Gerimis tipis di Sam Ratulangi

Di Danau Mooat - Modoinding
HUJAN gerimis menyambutku di kota ini 6 Maret 2012. Saat kaki menyentuh Bandara Sam Ratulangi Manado sekitar pukul 11.45 Wita hari itu,  semilir angin melambai-lambaikan deretan nyiur. Lama nian saya merindukan datang ke Manado. Kerinduan itu malah hadir dalam wujud yang di luar prediksi. Saya datang ke kota ini untuk mengabdi. Bekerja, melanjutkan hidup.

Dengan mobil taksi yang biayanya Rp 50 ribu saya meluncur menuju kantor Harian Pagi Tribun Manado. Saya pegang alamatnya, Jl AA Maramis, Kelurahan Kairagi II Kecamatan Mapanget, Manado.

Di kantor Tribun, Charles Imanuel Komaling adalah orang pertama yang menyambutku di front office setelah sekuriti. "Ini Om Dion kan?" katanya. Jujur saya sempat pangling. Maklum pertemuan dengan Charles sudah lama berlalu yakni tahun 2005 di Balikpapan.

Kala itu saya hampir sebulan lebih belajar di Harian Tribun Kalimantan Timur (Kaltim).  Waktu itu Charles masih di sana. Setelah Tribun Manado terbit tahun 2009, dia ke Manado. Kembali ke tanah lelulurnya bersama istri dan anak-anaknya. Pada kesempatan ini pula saya jalan-jalan ke Samarinda dan sempat menonton pertandingan tinju duni antara Chris John melawan Manuel Marquez di Tenggarong.

Orang berikut yang saya temui adalah mas Ribut Raharjo, pemimpin perusahaan Fahmi Setiadi dan Richard Nainggolan (pemimpin redaksi). Richard memeluk saya erat. "Akhirnya kita berjumpa di Kawanua ya Om.." katanya. Ya, Richard dulu adalah wartawan Harian Pos Kupang. Kasarnya dia pernah menjadi anak buah saya di Pos Kupang. Saya turut bangga karena Richard akhirnya dipercaya pimpinan di Jakarta pernah mengelola Harian Tribun Batam dan merintis Tribun Manado. Ketika Richard masuk sebagai reporter di Kupang, saya waktu itu sudah menjabat Wakil Redaktur Pelaksana dan setahun kemudian menjadi Redaktur Pelaksana.

Richard yang akrab disapa Opung jauh merantau dari  Batu Raja, Sumatera Selatan ke Kupang pada tahun 1996. Dia belajar jurnalistik di Kupang bahkan mendapat jodoh wartawati Pos Kupang Vien Daos. Setelah menikah pada tahun 2000 dia dan Vien pindah ke Bandung. Richard bergabung dengan Harian Metro Bandung yang diasuh Kang Yusran Pare. Metro Bandung merupakan media cikal bakal yang di kemudian hari lahirlah Tribun-Tribun di hampir seluruh pelosok Nusantara di bawah komandannya Direktur Kelompok Persda, Om Herman Darmo.

Setelah berjalan beberapa tahun dan terutama pascakelahiran Tribun Kaltim di Balikpapan dan Tribun Timur di Makassar, Metro Bandung berubah nama menjadi Tribun Jabar (Jawa Barat). Sejak itu lahirlah Tribun-Tribun yang lain seperti Tribun Batam, Tribun Pontianak, Tribun Manado, Tribun Pekanbaru, Tribun Lampung, Tribun Jambi, Tribun Jogja dan terakhir Tribun Jateng.

Sehari setelah saya tiba di Manado atau tepatnya 7 Maret 2012 datanglah dari Jakarta tiga bos besar yaitu Om Herman Darmo (Dirkel Tribun Group), mas Sentrijanto (Wakil Dirkel)   dan Mas Febby Mahendra Putra (GM Redaksi Tribun Group). Intinya para pemimpin itu menekankan pentingnya konsolidasi, penyegaran sekaligus rotasi.

Soal kepercayaan untuk mas Ribut sebagai Pemimpin Redaksi Tribun Manado sudah saya ketahui sejak bertemu Om Herman dan mas Febby di kantor pusat Jakarta bulan Februari 2012. Demikian pula  rencana rotasi Richard ke Harian Bangka Post, Bangka Belitung. Yang agak mengejutkan adalah  penempatan saya sebagai Manajer Produksi Harian Tribun Manado.

Sebenarnya saya sudah minta ke Om Herman cukup editor saja, eh ternyata diberi kepercayaan urus produksi. Ya tak apalah, saya ini mau dikasih kerjaan apa saja siap asalkan sesuai dengan kemampuan saya. Namanya juga prajurit. Siap laksanakan tugas dengan sebaik-baiknya. Maka terhitung sejak 1 April 2012 saya jadi Manajer Produksi Harian Tribun Manado. Ini kerja tidak ringan. Saya mendapat kesempatan untuk belajar dan belajar lebih banyak lagi. *
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes