SEPERTI selalu dikatakan orang, sepakbola bukan sekadar olahraga yang mempertemukan 22 anak manusia di atas lapangan hijau. Menggulirkan bola dari kaki ke kaki atau kepala ke kepala dengan tujuan akhir si bola sepak menyobek jaring gawang.
Sepakbola tak cuma permainan agar tubuh sehat dan bugar. Di sana selalu ada drama, selalu ada tautan erat menuju aspek yang lain dalam kehidupan manusia. Ada takdir, ada nasib. Ada senyum, ada tawa. Ada airmata. Bola pun bercumbu dengan tragedi. Dan, tragedi terkini datang dari bumi Parahiangan, dari Stadion Siliwangi Bandung.
Malam Minggu 27 Juli 2013, Sekou Camara begitu bersemangat mengikuti sesi latihan malam bersama rekan-rekan seklubnya, Pelita Bandung Raya (PBR) di Stadion Siliwangi. Latihan rutin itu merupakan bagian dari persiapan tim PBR menjalani kompetisi Indonesia Super League (ISL).
Sekitar pukul 22.00 WIB, mendadak pemain asal Mali, Afrika tersebut tertunduk lesu dan langsung kolaps. Rekan-rekannya berusaha menolong dengan membawa Camara ke rumah sakit, namun sampai di sana Camara sudah mengembuskan napas terakhir. Dalam hitungan menit Sekou Camara pergi untuk selama-lamanya. Kuat dugaan dia terkena serangan jantung.
RIP Camara. Ya Tuhan apakah ini rencana-Mu yang terbaik…. We Love Camara. Kamu tetap jadi bagian terbaik dari tim ini ..,” kicau Nova Arianto, rekan seklub Camara lewat akun twitternya, @ariantonova25. Dalam sekejap kabar duka itu menyebar luas lewat jejaring sosial dan portal berita online. Manajemen klub Pelita Bandung Raya pun langsung menghubungi keluarga Sekou di Mali melalui agen pemain dan menerbangkan jenazahnya menuju kampung halaman hari Senin malam 29 Juli 2013 lewat Bandara Soekarno-Hatta Jakarta.
Camara tampil cukup baik saat membela PSAP Sigli dan Persiwa Wamena dengan total mencetak 22 gol. Dia baru saja bergabung dengan PBR pertengahan musim 2013 ini dan baru mencetak satu gol. Selama tiga tahun bermain di Indonesia dia memperkuat klub PSAP Sigli, Persiwa Wamena dan Pelita Bandung Raya.
Kematian di lapangan bola seperti Sekou Camara bukan yang pertama. Sudah belasan pemain yang mengalami takdir yang sama. Beberapa bisa disebut di sini. Marc-Vivien Foe. Pemain tim nasional Kamerun ini pingsan ketika bermain di Piala Konfederasi 2006 di Lyon, Perncis melawan Kolombia 26 Juni 2003. Foe tiba-tiba saja terjatuh di tengah lapangan dan meninggal dunia beberapa menit kemudian.
Antonio Puerta. Pemain klub Sevilla tersebut mengalami gagal jantung ketika menghadapi Getafe 28 Agustus 2007 pada laga pembuka La Liga. Jumadi Abdi.
Gelandang Indonesia yang bermain untuk Bontang FC ini mengalami benturan keras ketika bertanding melawan Persela Lamongan pada 7 Maret 2009. Delapan hari kemudian, pemain berumur 26 tahun ini meninggal dunia.
John Tomson merupakan mantan kiper Glasgow Celtic, Skotlandia yang meninggal setelah bertabrakan dengan pemain Glasgow Rangers ketika laga Old Firm di Stadion Ibrox pada 5 September 1931. John Tomson meninggal dalam usia 22 tahun. Hugo Cunha. Pemain tengah klub Portugal Uniao Leiria ini pingsan kemudian meninggal dunia dalam sebuah pertandingan persahabatan pada bulan Juni 2005. Hugo Cunha meninggal dalam usia 28 tahun
Marcio Dos Santos. Striker Brasil berumur 28 tahun ini meninggal akibat serangan jantung beberapa jam setelah mencetak gol pada bulan Oktober 2002. Dos Santos adalah pemain tim Peru, Deportivo Wanka. Dave Longhurst. Pemain klub York City berumur 25 tahun ini tewas setelah pingsan selama dua menit dalam pertandingan melawan Lincoln City pada bulan September 1990. Hasil otopsi menunjukkan Longhurst meninggal akibat masalah jantung. Samuel Okwaraji.
Pemain Nigeria Samuel Okwaraji pingsan selama 10 menit ketika melakoni pertandingan kualifikasi Piala Dunia melawan Angola di Lagos bulan Agustus 1989. Serginho. Bek klub Sao Caetano ini meninggal karena mengalami masalah pernapasan ketika melawan Sao Paulo pada Oktober 2004.
Eri Irianto (Sidoarjo, 12 Januari 1974 - Surabaya, 3 April 2000) adalah mantan pemain Persebaya Surabaya. Ia meninggal pada 3 April 2000 di RSUD dr Soetomo, setelah runtuh dengan serangan jantung di lapangan selama pertandingan liga melawan PSIM Yogyakarta di Stadion Gelora 10 November Surabaya.
***
DALAM hal keutamaan dan tanggung jawab akan tugas, saya belajar dan berhutang budi pada sepakbola. Begitu kata-kata filsuf Albert Camus yang sangat terkenal dan memberi insipirasi bagi banyak orang. Kata-kata Camus ratusan tahun lalu masih relevan sampai sekarang terlebih lagi ketika sepakbola modern menuntut apa yang disebut profesionalitas.
Demi prestasi, demi memberikan hasil terbaik bagi tim, seorang pesepakbola harus tampil prima. Maka latihan demi latihan merupakan menu harian mereka. Latihan bisa saja berlangsung pagi hari, siang, sore bahkan malam hari, tergantung kebutuhan dan jadwal klub.
Kita tidak tahu bagaimana sebetulnya kondisi Camara sebelum menjalani latihan malam di Stadion Siliwangi. Kita tidak tahu pasti apakah dia cukup bugar atau sedang dalam kondisi down. Demi tanggung jawab atas profesinya boleh jadi Camara mengabaikan kondisi fisiknya yang lagi tak bagus. Serangan jantung, satu dari lima penyakit paling mematikan di dunia biasanya hadir tanpa tanda-tanda yang mencolok. Serangannya begitu mendadak.
Ikhwal kematian di lapangan bola, pemain sepakbola putri terbaik dunia asal Brasil, Marta Vieira da Silva menuliskan kata-kata yang indah. "Jika aku meninggal dunia di lapangan karena cedera, aku minta di peti matiku dimasukkan sebuah bola sepak. Jadi, aku bisa mati dengan puas dan sambil tersenyum."
Kata-kata itu lugas terlontar dari bibir seksi Marta Vieira ketika dia membangkang ibunya Dona Tereza Vieira de Sá yang melarangnya bermain bola di jalanan kumuh Dois Riachos, Alagoas, Brasil. Marta kecil melawan larangan itu dan namanya di kemudian hari dikenal sebagai salah seorang pemain putri terbaik dunia. Marta adalah terbaik dunia versi FIFA tiga tahun berturut-turut yaitu 2006, 2007 dan 2008. Nama besarnya selevel dengan Mia Hamm (AS), Birgit Prinz (Jerman) dan Kelly Smith asal Inggris.
Marta Vieira da Silva masih hidup sampai sekarang. Sekou Camara mungkin tak sempat menuangkan kata-kata seindah Marta. Tapi di alam sana, Camara pastilah sedang tersenyum. Dia mati di lapangan bola ketika berjuang untuk hidup dari bola sepak. Dari Stadion Siliwangi Bandung puisi tentang bola-bola nasib itu terdengar lirih. Bola itu selalu bercerita tentang drama kehidupan manusia. Selalu ada senyum, ada tawa. Ada air mata. Selamat jalan Camara!
Sumber: Tribun Manado