Paus Benediktus XVI (AFP) |
Kelompok pertama mendukung Takhta Kepausan di Avignon, Prancis, yang terdiri dari negara Prancis, Aragon, Kastil dan León (Wilayah Otonomi di Spanyol), Siprus, Burgundia, Savoy, Napoli, dan Skotlandia. Kelompok kedua pendukung Takhta Kepausan di Roma yang terdiri dari Denmark, Inggris, Flandria (Belgia), Kekaisaran Romawi Suci (Takhta Kepausan Roma), Hongaria, Italia Utara, Irlandia, Norwegia, Polandia, dan Swedia. Mundurnya Paus Gregorius XII dan penyerahan kekuasaan ke Konsili Konstanz berhasil menyelamatkan Gereja Katolik dari perpecahan. Sejarah gereja pun kembali ke jalan yang baik sampai sekarang.
Hari ini dunia menyaksikan pemimpin umat Katolik sejagat Paus Benediktus XVI meninggalkan takta apostoliknya. Dia mundur karena alasan kesehatan sekaligus memberi kesempatan para kardinal dari seluruh dunia memilih Paus yang baru. Tentu seorang Paus yang lebih muda usianya sehingga dapat mengemban tugas-tugas kegembalaan bagi umat Katolik sejagat.
Saat memberikan berkat mingguan terakhir di depan puluhan ribu umat Katolik yang memadati Lapangan Santo Petrus, Vatikan, Minggu (24/2/2013) lalu, Paus Benediktus menegaskan tak akan meninggalkan gereja setelah mengundurkan diri serta akan menjalani hidup dengan meditasi dan berdoa. "Tuhan meminta saya untuk mendedikasikan diri lebih banyak lewat meditasi dan doa. Ini bukan berarti saya meninggalkan gereja. Jika Tuhan meminta saya melakukan ini, saya akan melayani dengan dedikasi dan kasih yang sama, tetapi dengan cara yang lebih sesuai dengan usia dan kondisi saya," ujar Benediktus XVI. Setelah mundur Benediktus XVI akan disapa sebagai "Paus Emeritus".
Apa yang boleh kita petik dari mundurnya Paus Benediktus XVI? Sama seperti pendahulunya Paus Gregorius XII, Paus Benediktus XVI kelahiran Bavaria Jerman itu memberi pelajaran bahwa kekuasaan keagamaan pun tak harus dipegang seumur hidup. Gregorius XII mundur sebagai paus pada 1415. Setelah 60 paus dalam rentang waktu 598 tahun, Benediktus XVI mengingatkan kembali tentang kekuasaan keagamaan yang tak harus dipegang sampai mati.
Pelajaran kepemimpinan yang luar biasa telah diwariskan oleh kedua tokoh dunia tersebut. Pemimpin sejati tahu kapan harus mundur dari gelanggang demi kepentingan yang lebih luas. Gregorius mundur agar Gereja Katolik terselamatkan. Benediktus mundur karena dia menyadari kerapuhan fisiknya sebagai manusia.
Pelajaran kepemimpinan tersebut menembus batas dan tetap relevan sampai kapan pun. Dalam konteks kepemimpinan masyarakat dan negara (pemerintahan), mestinya setiap orang tahu diri kapan saatnya berhenti. Tapi kekuasaan duniawi kerap menghanyutkan orang untuk selama mungkin berkuasa atau mencari cara agar kekuasaan itu berlanjut ke tangan keluarganya. Politik dinasti dalam konteks Pemilukada di Indonesia selain tidak elok juga meracuni demokrasi.*
Sumber: Tribun Manado 28 Februari 2013 hal 10