan Miangas, akhirnya kapal memasuki Teluk Tahuna yang tenang, Kamis (5/7/2012).
Seharusnya Selasa malam (3/7/2012), KRI Teluk Lampung 540 bersandar di Dermaga Miangas, Kabupaten Talaud untuk mengangkut 8 prajurit Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) yang sudah 7 bulan bertugas. Namun kondisinya tidak memungkinkan untuk berlabuh ataupun sekedar lego di laut.
Memang sejak awal perjalanan dari Bitung, Minggu (1/7/2012) hingga memasuki pos kedua di Pulau Kawaluso, Kabupaten Sangihe, Senin (2/7/2012) sore, lautan mulai bergolak tertiup angin barat. Tak seperti pada penurunan dan penarikan prajurit di Dermaga Tahuna, Senin (2/7/2012) pagi.
Di Pelabuhan Kawaluso, haluan KRI Teluk Lampung sempat menghantam dengan kuat sisi luar dermaga hingga terkikis sebagian betonnya. Beruntung tak ada kerusakan fatal pada bagian depan kapal. "Saat hendak memasuki dermaga, kapal sempat terhempas gelombang yang tiba-tiba muncul. Sehingga dengan seketika terdorong kearah Dermaga Kawaluso," kata Letkol Laut (P) M. Harahap.
Di pulau yang nihil signal komunikasi telepon ini, kedatangan KRI Teluk Lampung menjadi hiburan tersendiri bagi masyarakat. Tua-muda, pria-wanita, semua berkumpul di dermaga untuk menyaksikan keangkuhan kapal berukuran 90,70 meter x 11,12 meter ini.
Usai bongkar muat sekitar pukul 19:00 WITA, kapal bersiap meninggalkan pulau. Namun, kapal tidak bisa maju atau mundur karena adanya pendangkalan laut yang dipenuhi karang di sekelilingnya. Dengan panduan dari warga setempat yang berpengalaman mengatasi masalah seperti itu, akhirnya secara perlahan kapal berhasil meninggalkan Pulau Kalauso menuju pos ketiga di Pulau Matutuang.
Memakan waktu sekitar lima jam untuk melihat temaram lampu di daratan Pulau Matutuang, Selasa (3/7). Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Bulan purnama yang bergelayut di langit seperti lampu sorot menyinari pecahan-pecahan ombak berwarna putih yang hancur menghantam karang di tepi pulau.
Tak lama berselang, samar terdengar raungan perahu motor yang semakin keras. Dari kejauhan terlihat dua perahu mendekat ke arah KRI. Sebuah perahu kecil bermotor berisi dua nelayan yang oleh penduduk setempat lazim disebut Perahu Pakura, dengan enggan menarik perahu tak bermesin yang lebih besar berisi 5 prajurit Yonif 712/Wiratama beserta tumpukan ransel dan berkotak-kotak kardus.
Meski timbul tenggelam dalam gelombang, perahu berusaha mendekati KRI yang lego jauh dari bibir pantai dan berhasil mencapai posisi aman embarkasi. Namun laut yang tak bersahabat mengayun-ayun ketiga kapal yang sangat berdekatan itu sehingga hampir bersenggolan. Dua nelayan pada Perahu Pakura seketika saja menancap gasnya untuk menghindari benturan. Dan justru karena hentakan gas seketika itulah Perahu Pakura kehilangan dayanya sehingga terhempas menampar lautan.
Seperti ikan, dengan cakap dua nelayan itu berenang menggapai perahu di belakangnya. Lima tentara yang terkejut dengan sigap mengangkat nelayan yang basah kuyup itu ke atas perahu kedua. Suasana mencekam itu terjadi dalam sekejap. Semua orang terpana, bersyukur tak ada korban jiwa. Perahu Pakura berbahan triplex pun menggapung di lautan menjadi bangkai.
"Suasana sangat mencekam, dari pulau saja kami melihat lampu-lampu KRI bergoyang-goyang. Kami berlima paksakan diri untuk mendekat dengan ditarik oleh pakura nelayan karena perahu kami hanya memiliki 3 dayung yang tak mungkin melawan gelombang," ujar Serda Raimond Lumiwu, anggota Satgas Pos Matutuang.
Pulau Kawio dan Kamboleng |
Dari tujuh anggota Satgas Pamtas 2011 Pos 3 Matutuang, hanya lima yang berhasil diangkut KRI. Sedangkan dua lainnya terpaksa ditinggalkan di pulau tanpa kabar terbaru dari KRI yang seketika meninggalkan perairan Matutuang karena tak ada signal komunikasi telepon di pulau tersebut.
Baru setelah berada di perairan Pulau Marore, Selasa (3/7/2012) sekitar pukul 07:00 Wita, komunikasi nyambung lagi. Seperti lima jam sebelumnya, ombak masih memecah tinggi di Dermaga Marore. KRI tak dapat berlabuh di Pos 4 Marore. Di kecamatan terdepan sisi utara Indonesia ini, fasilitas cukup lengkap. Ada Pos Angkatan Laut (POSAL) yang membantu embarkasi dan debarkasi pasukan beserta logistik dengan menggunakan perahu LCR. Proses bongkar-muat membutuhkan waktu yang cukup lama karena personel TNI yang seharusnya menempatkan pos ketiga Matutuang turut diturunkan di Marore sebagai pos terdekatnya.
***
Kehidupan di Sangihe |
Air dalam gelas bergoyang seiring permukaan air laut yang menari. Makanan yang baru masuk ke dalam lambung pun tak bertahan lama. Sejumlah prajurit yang mabuk laut langsung mengeluarkan kembali seluruh isi perutnya.
Selama 11 jam KRI Teluk Lampung melawan hantaman gelombang Samudera Pasifik. Awan hitam menjadi kawan setia. Kilatan petir datang dari segala penjuru. Hingga akhirnya sepasang mata lampu seolah terlihat mengawasi kedatangan kami. Semakin dekat, suatu bentukan pulau samar mulai terlihat. Itulah Miangas, titik paling utara NKRI!
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 Wita. Pulau Miangas tinggal sepenggalan. Terdengar suara gaduh di atas dek dari sepatu-sepatu lars yang hilir-mudik memindahkan barang, bersiap untuk lego. Senjata disusun, ransel-ransel hijau ditumpuk dan para prajurit pun berbaris rapi menatap pulau terdepan NKRI ini.
Tiba-tiba terdengar panggilan lewat pengeras suara anjungan bagi Komandan Kompi (Danki) Satgas dan seorang perwira senior Angkatan Darat.
"Kapten Fransiskus....dan....Letkol Untung ....segera ke... anjungan....ditunggu komandan ....kapal....!!!!," sahut suara putus-putus tertiup angin. Secara perlahan arah kapal mulai berbelok ke kanan seperti menjauhi sasaran utama. Laju kapal yang semula bergerak lambat, kini semakin cepat. Ternyata menurut sonar dari anjungan, perairan Miangas sedang bergelora hebat. Rapat para komandan di anjungan memutuskan sesegera mungkin keluar dari zona tersebut.
Embarkasi |
Komandan Satgas Pamtas 2012, Lettu Edy Sakli turut menjelaskan bahwa pasukan Miangas akan diturunkan di Pelabuhan Tahuna menyesuaikan jalur dari kapal perintis yang ada. Sedangkan pasukan lama, baru akan kembali ke Manado sekitar satu minggu mendatang.
Dengan kecepatan penuh, KRI buatan Jerman Timur tahun 1979 ini menghindari terjangan gelombang dan terpaan angin. Kapal langsung menuju Marampit. Perlu waktu 10 jam untuk tiba di Pulau Marampit keesokan harinya, Rabu (4/7/2012). Meski tak seganas Miangas, di pos terakhir ini kapal hanya dapat berputar-putar tanpa bisa menyentuh dermaga.
Meski dimanjakan keindahan berbagai gugusan pulau di Kabupaten Talaud, bongkar muat hanya berlangsung tiga jam. KRI harus memburu kapal perintis di Tahuna dalam waktu tak kurang dari 22 jam. Rasa lelah dan jenuh pun mulai merasuki setiap tubuh manusia yang ada di atas kapal. Untungnya di perairan Talaud banyak tersebar pulau-pulau sehingga lautan terasa sangat tenang.
Pelabuhan Bitung |
Ia beralasan karena selain unik dan murah, benda-benda ini akan mengingatkan dirinya saat-saat berkesan dalam penugasan di perbatasan. Setelah melakukan apel terakhir untuk memeriksa kelengkapan personil, kapal pun menarik jangkar. Lembayung senja menghantar kepulangan menuju Bitung.
Malam harinya, para prajurit bercengkrama di atas dek terbuka menikmati semilir angin. Eksotisme Gunung Api Karangetan dalam siluet rembulan menjadi pemandangan terakhir menutup perjalanan pergantian Satgas Pamtas prajurit Yonif 712/Wiratama. (thanks for mas Rizky Adriansyah)
Sumber: Harian Tribun Manado, 8-9 Juli 2012 halaman 1