SEPAKBOLA Piala Dunia tidak luput dari mitos. Meskipun mitos sulit diterima nalar, tetapi mitos tetaplah dipercaya sebagai "kebenaran" dalam bola. Sejarah Piala Dunia sejak 1930 telah memunculkan sejumlah mitos yang bertahan sampai saat ini antara lain, hanya Brasil satu-satunya tim Amerika yang juara di bumi Eropa. Pada Piala Dunia Swedia 1958, Brasil menaklukkan Swedia 5-2 di final. Pelatih tim Brasil 1998 ini, Mario Zagallo, adalah salah seorang pencetak gol di final Piala Dunia 1958 di Swedia itu.
Tim-tim Eropa pernah berusaha memecahkan mitos ini dengan menjuarai Piala Dunia di Amerika, tetapi belum pernah berhasil. Di Argentina tahun 1978, Belanda kandas di kaki tim tuan rumah. Tahun 1986 di Meksiko giliran Jerman Barat yang dilindas Argentina dan paling akhir empat tahun silam di Amerika Serikat, Brasil melumat Italia 3-2 dan sekali lagi membenarkan pepatah: O Terra O Nosso (Bumi ini milik kami, bumi Amerika hanya milik Amerika).
Mitos lainnya, cuma dua negara yang menjuarai Piala Dunia dua kali berturut-turut. Italia meraihnya pada tahun 1934 dan 1938 dan Brasil mengukir prestasi itu pada Piala Dunia 1958 dan 1962. Tetapi masih ada satu mitos paling heboh yang gaungnya berlaku sejak era 1970-an. "Jika sebuah tim telah mengalahkan Belanda, maka dialah juara dunia," demikian bunyi mitos tersebut.
Fakta sejarah memang membenarkan. Tahun 1974, Jerman Barat adalah tim underdog di babak final meskipun mereka tuan rumah. Belanda yang begitu perkasa lewat total football yang dimainkan Cruyff dkk, di luar dugaan menyerah 1-2. Jadilah Jerman juara dunia untuk kedua kalinya setelah 1954. Tahun 1978 di Argentina, tim tuan rumah pun bukan favorit di grandfinal melawan Belanda. Setelah skor 1-1 sampai akhir masa 2x45 menit, Daniel Passarella dkk tiba-tiba meledakkan tim Oranye dengan dua gol beruntun. Tango menang 3-1 dan meraih juara untuk pertama kalinya.
Setelah 1978, prestasi Oranye hancur berantakan, ditandainya absennya Belanda pada Piala Dunia 1982 dan 1986. Belanda baru bangkit lagi akhir 1980-an bersamaan dengan lahirnya trio maut, Ruud Gullit, Frank Rijkaard dan Marco Van Basten yang membawa tim Oranye merebut Piala Eropa 1988. Pada Piala Dunia 1990, Belanda yang difavoritkan menjadi juara dunia, ternyata kalah 1-2 melawan Jerman di perdelapanfinal. Semua orang spontan berkata, "Jerman sudah memenangkan Piala Dunia 1990".
Mitos itu terbukti. Jerman terus melaju dan merebut juara dunia ketiga kalinya dengan membantai Argentina 1-0 di final. Empat tahun lalu di Amerika Serikat, pasukan Tulip berjalan mulus sejak babak pertama hingga perempatfinal. Ketika Brasil memukul Belanda 3-2 di perempatfinal, bayangan juara sudah masuk genggaman Samba. Mitos mengalahkan Belanda berarti juara dunia, sekali lagi benar! Brasil mengalahkan Italia 3-2 di final dan juara dunia keempat kalinya.
Hari Sabtu (4/7/1998) malam di Stade Velodrome Marseille (Indosiar,22.30 Wita), tim Argentina asuhan Daniel Passarella menguji lagi apakah mitos itu benar adanya. Jika Argentina mampu mengalahkan Belanda, maka merekalah juara dunia 1998. Suasana hati Passarella tentunya campuk aduk. Sebagai pemain dan kapten tim Argentina 1978, Passarella telah sukses memimpin Mario Kempes dkk mematahkan Belanda. Tapi setelah tidak pernah bertemu Belanda selama 20 tahun, Passarella menghadapi lawan yang sama lagi dalam kapasitas berbeda. Kini dia seorang trainer. Dia harus membuktikan mitos itu dengan taktik dan strategi dari luar lapangan.
Kendati tanpa seorang pemimpin berkharisma tinggi sekelas Maradona, Argentina 98 cukup menjanjikan. Passarella mampu menghidupkan lagi karakter sepakbola menyerang. Sukses menaklukkan Jepang 1-0, Jamaika 5-0, Kroasia 1-0 dan Inggris 6-5 (penalti), merupakan rapor bagus Passarella, murid kesayangan Pelatih Cesar Luis Menotti yang menangani Argentina 1978.
Dalam formasi standar 4-3-2-1, Argentina bakal melakukan pressing ketat terhadap Belanda sejak kick off dibunyikan wasit Arturo Carter (Meksiko) malam ini. Batistuta yang sementara memimpin top scorer bersama Vieri (Italia) dengan 5 gol, tetap menjadi target man Passarella di lini depan. Claudio Lopez dan Ariel Ortega akan bermain agak ke belakang di daerah second line. Maksudnya agar bisa menusuk cepat jika "Batigol" dikepung Reiziger, Jaap Stam, Frank de Boer atau Arthur Numan.
Juan Veron, Zanetti dan Kapten Diego Simeone akan menjadi pengatur blok tengah dibantu dua bek sayap yang cukup rajin Nelson Vivas dan Jesus Almeyda. Bila Sensini sudah pulih dari cedera, maka dialah pilihan utama di lini belakang bersama Chamot dan Ayala. Perhatian khusus pilar Argentina kiranya tidak hanya untuk Bergkamp. Patrick Kluicert (jika diturunkan), juga amat berbahaya aksi solo run dan daya dobraknya di depan gawang Carlos Roa.
Artinya, tidak mudah bagi Argentina mengalahkan tim Belanda 1998 asuhan Guus Hiddink. Meski terkesan agak mediocre (sedang-sedang saja) dibanding tim Oranye 1974 dan 1978, Belanda 1998 telah melahirkan semacam romantisme baru tentang indahnya total football warisan Rinnus Michels. Moral tim Hiddink juga sedang menanjak setelah membekap salah satu kekuatan Eropa Timur, Yugoslavia. Dalam pola 4-4-2, Belanda akan ofensif selama 2x45 menit dengan memanfaatkan ruang sekecil apapun. Perang kedua tim bakal menjadi partai terindah selama France 98 karena kita akan menonton tarian tango dan total football.
Lapangan tengah adalah kunci tim Belanda. Hiddink kemungkinan besar menurunkan "duet hitam" Edgar Davids-Clarence Seedorf bersamaan seperti menghadapi Yugoslavia. Edgar adalah tukang gebrak dan Seedorf mengatur iramanya bersama Cocu dan Ronald de Boer. Menghadapi Argentina, motivasi Belanda tentunya sangat kuat untuk mengubur kenangan pahit 1978. Yang penting, tim Hiddink tetap bijak karena dendam kesumat bisa menjadi bumerang. **
Sumber: Buku Bola Itu Telanjang karya Dion DB Putra, juga Pos Kupang edisi Sabtu, 4 Juli 1998. Artikel ini dibuat menjelang pertandingan antara Belanda melawan Argentina di babak perempatfinal Piala Dunia 1998. Belanda akhirnya menang 2-1 atas Argentina