Pohon Benuang di Desa Tulap (budi) |
GERIMIS sore itu, Minggu (26/5/2013), membuat hawa Desa Tulap Kecamatan Kombi Kabupaten Minahasa terasa dingin. Seorang pria setengah baya, duduk di pelataran petak rumah miliknya. Edi Lasut (47) namanya, sehari-hari petani yang memilik kebun cengkih dan jagung.
Persis di samping rumah Edi terhampar luas lahan yang ditumbuhi aneka jenis pepohonan. Satu di antaranya pohon Benuang. Tumbuhan ini, kata Edi, sudah berusia puluhan bahkan mungkin sudah ratusan tahun. "Waktu saya lahir pohon ini sudah ada. Sudah ada di sini sejak lama, zaman nenek kakek saya sudah besar sekali seperti sekarang ini," ungkapnya.
Bentuk pohon Benuang terbilang besar, bagai raksasa buto hijo dalam cerita pewayangan Jawa. Rindang daunnya sangat lebat. Bak payung, daun pohon Benuang mampu menangkal serangan terik matahari, memberi suasana adem dan tentram. Edi yang kelahiran Desa Tulap, menganggap pohon Benuang itu paru-paru kehidupan warga desa. Meski warga setempat tidak menjadikan tempat keramat, tetapi pohon Benuang tetap diperlakukan spesial.
"Kalau tidak ada pohon ini desa serasa gersang. Tandus, panas, dan tidak mententramkan," ungkap pria yang juga memegang amanah sebagai kepala lingkungan 3, Desa Tulap ini.
Menurut Edi, jika pohon Benuang ditebang akan menjadi bencana bagi warga desa. "Longsor, banjir," ujarnya. Apalagi posisi pohon Benuang ini sangat berdekatan dengan tebing rendah di daerah aliran sungai Kawis. Jenis jenis pohon ini umumnya tumbuh di tanah kering atau lembab di pinggir sungai dengan tekstur tanah liat dan berpasir. Jika tidak dijaga kelestariannya, kata Edi, sama saja mencari bencana. "Puji Tuhan sampai sekarang di sini belum pernah kena banjir, apalagi tanah longsor. Kami tetap jaga alam di sini," tutur Edi.
Mengutip Balai Penelitian Kehutanan Sulawesi Utara, pohon Benuang masuk dalam famili datiscaceae. Ciri fisik saat umur matang tinggi mencapai 40 meter. Untuk diameter 100 centimeter lebih dengan ketebalan kulit pohon mencapai 5 milimeter. Karakteristik pohon yang tumbuh di Pulau Sulawesi, Sumatera dan Maluku ini bewarna kelabu dengan batang tegak kuat.
Pohon Benuang di Desa Tulap pun menjadi sumber kehidupan makhluk lain seperti burung. "Saya sering dengar kicauan burung-burung yang bertengger di rindang pohon Benuang. Rasanya asyik kalau ada burung yang bernyanyi, desa serasa ramai," kata Edi.
Desa Tulap sebenarnya memiliki banyak pohon Benuang. Ini diungkapkan Kepala Desa Tulap, Mecky Jacobus (42).Dulu ada empat pohon tetapi ada beberapa pohon yang ditebang untuk bangun pemukiman warga. "Sekarang tersisa satu. Kalau mau tanam lagi, butuh ratusan tahun lagi bisa besar," ujarnya.
Mecky mengatakan, karena tersisa satu, maka warga desa harus taat etika terhadap pelestarian alam. Pohon Benuang harus dijaga baik. "Pohon kalau ini lenyap desa akan kehilangan sumber air tanah yang bersih. Bisa saja akan mengalami krisis air," tuturnya. Di sekitar pohon ini memang muncul mata air. Air itu mengalir tanpa henti. Sangat bersih. "Pernah ada yang teliti airnya aman-aman saja untuk dikonsumsi," ungkap Mecky.
Itulah pohon Benuang sebagai sumber kehidupan warga masyarakat Desa Tulap. Pohon simbol kehidupan, tanpa pohon, maka tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan. Tanam pohon, menumbuhkan kehidupan bagi semua makhluk hidup kini dan masa depan. Mari menanam pohon! (budi susilo)
Sumber: Tribun Manado edisi cetak 5 Juni 2013 hal 1