Godaan Kekuasaan

ilustrasi
AKTOR jadi kepala wilayah bukan lagi cerita di negeri dongeng. Selebriti memimpin negeri kini nyata di rumah kita. Rumah besar Indonesia. Rakyat  kian cerdas sekaligus mudah bosan. Makin cerdas membedakan pembohong dari orang jujur. Siapa pesulap, siapa pembual. Mana kaum munafik, mana kawanan pejuang dengan idealisme kerakyatan.

Rakyat yang sama jua mudah bosan. Tak suka menatap wajah lama bertahun-tahun. Tak doyan mendengar suara yang sama selama satu dasawarsa. Lima tahun cukup! Mereka mendambakan wajah baru, tak perlu hebat dan pintar. Pokoknya baru. Sesimpel itu logikanya.  Tapi rakyat yang sama  pun memiliki daya ingat jangka pendek. Mudah lupa dan terbuai ketika segepok duit hadir. Demi duit dan kenikmatan duniawi lainnya mereka menggadaikan prinsip, menjual hak asasi.

Begitulah buah demokrasi di ini negeri  yang gagap dan gamang melakoni drama reformasi. Demikianlah sejarah baru yang sedang ditulis dalam buku besar demokrasi Indonesia. Demokrasi yang bikin jengkel. Demokrasi yang bikin gemas. Demokrasi yang bikin kesal. Demokrasi yang membuat sakit kepala.  Pertikaian internal pengurus partai politik (parpol) adalah drama lazim. Bila tak puas mengincar kursi  bikin partai baru. Ada uang ada partai. Yang berburu kursi jadinya orang-orang yang sama jua cuma ganti baju, ganti jaket, ganti kendaraan.

Birahi kekuasaan demikian dashyat bergulir  di negeri ini hingga melumpuhkan solidaritas dan mengkhianati nilai-nilai luhur warisan pendiri NKRI. Tokoh panutan kian langka. Krisis pemimpin terjadi di banyak tempat. Elite berduel tanpa mempertimbangkan perasaaan konstituen. Mereka anggap rakyat tak tahu apa-apa.
Duel paling vulgar dan telanjang diperlihatkan para kepala daerah dan wakil kepala daerah. Simak misalnya apa yang sedang terjadi di Banten sana. Wakil Gubernur Rano Karno merasa tak nyaman dengan Gubernur Ratu Atut. Si Doel pun curhat ke mana-mana mau mundur dari jabatannya.

Kisruh Banten adalah contoh  kasus yang berulang untuk kesekian kalinya di Indonesia. Di mana-mana,  kemesraan kepala daerah-wakil kepala daerah cuma setahun jagung. Sulit amat menghadirkan kepemimpinan yang sama-sama enak. Egoisme mengental tatkala mereka berkuasa. Gubernur,  bupati dan atau wali kota  merasa paling hebat, paling istimewa sebagai orang nomor satu. Wakil gubernur, wakil  wali kota atau wakil bupati sekadar pelengkap atas tuntutan konstitusional.

Di bumi Nyiur Melambai bukan tanpa geliat yang sama. Perseteruan elite daerah tak henti berembus. Bupati merasa tersaingi wakil bupati lalu dia mengurung sang wakil dari panggung publik. Wali kota merasa kurang nyaman dengan kiprah wakilnya yang lebih cerdas dan lebih pro rakyat. Mereka berperang. Mereka lupa mengurus kebutuhan rakyat yang vital, sebagai misal krisis air yang berkepanjangan.

Demokrasi memang dianggap jalan terbaik dalam mengelola negara. Tetapi ketika kita tidak bijak, demokrasi tak sekadar bikin jengkel, tapi bisa membawa bangsa besar dan majemuk ini ke jurang kehancuran. Reformasi ini lebih tepat disebut Orde Baru jilid II dengan tampang lebih kejam. Apakah Anda diam saja? Mumpung  pemilu sudah di depan mata, jadilah konstituen yang cerdas. *

Sumber: Tribun Manado 25 Juli 2013 hal 10

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best WordPress Themes