Adonara, The Killer Island

Adonara (istimewa)
KISAH perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga di Pulau Adonara, Kabupaten Flores Timur, masih mengihiasi halaman depan sejumlah media cetak lokal yang terbit di Kupang, ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur pada bulan November 2012 ini.

Kisah perang tanding antara dua suku bersaudara di wilayah Kecamatan Adonara Timur itu berawal dari klaim kepemilikan tanah ulayat yang selama ini ditempati warga dari suku Lewobunga.

Suku Lewonara tetap mengklaim bahwa lahan yang ditempati suku Lewobunga untuk membangun pemukiman dan berladang adalah milik mereka. Klaim tersebut tidak diterima oleh warga suku Lewobunga.

Bagaimana untuk membuktikan kebenaran hak kepemilikan tanah tersebut? Jalan yang ditempuh untuk mencari kebenaran adalah melalui pertumpahan darah. Maka bergolaklah perang tanding antara kedua suku tersebut dari awal Oktober dan masih terus berlangsung hingga saat ini.

Perang tanding antara kedua suku di Adonara tersebut, tidak menggunakan strategi perang gerilya atau perang modern, tetapi langsung ke arena yang telah disepakati sebagai lokasi perang tanding. Mereka sendirilah yang menentukan hari dan tanggal untuk bertarung di arena yang ditentukan tersebut.

Kedua belah pihak membawa senjatanya masing-masing, seperti parang, tombak serta anak panah. Siapa yang lebih dahulu melepaskan anak panah dari busurnya maka hal itu sebagai isyarat bahwa perang segera dimulai.

Seorang misionaris asal Belanda Ernst Vatter dalam bukunya "Ata Kiwan" yang terbit pada 1932 melukiskan Adonara adalah Pulau Pembunuh (Killer Island).

Dalam bukunya itu, Vatter menulis "Di Hindia Belanda bagian timur tidak ada satu tempat lain di mana terjadi begitu banyak pembunuhan seperti di Adonara. Hampir semua pembunuhan dan kekerasan, penyerangan dan kejahatan-kejahatan kasar lain, yang disampaikan ke Larantuka untuk diadili, dilakukan oleh orang-orang Adonara".

Lamber Mean Tokan, salah seorang putra Adonara yang juga staf pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa Cendana Kupang mengamini pandangan yang dikemukakan Ernst Vatter tersebut.

"Vatter melihat langsung apa yang terjadi pada saat itu di Pulau Adonara. Dan, sampai sekarang masih juga terjadi. Ini sebuah kisah nyata yang meligitimasi Adonara sebagai Pulau Pembunuh," katanya.

Gubernur NTT Frans Lebu Raya yang juga putra asli Adonara dengan tegas mengatakan "Apa yang kita banggakan dengan sebutan Adonara sebagai Pulau Pembunuh?".

"Kita sudah berada pada zaman berbeda, sehingga semua persoalan yang terjadi tidak harus diselesaikan dengan pertumpahan darah. Perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga harus segera diakhiri," katanya menegaskan.

Gubernur Lebu Raya kemudian menunjuk dan mengutus beberapa tokoh Adonara yang ada di Kupang untuk memediasi kedua belah pihak yang sedang bertikai.

Tim mediasi dari Kupang tersebut dipandang sukses dalam menjalankan misinya, karena berhasil mempertemukan kedua belah pihak untuk melakukan genjatan senjata.

Gubernur NTT bersama beberapa tokoh adat di Pulau Adonara dan Larantuka dilibatkan dalam upaya perdamaian tersebut. Semua pihak sepakat untuk mengakhiri peperangan. Adonara kembali tenang. Tak ada lagi perasaan takut di antara kedua kubu yang bertikai.

Namun, pada 13 November 2012, Adonara kembali membara. Warga suku Lewonara yang turun ke wilayah sengketa untuk menentukan batas-batas kepemilikan lahan, justru diserang oleh warga dari suku Lewobunga.

Seorang tewas dalam insiden tersebut. Belasan orang lainnya mengalami luka-luka, serta sejumlah kendaraan dibakar massa pada saat itu. Kapolda NTT Brigjen Pol Ricky HP Sitohang turun langsung ke arena perang untuk menenangkan massa.

Misi yang diemban jenderal polisi berbintang satu itu adalah menyita senjata tajam milik warga kedua suku yang diduga dijadikan sebagai alat untuk berperang, seperti parang, tombak dan anak panah.

Adonara dilukiskan banyak pihak bagai "api dalam sekam". Artinya, sewaktu-waktu mudah meledak jika terjadi gesekan-gesekan, meski aparat kepolisian sudah maksimal menjalankan tugas perdamaian di Pulau Adonara.

Paul Ardnt, seorang etnografer yang juga misionaris asal Polandia juga menceriterakan soal keganasan di Pulau Adonara. Sejak era 1900-an, kata dia, nama Adonara sudah dikenal oleh para misionaris dan bangsa Eropa yang singgah ke Flores.

"Misionaris dari Eropa mengenal Adonara bukan karena keindahan alam atau kecerdasan masyarakatnya, tetapi karena kekejaman dan berbagai tindak kekerasan yang terjadi di sana," katanya.

Vatter dan Ardnt dalam berbagai bukunya, memberi perhatian yang besar terhadap Adonara. Menurut Ardnt perang di Adonara dilakukan dengan cara yang sangat kejam, mereka saling membunuh dengan memotong bagian tubuh lawan.

Masyarakat Adonara diceritakan sangat temparamen, masalah-masalah kecil seperti saling ledek dapat memicu perkelahian yang berujung pembunuhan.

Demon dan Paji

Berdasarkan hasil kajian ilmiah kedua misionaris tersebut, kisah pembunuhan sadistis di Pulau Adonara bermula dari peran dua tokoh di pulau tersebut, yakni Demon dan Paji.

Dua tokoh inilah yang konon memicu perang di tanah Adonara. Singkatnya, Demon dan Paji adalah sebuah folklore yang ada di Adonara entah sejak kapan.

Demon dan Paji adalah saudara kandung, tetapi mereka memiliki perbedaan karakter yang acap kali menimbulkan perselisihan, hingga sampai suatu saat mereka bertengkar hebat dan kemudian Paji melarikan diri ke Pulau Adonara, sementara Demon tetap di wilayah asal mereka, Larantuka.

P.Rud Rahman dalam tulisannya tentang Para Dewa Suku Primitif di Timur Laut India Muka (Gottheiten der Primitivstamme im nordostlichen) menceritakan adanya folklore dari suku Munda di India yang ternyata mirip juga dengan cerita Demon dan Paji serta kesamaan adat istiadat.

Menurut orang Demon di Adonara Barat, darah manusia harus membasahi bumi sebagai kurban agar hujan turun. Hal ini bertolak dengan orang Paji yang tidak membawa kurban untuk tanah/bumi. Hal ini juga dapat ditemui di Munda, terdapat dua kelompok yang berlainan, yang satu mempersembahkan darah manusia kepada bumi, yang satu tidak.

Ada banyak kesamaan-kesamaan lain yang terdapat dari kedua daerah ini, terutama dari segi linguistik. Apakah pernah ada interaksi dari dua suku yang terpisah begitu jauh hingga memiliki banyak kesamaan? Semua masih dalam tanda tanya, karena belum ada literatur pun yang mengungkap tentang kisah tersebut.

Adonara hanyalah sebuah pulau kecil yang terletak di bibir pantai Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur di ujung timur Pulau Flores yang hanya dibatasi Selat Gonzalo seluas 300 meter yang terkenal dengan arus lautnya yang ganas itu.

Di sebelah timur, berbatasan dengan Pulau Lembata, sebuah pulau yang terkenal dengan Kampung Lamalera yang memburu ikan Paus dengan cara tradisional menggunakan tombak. Di sebelah selatan, berbatasan dengan Pulau Solor, dan di utara langsung berhadapan dengan laut flores yang sangat kaya akan biota lautnya.

Adonara yang dilukiskan sebagai "Killer Island" masa lalu, kembali menyeruak dengan ungkapan serupa setelah munculnya kasus perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga.

Namun, Gubernur NTT Frans Lebu Raya dengan tegas mengatakan "Apa yang dapat kita banggakan dengan sebutan seperti itu (Killer Island)? Kita telah berada di zaman yang berbeda".

"Setiap persoalan yang muncul di Tanah Adonara tidak harus diselesaikan dengan mengangkat parang dan tombak, tetapi harus mengedepankan dialog dalam menyelesaikan setiap persoalan muncul seperti dalam kasus perang tanding antara suku Lewonara dan Lewobunga," kata Lebu Raya. (Laurensius Molan/ANTARA)
Sumber: Kompas.Com

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes